
Puisi-Puisi Toni Lesmana
Ketika Anak-Anak Sudah Tidur
Ketika anak-anak sudah tidur
Kau merapikan mainan
Hati-hati menyapu debu
Seperti sedang menghalau
Serbuk mimpi buruk
Ke luar pintu kantuk
Ketika anak-anak sudah tidur
Kau berjalan pelan
Dari kamar ke kamar
Memastikan letak selimut
Di tubuh-tubuh lelap
Mencium semua kening
Meneteskan bening hening
Ketika anak-anak sudah tidur
Kau menyetrika dan melipat
Seluruh tumpuk-kusut
Tanpa suara atau bunyi
Seakan tak ingin mengganggu
Rintik detik dalam hatimu
Ketika anak-anak sudah tidur
Kau mencuci piring dan gelas
Merendam baju dan celana kotor
Dan membilas semuanya kembali
Bersih, sedikit pewangi biar esok
Angin dan matahari berlomba
Mencumbu segala yang tergantung
Di tiang jemuran samping rumah
Ketika anak-anak sudah tidur
Kau menyalakan api di kompor
Memanaskan air dan menyeduh kopi
Untuk azan subuh, duduk bersimpuh
Lalu memeriksa daftar belanjaan
Seperti sedang menyusun ada dan tiada
Ketika anak-anak sudah tidur
Kau memastikan semua padam
Diam-diam mengenakan jaket
Berjalan ke teras, membuka gerbang
Menyusuri gang sepi, jalanan remang
Menjelajah pasar yang dingin, menawar
Keinginan agar tetap bisa merawat
Lembar dan keping tabungan keyakinan
Ketika anak-anak sudah tidur
Kau akan menggenggam pisau
Sibuk dengan sayur, bumbu
Barangkali sedikit daging
Mengukur rasa dan kematangan
Seakan menghidangkan diri sendiri
Untuk sajian sarapan bagi para kekasih
Ketika anak-anak sudah tidur
Kau akan mengelus rambut kusutku
Memeluk lengkung tubuhku, sambil
Berbisik, “Sayang, fajar sebentar semburat
Sudah berapa puisi yang lahir? Tidurlah dulu
Kata-kata mungkin ingin terbaring dan
Sedikit bermimpi.” Lalu kau menciumku
Sebelum menerbitkan pagi
Ketika anak-anak sudah tidur
Kau akan titipkan kantukmu
Pada mereka. Sebab cinta
Tidak pernah tidur, ucap matamu
Aku tersungkur seperti kata
Pada peluk puisi
Di Lembar ini
1
Di lembar ini, anak-anak menulis
Huruf-huruf berlari riang gembira
Tanpa cemas menjadi kata
Di lembar ini pula, kita menulis
Kata-kata berjalan tenang
Tanpa beban menjadi makna
Di lembar ini kini, kata menulis
Makna-makna berenang nyaman
Tanpa bebat kain kenangan
2
Di lembar sajak tertanam sejak dan kelak
Di lembar tirakat terangkum derita dan bahagia
Kita berjalan di sana, berenang di sana
Mengembara, menemukan, dan saling melucuti
Duri diri. Pikiran-pikiran disaring puisi
Dan perasaan-perasaan diperas puasa
Kita berdebar di sana, meraba kesabaran
Nikmat menahan, lezat melepas
3
Sebelum menempuh terik sungai larik, kau
Kayuh dan basuh setiap huruf ke telaga mataku
Aku pun belajar mengeja dan merangkainya diterangi
Nyala matamu, pelan-pelan membangun perahu kata
Lembar demi lembar berlayar
Mendirikan menara suar perasaan
Dari pelabuhan ke pelabuhan sajak
Waktu
Kupersembahkan puasa
Membakar dan menempa
Sebilah hadiah
Kaulimpahkan puisi
Mengasah dan membilas
Diri pemberian
Hadiah
1
Diriku sebotol tuak yang menunggu
Puluhan tahun kubawa ke mana-mana
Terlindung rapat jubah tirakat
Tak pernah kulepas telanjang
Agar tak pecah tumpah sia-sia
Dirikulah sadapan tapa nira
Menetes dari luka mayang jiwa
Darah putih intisari semadi
Wangi murni birahi dari rindu
Yang dibendung hanya untukmu
Kujaga hati-hati dari segala goda dahaga
Kalut haus dan rakus mulut nafsu
Setetes pun tak pernah rembes
Dari sumbat puasa. Kekasih, tikamkan
Dalam-dalam runcing ujung kukumu
Tarik dan lepas sekaligus liat tirakatku
Renggut dan teguk, mabuklah diriku
Habiskan tuak nira penantian ini
Meresap ke darahmu, mengaliri
Dirimu. Dan setiap harimu
Menjelma hari kelahiranmu yang aku.
2
Hanya sebatang cokelat, namun tak pernah
Habis oleh lapar usia. Ia mulanya terbit di pohon-
Pohon kakao dalam kebun jiwaku, tangan hatiku
Memetiknya matang di rindang dahan kesetiaan
Mulut kesabaranku mengupas dan mengunyah
Membersihkan biji-biji kata sewarna tanah itu. Lalu,
Api tungku gairah mengeringkan dan memanggang
Lepas kulit hingga biji telanjang murni menyerahkan
Rasa dan warna pada jantung kerinduan
Degup menumbuknya halus, cair dan kental
Diaduk percik darah arus perenungan
Menjelma lezat yang siap leleh seputih susu
Mengendap di gelap sedap yang pelan-pelan
Tegak tercetak sebagai batangan. Sudah lama
Kuberikan sebatang cokelat kata dalam kotak
Yang diikat pita tirakat, dan sudah lama pula
Pikat jemarimu mengurai rumit liat ikatannya,
Kau lahap melumat cokelat kata itu, padatan sajak-
Sajak, dari malam ke malam, dari ulang tahun
Ke ulang tahun. Tak habis-habis seperti halnya
Cinta, lezat sedap hidup sebelum dikecup maut
Kereta
Kereta bayi memang bukan kereta api
Tak ada gerbong-gerbong pengangkut kalut
Tapi kita kini tak lagi sekadar penumpang gamang
Yang mudah lelap didekap kegelisahan
Terjerat perjalanan yang melulu pelarian
Sekarang kitalah masinis
Menggerakkan roda kegembiraan
Dari pekarangan menyusuri gang-gang,
Trotoar dan alun-alun. Tangis dan tawa murni
Anak kitalah sesungguhnya perjalanan
Melebihi lecut kenangan dari stasiun ke stasiun
Merekalah pengantar jiwa matang
Mendorong kereta bayi
Kita memandang cerlang
Keriangan masa depan