
Puisi Telah Mencintaimu, Will
Pada Minggu (20/10/2019) dini hari saya melakukan perjalanan ke Bandung. Saya tiba jam sembilan pagi. Ketika tiba, saya kontak Willy Fahmy Agiska, mau numpang rehat di kosannya. Dengan senang hati dia mempersilakan.
Saat saya sampai di kosan Willy, yang hanya berjarak lima langkah dari gerbang Secapa Angkatan Darat di Bandung itu, dia sedang menyetrika pakaian. Rajin sekali. Padahal sehari sebelumnya (19/10/2019) dia baru saja bermain sebagai Pelayan 2 dalam pementasan “Morito dan Dua Pelayan” garapan Jalan Teater yang disutradarai Zulfa Nasrulloh. Selain bermain, dia juga membantu membereskan set panggung yang bertempat di Auditorium IFI Bandung.
Willy menyetrika, karena pada jam satu siang harus berangkat ke Jakarta. Dia mendapat kabar dari Panitia Hari Puisi Indonesia (HPI) 2019 untuk menghadiri seremoni acara tersebut. “Saya diminta datang saja, gak tahu (menang atau tidak). Tapi, panitia meminta merahasiakan pemberitahuan ini dulu. ‘Jangan bilang teman-teman dulu,’ katanya”
“Biasanya, yang mendapatkan telepon (Whatsapp) dari panitia HPI, kalau tidak menang minimal meraih penghargaan lain,” saya bilang begitu kepada Willy. Dia menanggapi dengan santai saja. Tidak terlihat ambisi untuk memenangkan apa pun.
Meski harus segera berangkat ke Jakarta, setelah menyetrika, Willy masih menyempatkan untuk menyuguhi saya kopi. Setelah kopi tersaji, kami berbincang-bincang tentang pertunjukan yang digelar dua sesi sehari sebelumnya. Dia juga menunjukan bekas luka sabetan pedang yang meleset menyasar lengan dan jarinya selama latihan juga ketika pertunjukan.
Saya sedikit menyesal tidak jadi berangkat kemarin, padahal saya sudah memesan tiket perjalanan ke Bandung. Yang membuat saya menyesal adalah tidak bisa menyaksikan Willy bermain drama (dan seluruh pertunjukan itu tentu saja), karena belum pernah sekali pun melihatnya berakting di panggung teater. Namun, karena beberapa pertimbangan soal keluarga di Jogja, saya membatalkan tiket kereta api pada menit-menit akhir sebelum memesan ulang jadwal kereta Minggu dini hari.
Kalau melihat Willy membaca puisi, sudah cukup sering. Meski badannya kurus kecil, tapi suaranya cukup lantang ketika membaca puisi. Bahkan pada tahun 2018, dia berhasil menyabet gelar Juara Umum Lomba Baca Puisi Piala Rendra yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia UPI. Salah satu lomba baca puisi paling ditunggu-tunggu para pendekar baca puisi di Jawa Barat.
Selain piawai membaca puisi, Willy juga ternyata handal menjadi Kepala Toco, sebuah toko buku online Buruan.co. Dia handal menjual buku. Tidak jarang dia pergi sendiri melapak di beberapa tempat dengan membawa satu kontainer buku untuk dijual.
Yang mengejutkan, sebagai penyair, Willy bisa menyusun laporan penjualan dengan cukup tertib di Microsoft Excell. Tanpa harus diingatkan, dia selalu menyusun laporan pada waktu yang tepat. Selain menyusun laporan, dia juga kurator buku yang akan dijual di Toco. Kuratorial yang dilakukannya berdasarkan kualitas juga penyesuaian dengan anggaran yang dimiliki. Ini catatan keren bagi penyair, yang cenderung dianggap tidak bisa bekerja dengan rapi. Dia adalah satu di antara beberapa penyair yang bisa bekerja rapi.
Willy Menerbitkan Buku Kumpulan Puisi
Di akhir tahun 2018, Willy mengirimi saya data pdf draft buku yang akan diterbitkan oleh Penerbit Kentja. Saya kaget dan senang. Di samping kesibukannya mengurus toco dan kuliahnya di tahun-tahun terakhir, dia memanfaatkannya dengan menyiapkan sebuah buku kumpulan puisi.
Beberapa puisinya telah saya baca sebelumnya. Ketika dia mulai aktif di Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) juga yang kebetulan dimuat beberapa media, seperti Pikiran Rakyat dan Indopos. Puisi-puisinya disusun dari kata-kata cukup liat yang membangun imaji mencekam, mengancam, dan bisa menimbulkan efek demam. Persis seperti judul bukunya Mencatat Demam.
“Sajak Biru” ini misalnya, sajak yang pantas ditata di awal buku Willy:
Pada sepi yang makin gigir
pada batas rasa kehilangan ini,
aku biru.
Seluruh laut pulang padaku
tanpa ombak dan perahu-perahu.
Waktu hanyalah seorang utusan
pemberi renik-renik bangkai
yang lama terapung-apung
di hatimu
Sedang di sini,
mercusuar hanya menggigil.
Sampah-sampah mengambang
dan ikan-ikan terkapar
di kedua mataku.
2012-2017
Sebuah puisi yang ditulis selama lima tahun, jika mengacu pada titimangsa yang dibubuhkannya. Ini setidaknya memperlihatkan proses penulisan tidak dilakukan hanya sekali kotret. Tapi ditulis berulang-ulang.
Pada puisi ini, aku lirik tidak menjadi penonton atau pemerhati setiap peristiwa, tetapi menjadi bagian dari sepi, kehilangan, dan segala yang berujung di kedua mataku. Di luar perkara perasaan, puisi ini juga memiliki musikalitas yang renyah. Bebunyian yang ditabuh denting –i, dentum –u, dan dendang –ang, mengantarkan irama yang cukup untuk menggoyangkan lamunan.
Sejenak, puisi-puisi Willy terdengar seperti mantra jika dibacakan dengan bersuara. Gaya puisinya seakan mengingatkan pada puisi mantra khas Sutardji Calzoum Bachri. Tapi, dia mengemas dengan cara ucap yang lain. Puisi berjudul “Rajah Batu” ini misalnya:
Tuhan, aku kaku
Pada kata-kata yang hilang ucap
kutemukan diriku sebegini kaku.
Teriakku hanya milik palumu
yang selalu meretak-retak aku
dan kembali kusampaikan padamu
sebagai doa atau semacam apologia
atas seluruh cinta yang remaja.
Tuhan, aku batu.
Dari dingin juga angin
yang mengental:
di mana aku berasal
2013-2018
Gayanya yang agak-agak bermain mantra ini mungkin dipengaruhi kedekatannya dengan Astana Gede di Kawali, yang merupakan kampung halamannya. Kedekatan ini adalah harfiah. Rumahnya hanya berjarak (tidak lebih dari) 500 meter saja dari situs peninggalan Kerajaan Galuh tersebut. Barangkali secara alamiah ruh leluhur penyair Kerajaan Galuh merasuk ke dalam jiwanya. Ditambah setiap pulang kampung dia memang rajin ziarah ke Astana Gede.
Itu sedikit saja mengenai puisi Willy, jika ingin tahu lebih banyak, segera paksa dia dan penerbitnya untuk mencetak ulang buku kumpulan puisi Mencatat Demam tersebut.
Pada tahun ini, Willy juga baru saja menyelesaikan kuliah yang dijalaninya dengan waktu yang cukup. Diwisuda setelah bertahun-tahun ngampus di UPI. Meski tidak cum laude, tapi hanya berselang 10 hari dari seremonial wisuda, dia mendapatkan ijazah yang lebih berharga bagi perjalanannya sebagai penyair.
Jadi, setelah Willy menyetrika, menyuguhkan kopi, dan berbincang tentang pertunjukan teaternya, beberapa jam kemudian dia memenangkan Anugerah Buku Puisi Terbaik Hari Puisi Indonesia 2019 untuk buku kumpulan puisinya Mencatat Demam. M. Aden Ma’ruf mengabarkan berita bahagia tersebut melalui WAG Buruan.co dengan mengirimkan foto Willy yang kerepotan menggenggam piala dan plakat hadiah.
Selamat, Will. Proses, ketelatenan, dan besarnya cintamu pada puisi telah membuat puisi mencintaimu.[]