Fb. In. Tw.

Puisi-Puisi Nanda Alifya Rahmah

Zona Merah

bu, ada badai di langit, ada burung yang cacat, tidak mau hinggap di bumi lagi

ada perasaan kantuk gentayangan mencari mimpi yang cocok, agar dewi bulan tidak perlu keluar dari dongeng, aku menggariskan krayon merah di sini, sambil membaca jadwal perjalanan nasa yang batal:

dua lembar tiket ke mars telah dipesan oleh sepasang virus yang kasmaran, bermimpi untuk membelah diri di bulan;

ada hutan sedang belajar ambruk untuk kapitalisme yang baru, pohon-pohon putih berjalan ke padang yang tidak ada, bu, aku adalah burung plastik ‘kan, tergantung dalam kamar, terputar-putar tanpa baterai

dunia tidak mendengar cintaku bernyanyi di balik pintu negara yang terkunci, waktu makin terlambat, kasak-kusuk merebak bagai udara tengah hari –

angin berjuta kali menabrakkan dirinya ke papan reklam, ada dua ratus juta sinyal ngadat di sini, belum disensus, menghanguskan pesan dari pelosok-pelosok gelap sebuah bangsa – sebuah tubuh, ada rangka lampu tergantung seperti mayat bajak laut jepang

suara laki-laki belajar mengeja namaku di situ, alif, alif, ya, ya –  kekasihku! engkaulah pengalaman buruk, ingatan akan cuaca dan wabah;

tolong nyalakan lilin, atau teplok, atau senter hape, aku perlu cuci tangan di tengah krisis ini;

bu, tuhan tidak akan mengotori tangannya sendiri ‘kan, ada kitab tertutup sampai kapanpun juga, bu – aku  serius! – ada yel-yel antitiran, menyeret cuaca buruk ke kanan

seorang demonstran berenang di laut pikiranku, sebesar paus, paru-parunya memutih seperti pohon yang berjalan itu, bendera-bendera terpasang seperti api kompor – segera meledak, tapi masa depan punya terlalu banyak air mata buat menyiramnya

orang-orang menggerakkan seluruh dunia dengan kisah sedih dan makanan china, tapi, bu, tidak ada jalan di situ agar semuanya bisa lewat; ada hantu baru saja terusir dari kapal kesadaranku, mencoba rute pelayaran lain untuk memahami kebebasan

duh, orang-orang lewat mana sih untuk menjadi perempuan dan laki-laki abad ini, di dalam paru-paruku oksigen berbagai merk, terikat seperti balon hari raya – tidak ada cinta di dunia

untuk menggenggamnya erat-erat: plain, plain, plain, plain – para kekasih menarik napas dengan gaya monoton sejak zaman nabi adam;

lalu definisi-definisi menyusun benteng menghalangiku mengintip wajahmu

bu, sejarah diukir di dinding seperti peringatan anjing galak, seorang anak harus mengendap-endap untuk pipis di situ, tapi aku telanjur memahami dunia dari puisi yang bisa dibaca dalam kegelapan

kadang bintang-bintang meledak di dalam hatiku, memprotes bahasa yang bertepuk sebelah tangan;

bu, ada semut kecil yang pongah di seberang kekosongan ini, antenanya bergetar, mencoba mengukur jarak antara hidungku dan masa depan yang sehat

tapi seluruh kegilaan mondar-mandir dalam kamarku, bu, tangan-tangan tak kelihatan memain-mainkan pensil di mejaku

mereka menulis: ada yang memerintahkan kota ini menyumpal mulutnya dengan daftar orang mati, masker korea, siaran langsung pendidikan kewarganegaraan dari rumah;

bu, kesunyian menjaring puluhan bangkai nyamuk dalam novel-novel latin, memberi jalan bahasa menggerogoti cinta yang tidak dieja satu-satu;

bu, ada puisi sedang dirawat di hatiku, khawatir tidak bisa sembuh dari demam yang mengunci sebuah pintu

2020

 

Menutup Jendela Kamar

tunggu dulu, segalanya ingin kabur saat kau masuk, sebutir bintang meledak di dalam sini lalu malam bertabur puisi dari matamu, membebaskan jagatraya  jam dua pagi, mimpiku pun dipotong, untuk mengecek detak jantung seseorang, kegelisahan mengukur sejauh apa bahasa dipahami lewat getaran

klik, aku harus membuat kunci ini berfungsi, apakah kata baik-baik saja di situ, segerombolan huruf dari buku harianmu melarikan diri ke bawah kasurku, membangun panggung konser dua belas jam, lirik-lirik yang dicuri dari daratan hindia, tunggu dulu, siapa yang menuliskan air mata di daun-daun pohon, kesedihan telanjur bocor dari sebuah dunia yang tidak mau diintip

rahasia menyimpan namamu dari kasak-kusuk negara yang sedang batuk, tutup dulu mulutnya, di luar sana, musim merambat seperti benalu buat paru-paru kita

2020

 

Pises

aku memelihara gi dalam toples, gelembung air dari celah batu warna-warni memecahkan sajakku untuk menidurkannya, bahasa yang berbisik pada gi lewat mimpi berusaha mencapai sebuah pantai di seberang bimasakti, tahun-tahun jadi amis dalam kepasirannya

ada laki-laki tinggal di dasar jurang, kesedihan mengundang cicak dan demam ke ranjang, tapi gi ingin lepas dari dunia biru yang harus disaring seminggu sekali, ingin jadi ikan paling bahagia di seantero galaksi

maka seperti menuang minyak, ia ajak jagatraya ke dalam air, seluruh dunia terpeleset ke situ, menyeret bulan dan seekor paus bisu

aku ingin bernyanyi untuknya, mengabarkan kisah bidadari dan anak panah, tapi delapan bintang kecil sudah menjelma di ekor gi, memberinya sebilah pedang dan baju zirah

bulan pun meredup dalam dadanya, seperti telur kembali ke dalam garba;

besok akan menetaskan kegelapan

2020

 

Leo
: dari ajeng

aku masukkan namamu ke dalam playlist, selembar hutan hangus lagi dalam kamarku, menyalakan come away with me, cinta mengaum-aum di tepi bimasakti, menuntut pembebasan

lalu dua belas channel tivi, dunia yang korslet, disetel bersamaan, dalam putaran yang tidak berjejak di ingatan, berita kelaparan membuat bintang-bintang turun tanpa eskalator – ke dasar angkasa, tapi seorang laki-laki tidak pernah bergerak dari atas kakinya –

tapi seorang perempuan tidak pernah bergerak dari atas kakinya

putih, hingga musik selesai, menunggu seluruh dunia

ia tawan bellerophon di dada, ia tahan singa dalam kepala, agar tak berbunyi dalam mimpi orang-orang: sebaris not country untuk norah dalam diriku yang terpejam di masa depan

– kesepian menulis lagu sendiri untuk hutan yang tidak bisa dipadamkan setelah dunia reda

2020

Lahir di Surabaya. Menulis puisi, esai, cerpen dan naskah drama. Menyelesaikan studi Sastra Indonesia di Universitas Airlangga, berkesenian di Teater Gapus Surabaya, No-Exit Theatre, dan FS3LP.

KOMENTAR
You don't have permission to register