
“Ba Hanger” kepada Faris dan Rajif di Ternate
Pulang dari Cafe Djarod saya langsung ke penginapan di Ternate City Hotel. Letak hotel tersebut di Jalan Nuku, tepat di dekat Pantai Falajawa, Ternate. Masuk ke dalam hotel, lampu kamar mati. Saya malas komplain kepada pegawai hotel. Lagipula sudah hampir jam tiga dini hari Waktu Indonesia Timur (WIT). Saya cukup ngantuk, tak butuh cahaya lampu untuk tidur.
Pagi-pagi sekali saya bangun. Mencuci muka lalu turun ke lantai dasar, dari kamar yang berada di lantai empat, untuk sarapan di restoran hotel. Saya turun menggunakan tangga, karena memang tak ada lift di hotel tersebut. Selesai sarapan nasi kuning dengan telor dadar, saya kembali lagi ke kamar. Ke lantai empat dengan menggunakan tangga yang sama.
Semalam di Cafe Djarod, setelah baku tahu gale-gale, kami janjian pukul sembilan pagi untuk melihat-lihat benteng bersejarah di sekitar Kota Ternate. Pada waktu tersebut, saya sudah siap dijemput oleh salah seorang dari kru Jalamalut.com.
Sepuluh menit berlalu, belum ada tanda-tanda kawan yang menjemput. Saya pun memutuskan untuk membeli ole-ole khas Ternate terlebih dahulu di toko terdekat. Cukup berjalan kaki, tak lebih dari lima menit, saya sudah sampai di toko ole-ole. Saya membeli kue makron, dodol pala, kue sagu, dan abon ikan, buat keluarga dan kru Buruan.co di Bandung.
Selesai belanja ole-ole, baru ada kabar dari Faris Bobero. Ia sedang otw menuju penginapan saya, katanya. Saya senang bukan kepalang, meski pesan lewat Whatsapp itu baru masuk pada 10.30 WIT. Segera saya memeriksa kembali barang-barang di kamar. Setelah semua sudah terkemas rapi, sekalian jalan keluar, saya juga akan check out dari penginapan.
Saya menunggu Faris di lobi hotel. Tak berselang lama, seseorang masuk ke dalam lobi. Adalah lelaki berambut pendek agak bergelombang, memakai kaos hitam bergambar Pulau Halmahera, dan menenteng bagpack di bahu kirinya. Ia memegang ponsel di tangan kanannya. Ia terlihat seperti hendak menghubungi seseorang dengan gawainya itu.
“Ris,” saya memanggilnya. Ya, Faris Bobero, lelaki yang badannya sama-sama sekurus saya tapi lebih tinggi beberapa sentimeter, itulah yang datang.
“Maaf agak terlambat, bang. Tadi antar istri dulu,” kata Faris.
“Santai saja. Penerbangan ke Jakarta masih sebentar sore kok.”
“Bagaimana kalau kita ngopi-ngopi dulu,” ajak Faris.
Saya mengiyakan lantaran kebetulan belum ngopi serius sedari bangun tadi pagi.
“Ba Hanger”
Faris membawa saya kembali ke Cafe Djarod di Jalan Stadion, Ternate. Menggunakan sepeda motor, tak sampai sepuluh menit, kami tiba di kedai yang seolah menjadi “benteng kebudayaan modern” Kota Ternate itu. Faris langsung memesan kopi dan membawakan sepiring kue pia yang bentuknya mirip kue dorayaki di film kartun Doraemon.
Sambil ngopi dan menikmati kue pia, saya sedikit menggali latar belakang Faris. Rupanya alumni Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Maluku Utara ini cukup berpengalaman di dunia media, terutama di wilayah Ternate. Ia sempat bergabung dengan beberapa media di kota tempat lahirnya bintang sepakbola Indonesia, Zulham Zamrun, tersebut.
Bahkan, pada tahun 2012, ia sempat lolos mengikuti pendidikan dan latihan untuk calon wartawan Kompas di Jakarta. Namun, karena belum mujur, ia tak lolos di seleksi akhir. Ia sempat diajak bekerja oleh seorang kenalan di Jakarta. Namun, ia memilih pulang ke Ternate secara diam-diam.
Baginya, kegagalan di Jakarta tersebut adalah “kekalahan secara psikologis”. Ia mengaku merasa tak siap bertarung di Jakarta kala itu. Namun, ia segera bangkit dan membangun kembali karir di bidang jurnalistiknya dengan mendirikan Jalamalut.com bersama kawan-kawannya yang memiliki visi sama.
Selain memiliki visi yang sama, menurut Faris yang menjadi Kepala Penulis di Jalamalut.com, mereka juga ba hanger (saling mengandalkan). Ba hanger, yang berasal dari kata ‘hanger’ (Inggris, yang berarti gantungan pakaian) juga dapat diartikan saling bahu membahu. Maka, susah-senang mengelola media yang mereka dirikan dapat dirasakan bersama. Dengan latar belakang yang berbeda, mereka dapat saling melengkapi satu sama lain.
Sejam kemudian Rajif Duchlun merapat ke kedai. Penyair yang masih menempuh pendidikan di Jurusan Perikanan Universitas Khairun ini tidak doyan minum kopi dan tidak merokok. Faris menyebut Rajif “teman”, singkatan dari teh manis, minuman yang disukai Rajif.
Tapi siang itu Rajif tak memesan teman, ia memilih air mineral. Ia mengambil sendiri air mineral ke kasir kedai. Ia membuka label di botol kemasan air mineral sebelum meminumnya. Setelah minum air mineral ia beranjak sebentar dari meja. Ia menuju musala untuk menunaikan salat zuhur.
Begitu Rajif kembali, kami langsung bersiap pergi menuju benteng. Karena Rajif tak membawa motor, Faris meminjam motor salah seorang kawan yang sedang nongkrong di Cafe Djarod. Kawan Faris tersebut langsung memberikan kunci motornya tanpa banyak tanya. “Nah, ini salah satu hanger juga, bang,” katanya sambil tersenyum.
Kemudian kami berangkat menuju benteng. Saya dibonceng Faris, sementara Rajif mengikuti di belakang. Dalam perjalanan ke benteng, saya baru sadar, bahwa saya sedang ba hanger kepada Faris dan Rajif.