Fb. In. Tw.

Sensasi Eropa di Jalan Braga

Pernah melihat gunung di kejauhan begitu indah, tapi luput menyaksikan keindahan daun-daun gugur  di halaman rumah? Ya, kadang kita sering silau melihat keindahan di kejauhan tanpa menyadari bahwa hal-hal di sekitar kita itu menarik.

Maka saya putuskan untuk berkeliling kota. Bukan berkeliling juga sih. Hanya mengunjungi beberapa tempat di Bandung. Sendirian. Sebenarnya dulu saya sering bepergian seperti itu, tapi kesibukan dan kebiasaan baru membuat saya melupakannya. Akhir-akhir ini saya pergi sendiri hanya untuk nonton bioskop, belanja, atau nongkrong di rumputan kampus.

Tujuan utama saya Jalan Braga. Saya pikir Jalan Braga adalah tempat yang menarik di Bandung. Jalannya tidak terlalu panjang, namun nilai sejarahnya cukup tinggi. Jika lewat sana, mau tidak mau kita akan merasakan hawa jaman Belanda. Beberapa bangunan dibiarkan tetap seperti aslinya, namanya pun masih tetap dibiarkan sama, seperti Concurrent, Braga Huis, dll.

Beberapa gedung ikonik seperti Landmark dan Braga Permai masih bertahan di sana. Ketika dulu untuk pertama kalinya saya jalan kaki di sana, saya katakan pada teman bahwa saya serasa di Eropa. Mungkin karena bangunan dan tipikal jalannya.

Tapi, sebelum ke Jalan Braga saya putuskan ke alun-alun Bandung terlebih dahulu. Tulisan Zulfa Nasrulloh di Buruan.co beberapa waktu yang lalu membuat saya benar-benar ingin menginjakkan kaki di sana. Apa salahnya ke sana dulu. Hari masih panjang. Saya tak banyak kesibukan selepas tak ada lagi kuliah di kelas.

Berangkat dari kosan di Jalan Muarajeun, saya menggunakan transportasi Damri jurusan Cicaheum-Cibeureum—sebelumnya naik angkot ke perempatan Supratman—saya baru tahu kalau ada Damri yang benar-benar bagus di Bandung. Bersih, nyaman, ber-AC, dan modern. Saya benar-benar tidak menyesal. Suatu permulaan yang bagus untuk sebuah perjalanan, pikir saya.

Tiba di alun-alun suasana begitu ramai. Pemandangan yang waas bagi saya. Bagaimana puluhan atau mungkin ratusan orang tumpah di lapangan rumput buatan itu. Ada perasaan bahagia melihat banyak orang yang datang dengan senyuman. Terlebih karena kebanyakan datang bersama keluarga dan sahabat-sahabat. Pemandangan yang mahal meski dijangkau dengan harga yang murah.

Setelah hampir satu jam di sana saya memulai perjalanan ke Jalan Braga. Dengan berjalan kaki, saya susuri jembatan penyeberangan yang telah beralihfungsi menjadi rumah tunawisma, Sungai Cikapundung—yang sayangnya airnya tetap secoklat dulu, Gedung Merdeka yang ramai orang berfoto, Museum Asia-Afrika yang tetap kharismatik hingga sampai ke Jalan Braga.

Di Jalan Braga saya berniat mampir ke Sumber Hidangan. Semacam kafe peninggalan jaman Belanda. Di sana ada es krim yang lezat dengan harga murah. Jika ke sana kita akan menemukan  arsitektur jaman Belanda, bahkan kasirnya pun masih dipertahankan bentuknya seperti dulu, manual.

Sebenarnya bukan hanya es krimnya yang saya cari, namun suasananya. Sayang tutup. Akhir-akhir ini saya lihat sering tutup. Mungkin karena sudah jarang yang berkunjung. Tak jadi bernostalgia, saya melanjutkan perjalanana dengan berjalan kaki.

Konon katanya, Jalan Braga dahulu adalah kawasan elit dan tempat hiburan mewah orang-orang  Belanda (baca: Eropa). Tak heran hingga kini di sana banyak ditemukan bar-bar atau tempat karaoke. Makanya, bagi sebagian kalangan masa kini, Jalan Braga kerap dicap sebagai kawasan yang kurang baik.

Tapi sekarang di Jalan Braga telah banyak ditemukan kafe-kafe yang lebih Indonesia, meski kafe atau restoran dengan menu khas Belanda masih ada. Tak hanya kafe, toko batik, toko barang elektronik, hingga lukisan bisa kita jumpai di sana.

Ada kejadian menarik ketika bertenu Bapak Juru Parkir, Bapak Awan namanya. Ketika melihat saya melintas sambil mengambil beberapa gambar, beliau menyapa lalu meminta saya memotret beliau beserta temannya. Kami semua tersenyum. Kejadian-kejadian yang mungkin ditemui di perjalanan. Menjadikan kita lebih menjadi manusia bukan?

Menurut beberapa teman, banyak nilai historis dari jalan atau bahkan gang-gang yang ada di Braga. Sayang saya tidak mengeksplor lebih lanjut. Mungkin di perjalanan berikutnya. Masih banyak yang ingin saya ketahui dan lakukan, seperti pesanan Kang Ubaidilah untuk menemukan plang “Verboden voor Honden en Inlander” di Gedung Merdeka.

Suatu hari sempatkanlah jadi turis di kota sendiri. Usahakan tidak bermotor, apalagi ngebut. Seperti yang dibilang penulis favorit saya M. Aan Mansyur, “ketika semakin cepat kendaraan yang digunakan, maka semakin tumpul membuat deskripsi. Jangan takut dipandang lain atau dikatai aneh. Di situlah kita dapat membuktikan bahwa keberanian melangkah akan membuat kita mendapatkan lebih banyak.”[]

Sumber foto: Alfatihatus Sholihatunnisa

KOMENTAR
Post tags:

Lahir di Subang, 9 Januari 1989. Pecinta film dan jalan-jalan. Bercita-cita mengunjungi Turki suatu hari nanti. Tinggal di Jakarta.

You don't have permission to register