
Pria Jawa Jenaka dan Franz Kafka
Diskusi Tiga Buku Sigit Susanto: Kesetrum Cinta: Kisah Jenaka Pria Jawa Menikah dengan Perempuan Swiss, Proses, dan Surat untuk Ayah
Karya sastra yang berhasil selalu mengundang pembaca untuk membacanya berulang-ulang. Begitulah kira-kira komentar saya ketika mengikuti bedah buku bertajuk “Kafka Kesetrum Cinta” pada Kamis (14/04/16). Kegiatan ini berlangsung di perpustakaan Ultimus, Jalan Cikutra Baru IV No. 30 Bandung.
Ada tiga buku Sigit Susanto yang dibahas, antara lain Kesetrum Cinta: Kisah Jenaka Pria Jawa Menikah dengan Perempuan Swiss (Buku Mojok), dua terjemahan novel Franz Kafka, Proses (Gramedia) dan Surat untuk Ayah (Komunitas Lereng Medini).
Kang Bondet, panggilan akrab Sigit Susanto, memulai diskusi dengan menunjukkan ole-ole yang ia bawa dari Eropa. Pertama, ia menjelaskan topi khas Yahudi yang ia dapatkan saat berziarah ke makam Kafka di Ceko. Bahwa setiap peziarah wajib mengenakan topi tersebut. Topi itu juga diberikan secara cuma-cuma oleh penjaga makam.
Ole-ole kedua yang ditunjukkan Kang Bondet berupa sebuah buku. ia bercerita bahwa buku tersebut ia peroleh dari seorang nenek sihir. Kemudian ia memamerkan trik sulap dari buku tersebut yang membuat seluruh peserta ikut tertawa.
Lalu Kang Bondet bercerita tentang hal-hal Jenaka di balik kisah hidupnya bersama istrinya yang berkebangsaan Swiss. Dengan latar budaya dan bahasa yang berbeda, selalu ada saja cerita-cerita yang menggelitik. Hal itulah yang kemudian melatarbelakangi Kang Bondet untuk menulis buku Kesetrum Cinta: Kisah Jenaka Pria Jawa Menikah dengan Perempuan Swiss.
Setelah itu, Kang Bondet bercerita tentang proses penerjemahan kedua novel Franz Kafka. Kafka wafat pada 11 Juni 1924. Sampai hari ini, karyanya tetap dihormati dan dibaca oleh berbagai kalangan. Tak hanya oleh penikmat sastra, tapi juga oleh kalangan umum lainnya. Bahkan karya Kafka telah mengakar dalam masyarakat Eropa. “Setiap hari ada saja pengagum Kafka yang mengirim surat dan kartu pos ke makam Kafka di Praha, Ceko,” ujarnya.
Giliran Faiz Mansur memberikan pengantar diskusinya. Faiz lebih banyak berbicara untuk buku Kesetrum Cinta. Ia menjelaskan tentang segmentasi pembaca bagi buku tersebut. Ia juga menyarankan agar menggunakan optik budaya Barat-Timur dalam membaca buku tersebut. Bahwa buku ini memperlihatkan pertemuan kutub budaya yang berbeda.
Meskipun, buku ini tak berbicara mengenai teori budaya atau wacana orientalisme ala Edwar Said, namun buku ini sedikitnya dapat disebut sebagai upaya pencerahan untuk melihat persinggungan antara Barat dan Timur. Faiz selalu menyisipkan humor dan sentilan-sentilan untuk para penulis Indonesia, sehingga mengundang gelak tawa dari peserta.
Setelah itu, giliran Kusuma memberikan pandangannya sebagai pembicara. Kusuma yang juga merupakan guru mata pelajaran bahasa Jerman di Tasikmalaya menjelaskan bahwa Kafka bukanlah bacaan yang mudah untuk dibaca. Ia berbicara latar belakang Kafka sebagai penulis. Selain itu, Kusuma juga menjelaskan perbedaan gaya bahasa Indonesia dengan bahasa Jerman. Mulai dari dari kata hingga struktur kalimatnya.
Sesi tanya jawab diisi oleh lima penanya. Pertanyaannya meliputi bagaimana tradisi membaca di Eropa, estetika karya Kafka, perbedaan antara karya asli Kafka dan terjemahan bahasa Inggris, pengaruh Kafka terhadap kesusastraan dunia dan cara membaca (memahami) karya Kafka.
Kafka wafat hampir satu abad yang lalu. Banyak penulis besar seperti Gabriel Garcia Marquez, Roberto Bolano, Mario Vargas Llosa, Orhan Pamuk, Haruki Murakami, Eka Kurniawan (di Indonesia), dan penulis hebat lainnya yang mengaku terinspirasi oleh gaya penulisan Kafka.
Marquez mengaku tercengang saat pertama kali membaca baris pertama dalam novel Metamorphosis. “Jika saja boleh menulis dengan gaya seperti itu, sudah sejak dulu saya menuliskannya,” ujar Marquez dalam wawancara yang dimuat di The Paris Review.
Terbitnya buku-buku terjemahan berbahasa Indonesia karya Fanz Kafka, yang diterjemahkan oleh Kang Bondet, akan membuka wawasan untuk pembaca sastra di Indonesia. Terutama bagi pembaca yang masih kesulitan dengan karya sastra berbahasa asing, seperi saya.
Maka, alih-alih mengenalkan Kafka lebih luas ke publik Indonesia, ini merupakan salah satu upaya untuk membuka cakrawala kesusastraan dunia. Selamat, Kang Bondet![]