
Sipil Boleh Dipopor
Peristiwa pemukulan oleh oknum TNI terhadap salah satu kawan Perpustakaan Jalanan, Sabtu malam (20/8/2016), berawal dari razia rutin satuan militer terhadap anggota geng motor. Hampir setiap malam, terutama malam minggu, satuan militer atau TNI melakukan “penyisiran” ke pelbagai wilayah, termasuk Taman Cikapayang, yang menjadi salah satu pusat pertemuan orang-orang, khususnya kaula muda.
Selain letaknya yang strategis di pusat kota, Taman Cikapayang menjadi tempat yang nyaman untuk melepaskan rutinitas kehidupan sehari-hari di perkotaan. Di sana banyak berkumpul pelbagai kaula muda; dimulai dari mahasiswa, klub motor, komunitas skateboard, musik, pasangan muda, dan juga komunitas baca seperti Perpustakaan Jalanan. Hingga datang masa ketika TNI menyambangi taman itu sebagai objek razia geng motor.
Minggu pertama dan kedua sebelum peristiwa pemukulan terjadi, TNI merazia beberapa anak muda yang berkumpul di sana, terutama anggota klub motor. Kawan-kawan Perpustakaan Jalanan (selanjutnya: perpus) pun mendapatkan teguran keras dari aparat. Padahal sebelumnya pihak TNI tidak pernah melarang kegiatan perpus jalanan, karena awalnya pihak aparat menganggap bahwa kegiatan yang dilakukan kawan-kawan perpus sebagai kegiatan yang positif.
Namun, Sabtu lalu, TNI dengan dua truk gabungan orang-orang berpenampilan preman, kembali datang ke Taman Cikapayang untuk melakukan hal yang sama, yakni razia. Beberapa klub motor yang tengah berada di sana dibubarkan, tak jarang juga mendapati tindak kekerasan dari aparat. Hal yang sama kemudian berlanjut pada kawan-kawan perpus. Salah satu anggota perpus dipukuli oleh anggota militer atas dalih yang bersangkutan tidak sopan. Aparat terkait menuduh salah satu anggota perpus membentak ketika ditanyai dan diminta untuk membubarkan diri.
Hal ini mesti diklarifikasi. Pada kenyataanya, tidak ada seorang pun yang membentak. Tidak ada satu anggota perpus pun yang membangkang. Kegiatan sepele menggelar lapak bacaan oleh kawan-kawan perpus telah rutin diadakan sejak enam tahun yang lalu. Tindakan represif sedikit-banyak juga sering mampir. Hitungan-hitungan “pembangkangan” dari aktivitas melapak, atau lebih tepatnya, melawan saat diperintah bubar, adalah omong kosong belaka yang oleh aparat dijadikan alasan. Bagi kami, penggusuran lapak pedagang kaki lima di Purnawarman jauh lebih berarti sebab itu menyangkut hidup-matinya seseorang.
Keliru jika kawan Perpustakaan Jalanan disebut-sebut tidak sopan, lebih-lebih melawan.
Ironinya, setelah peristiwa itu, pihak militer merilis pernyataan atas pembubaran itu dengan mempersoalkan buku-buku yang dibaca (yang dipajang di lapak perpus), sebagai buku yang tidak kredibel. Pernyataan itu memperjelas, mengutip Zen RS, bagaimana nalar fasis yang bekerja di balik tindakan-tindakan kekerasan itu. Dalam hal ini militer mempersoalkan beberapa poin penting: 1) Mengapa kegiatan membaca buku harus dilakukan di suatu tempat di malam hari? Adakah tempat yang lebih baik di kota Bandung untuk membaca buku? Dan kenapa sampai “larut malam” akan berdampak negatif? 2) Apakah buku-buku itu kredibel, dalam arti layak dibaca dan sudah melapor pada institusi terkait?
Kami bersyukur masih ada lelucon untuk ditertawakan.
Dengan dalih penertiban geng motor; membantu Pemda dan Kepolisian menciptakan keamanan, pihak militer Kodam III/Siliwangi sebenarnya melegitimasi tindak pemukulan itu. Jika yang disasar adalah geng motor, mengapa mesti menghantam orang-orang saleh seperti anggota perpus yang jelas tidak bersalah? Mereka memajang buku, cahaya pengetahuan. Bukan memajang motor. Motor anggota perpus rongsok adanya.
Atau, adakah pihak aparat tidak bisa membedakan mana anggota geng dan bukan geng? Sehingga boleh menyasar siapa saja yang dicurigai sebagai anggota geng motor?
Sementara itu, persoalan kenapa perpus harus dilakukan di suatu tempat dan malam hari, kawan-kawan Perpustakaan Jalanan punya logika dan alasannya tersendiri. Seperti yang telah dikatakan di awal tulisan, bahwa alasan mereka kenapa memilih Taman Cikapayang, adalah karena tempat itu ibarat tempat yang menjadi pusat bertemunya banyak orang. Kawan-kawan perpus hampir semuanya adalah buruh. Hal ini satu-satunya raison d’etre yang memungkinkan kenapa perpus diadakan malam hari. Mereka tak memiliki banyak waktu selain malam hari, waktu yang dilewatkan untuk sekedar berdiskusi atau melakukan kegiatan-kegiatan positif lainnya. Dan tak kurang positif apa dari kegiatan MEMBACA BUKU?
Adapun kegiatan di atas harus dilakukan di akhir pekan. Karena semua juga tahu, dampak tuntutan ekonomi-politik yang carut marut, mau tak mau mereka itu, sebagai buruh, harus juga berjuang memenuhi kebutuhan hidupnya dalam segi finansial. Di sinilah, sudah seharusnya pihak pemerintah bisa mengapresiasi apa yang telah kawan-kawan perpus lakukan. Seminimal menjadikan agenda tersebut rujukan untuk melakukan perbaikan dalam pelbagai sektor, umpamanya.
Dalam hal buku sendiri, informasi yang kami dapat dari salah satu anggota perpus, Tawakal, mengatakan bahwa buku-buku yang tersedia di perpus kebanyakan dari sumbangan kawan-kawan pelbagai kalangan. Dari mahasiswa, dosen, penerbit buku, lembaga-lembaga independen, dll. Buku-buku itu diberikan secara cuma-cuma sebagai bentuk dukungan dalam membentuk kesadaran membaca pada kaula muda. Selain itu, ada beberapa buku yang didapat sendiri oleh kawan-kawan perpus, dan tentu merupakan jeri payah memburuh.
Untuk itu, pernyataan aparat soal buku yang kredibel amat sangat tidak bisa dipahami. Bagaimana sebuah buku bisa dikatakan kredibel atau layak dibaca oleh publik? Apa yang menjadi tolak ukurnya? Sedangkan, buku-buku yang best seller di toko-toko buku pun belum tentu buku bagus untuk kalangan tertentu. Nyatanya, buku-buku di perpus adalah buku-buku dalam berbagai bidang atau studi; dimulai dari buku dasar-dasar akutansi, sejarah, sastra, ekonomi, sosial, komik, majalah, dll. Jadi, buku kredibel bukan hanya buku yang ditentukan oleh lembaga pemerintah saja, yang jelas-jelas diterbitkan hanya untuk kepentingan politik belaka.
Setiap buku bisa dikatakan baik dalam setiap bidang yang dituju oleh buku tersebut. Buku yang baik adalah buku yang mencerdaskan dan memanusiakan manusia. Dengan adanya perpus ini, sebetulnya sangat memberi kontribusi dalam tingkat baca di Indonesia yang cukup rendah. Bahkan, amat sangat bernilai di tengah mengguritanya komersialisasi pengetahuan.
Kasus ini memberi kami pelajaran yang luar biasa klasik. Bahwa pada dasarnya, mereka selalu membutuhkan alasan. Alasan yang diusung tak jauh bedanya dengan fantasi belaka, buat mengisi kekosongan, atau lebih kena disebut sebagai kelimbungan simbol otoritas. Keduanya hadir sama-sama buat membenarkan, buat melegitimasi. Bahwa tindak kekerasan itu sudah pada tempatnya, tepat sasaran, dan tentu saja sah. Sebab mengapanya jelas: mereka aparat, sedangkan anggota perpustakaan cuma anak muda, buruh rendahan, masyarakat sipil belaka. Seandainya anak-anak muda itu lancang, maka boleh dipukul. Dibenarkan dipopor.
Kini, butuh berapa kawan lagi yang mesti dipopor buat menyadarkan, bahwa kita masih dalam keadaan tidak baik-baik saja, dalam rezim fasis yang serba meriah ini?[]