
Suara yang Hilang dari Masa Kolonial
-Review Novel Rindu yang Membawamu Pulang karya Ario Sasongko
“Saya memang punya darah Tiongkok. Tapi, saya lahir di sini (baca: Hindia). Saya tak paham bahasa mereka. Saya malah lebih fasih bicara Betawi. Bagaimana saya bisa cinta pada yang tidak saya kenal?” ujar seorang murid Pa Hoa (sekolah yang didirikan Tiong Hwa Hwe Koan [THHK]). Ling, guru sekolah tersebut, tiba-tiba terdiam, tersentak hatinya. Barangkali, ia tidak pernah membayangkan bahwa ada seorang murid yang berkata seperti itu. Perkataan itu membuat hatinya bimbang.
Ya, hatinya bimbang pada apa yang telah Ling perjuangkan selama ini. Bersama etnis Tionghoa lainnya di Batavia, Ling berupaya memperjuangkan kelompoknya agar setara dengan orang-orang Eropa. Apa yang diucapkan murid itu pun menggugah hatinya. Ling lahir dan tumbuh di Hindia, lantas mengapa ia harus lebih mencintai Tiongkok?
Gun, seorang Bumiputra, menambah kebimbangan Ling atas apa yang ia perjuangkan selama ini. Ling mengenal Gun ketika ia berkunjung ke Toko Kereta Angin “Liem”. Mulanya, keberadaan Gun ditolak oleh Ling, karena baginya bergaul dengan Bumiputra adalah sesuatu yang tak lazim. Namun, Gun telah terlanjur jatuh hati pada Ling. Ia terus mendekati Ling dan memberikan pikiran-pikiran tentang perjuangan yang harus dilakukan etnis Tionghoa dan Bumiputra. Ya, seharusnya etnis Tionghoa dan Bumiputra memiliki perjuangan yang sama, yakni kemerdekaan Indonesia.
Demikianlah, sekelumit cerita dalam novel Rindu yang Membawamu Pulang karya Ario Sasongko (Gagas Media, 2015). Hal yang menarik dalam novel ini ialah bagaimana suara-suara kaum Tionghoa pada masa kolonialisme disampaikan. Tentu saja suara-suara itu berkaitan dengan apa yang sesungguhnya diperjuangkan. Pada mulanya kaum Tionghoa berjuang semata-mata untuk kelompoknya. Berdirinya THHK adalah satu bukti perjuangan yang mereka lakukan. Tentu saja, perjuangan itu bertujuan untuk menyamatinggikan etnis Tionghoa dengan orang-orang Eropa.
Hal ini dibenarkan Claudine Salmon (dalam Sastra Indonesia Awal; Kontribusi Orang Tionghoa) dan Onghokham (dalam Anti Cina, Kapitalisme Cina, dan Gerakan Cina). Mereka mengatakan bahwa perjuangan etnis Tionghoa di masa kolonial pada mulanya (tahun 1900) adalah gerakan etnis, bukan gerakan nasionalis yang didasarkan atas kesadaran nasional. Hal ini disebabkan oleh penindasan yang dilakukan pemerintah kolonial dan politik apartheid.
Politik apartheid yang menyebabkan terpecahnya masyarakat menjadi beberapa kelompok (Melayu, Arab, Tionghoa, dll.). Hal ini dibuat agar terciptanya situasi “aman”, tidak ada persatuan di antara kelompok yang telah terkotak-kotakan itu. Malahan, terjadi permusuhan kelompok masyarakat itu. Hal ini tak luput direkam dalam novel ini.
Saat itu Gun dan Masmun tengah menunggu giliran untuk dicukur rambutnya di tempat pangkas rambut milik seorang Tionghoa. Tiba-tiba, seorang Bumiputra yang tengah dilayani merasa tidak puas dengan potongan tukang cukur itu. Ia marah dan keributan kecil itu menjadi keributan besar. Umpatan-umpatan kotor dilayangkan kepada Tionghoa itu, “Bajingan”, “Dasar kau Cina! Tukang tipu!”. Tak cukup sampai di situ, Tionghoa itu pun dipukuli massa.
Peristiwa itu diberitakan sebuah koran dengan judul yang provokatif, “Tukang Pangkas Rambut Cina Dibikin Mati Akibat Tak Becus Kerja”. Berita itu jelas membuat Ling merasa marah dan menambah kebencian Ling terhadap Bumiputra. Ling merasa bahwa perjuangannya adalah perjuangan yang benar, yakni menyetarakan etnis Tionghoa dengan Eropa.
Dengan berani novel ini menyampaikan suara-suara etnis Tionghoa pada masa kolonial. Suara-suara itu memperlihatkan primordialisme yang kuat dalam diri orang-orang Tionghoa di Batavia kala itu. Dalam sejumlah buku, suara-suara etnis Tionghoa ini samar terdengar. Pembaca hanya tahu bahwa pada masa itu etnis Tionghoa memperjuangkan kelompoknya. Novel ini mencoba untuk membangkitkan dan memperjelas suara yang samar itu secara emosional. Apa yang Ling tuturkan boleh jadi adalah representasi dari suara yang samar itu, “Kami Tionghoa hidup di tanah Hindia Belanda dengan kedua kaki kami sendiri. Golongan kami beda dengan golongan kau (baca: Bumiputra). Memang di tanah nenek moyangmu ini kami hidup, tapi segalanya tak lebih dari itu. Apa Bumiputra menyokong hidup kami? Tentu saja tidak. Kamilah yang mengupayakan hidup kami sendiri. Lihat Jepang, enak betul mereka datang-datang dan dianggap satu derajat dengan Eropa. Padahal, Batavia ini bangsa Tiongkok yang membangunnya.”
Sekilas, novel ini secara efektif dapat membangkitkan kesadaran rasial pembaca. Ia secara vulgar memperdengarkan suara-suara sinis dan memperlihatkan sentimen etnis Tionghoa terhadap keadaan yang mereka hadapi. Namun, sebenarnya, novel ini menekankan transformasi identitas etnis Tionghoa, dari identitas etnik menuju identitas nasional, sebagai pokok cerita.
Transformasi identitas dari identitas etnik menuju identitas nasional ini dijalani dengan jalan yang tidak mudah dan penuh tantangan. Hal tersebut disebabkan dalam diri tokoh-tokoh Tionghoa dalam novel ini, identitas etnik sebagai identitas bawaan (identity of being) terlampau kuat. Beberapa tokoh berhasil meraih identitas nasionalnya tetapi ada juga yang bersikukuh mempertahankan identitas etniknya.
Hal ini menunjukkan bahwa pada masa itu banyak etnis Tionghoa yang belum memiliki kesadaran atau identitas nasional. Namun, banyak pula etnis Tionghoa yang telah merasa menjadi bagian dari Indonesia. Mereka turut berpartisipasi dalam memperjuangkan kemerdekaan, misalnya Kwee Tiam Hong dan Sie Kong Liong. Mereka turut berpartisipasi dalam Kongres Pemuda II. Kwee Tiam Hong merupakan perwakilan dari Jong Sumatra, sementara Sie Kong Liong meminjamkan rumahnya untuk dijadikan tempat rapat para pemuda. Kedua tokoh tersebut juga menjadi tokoh dalam novel ini.
Salah satu kunci keberhasilan sebuah novel sejarah ialah ia mampu memahami epistemé suatu zaman. Novel ini telah berhasil. Ia memiliki pemahaman yang mendalam, bukan saja pada data-data sejarah (latar waktu, tempat, dan tokoh) tapi juga epistemé. Novel ini mengetahui kehidupan dan pikiran, bahkan mampu menampilkan suara yang hilang dari etnis Tionghoa di Batavia kala itu. Hal ini membuat novel ini menjadi lebih hidup, bukan hanya sekadar karangan atau referensi sejarah, tapi gabungan antara keduanya.[]
Judul Buku: Rindu yang Membawamu Pulang
Penulis: Ario Sasongko
Ukuran: 13 x 19 cm
Tebal: 240 hlm
Penerbit: GagasMedia
ISBN: 979-780-844-0