Fb. In. Tw.

Perempuan Kosmopolitan

-Ulasan Novel Perempuan Bergema karya Susana Febryanty

Membaca sebuah novel memberi tantangan tersendiri bagi pembaca. Apalagi pembaca yang mengimani ungkapan bahwa novel yang baik setidaknya memiliki dua unsur secara struktur. Unsur yang pertama adalah penokohan. Yang mengudar tokoh-tokohnya secara rinci, khas, dan memikat. Deskripsi tokoh-tokoh dalam novel memang mesti dimunculkan hati-hati. Penjelasan terlalu gamblang hanya akan menjebak pada deskripsi (pencerita) yang serba tahu, berlebihan dan irasional, yang ujung-ujungnya cacat karakter. Karakter tokoh justru akan kuat bila diterangkan serba cukup dengan bahasa yang tepat dan memikat.

Unsur yang kedua adalah plot atau alur. Plot bukanlah jalan cerita yang disusun secara kronologis (urutan waktu). Plot lebih kepada sebutan untuk menguatkan arus cerita. Benang merahnya. Yang jalin menjalin, saling melengkapi sebagai sebuah ide yang utuh. Novel yang baik tentu menampilkan plot yang menarik, memaksa pembaca –tanpa sadar- untuk terus mengikutinya lepas dari muncul-tidaknya kejutan di akhir novel. Anggapan bahwa plot adalah ruh cerita sebuah novel bisa jadi benar adanya. Tapi menganggap plot satu-satunya alasan agar sebuah novel dikategorikan bagus bisa dikatakan keliru.

Novel Perempuan Bergema karya Susana Febryanty saya kira termasuk novel yang lebih menitikberatkan pada unsur yang pertama.

Ada tiga orang perempuan. Bidari, Gema, dan Tiara. Mereka bekerja di sebuah perusahaan media (majalah) di Jakarta. Gema dan Tiara sahabat dekat. Bidari mengenal Tiara sebagai rekanan kerja. Kelumit cerita bermula dari ketiga orang itu, terutama Gema dan Bidari. Gema seorang perempuan yang berambisi menjejak dengan meniti karir. Menjadi perempuan karir. Namun ia tiba-tiba tersandung oleh keinginan orangtuanya. Ia dijodohkan. Dilema.

Sementara Bidari seorang perempuan tertutup. Mencintai pekerjaan dan rekan kerja dalam hubungan yang terselubung. Bidari mencintai laki-laki yang menjadi atasannya di kantor. Seorang laki-laki yang juga menjalin hubungan dengan anak pemilik majalah. Hubungan berubah pelik. Rumit.

Persoalan-persoalan Bidari dan Gema adalah ruh cerita dalam novel ini. Persoalan domestik tokoh perempuan pekerja di Jakarta yang hiruk pikuk. Jakarta yang penuh intrik. Kedua perempuan ini hanya buih dari keriuhan kosmopolitan Jakarta. Bagaimana kaum urban berdesakan dalam himpitan pekerjaan yang menuntut gerak cepat dan dinamis.

Gambaran problematika tokoh-tokoh dalam novel ini mengalir dengan lancar. Tak ada kelokan berarti. Gema yang dijodohkan berusaha menyelesaikan persoalannya sendiri. Ia diceritakan berulangkali bersitegang dengan Ibunya di desa. Di Subang, Jawa Barat. Beruntung, Gema mendapat dukungan moril dari ayahnya.

Sementara Bidari terus disudutkan untuk memilih. Pilihan yang tentu saja tidak menguntungkan dirinya. Mengakhiri hubungan yang berujung patah hati. Atau terus menjalani hubungan namun sewaktu-waktu bersiap mengalami kepahitan karena ditinggalkan sang atasan. Ketika hubungan mereka diketahui pemilik majalah, si laki-laki (mungkin) akan memilih anak pemilik majalah itu. Bagaimanapun kedudukan terlalu silau untuk diabaikan begitu saja.

Hal lain yang menarik dari novel ini adalah dialog-dialognya. Dialog dirancang tanpa pretensi berlebih. Dialog yang dibangun antara Gema, Ibu, dan Ayahnya adalah dialog lumrah yang sangat mungkin terjadi dalam hidup keseharian. Sebelum Gema menerima perjodohan yang direncanakan orangtuanya, Gema bersikeras menolaknya. Tidak ada ucapan berlebih ketika Gema menolak perjodohan kepada Ibunya. Tidak ada nasehat menceramahi Ayah kepada anak di saat Gema mengadu kepada bapaknya. Dialog berlangsung normal-normal saja. Dan hal semacam ini membantu menghidupkan novel perdana Susana Febryanty.

Teknik meramu cerita dalam novel ini memang sederhana, bahkan mungkin kelewat sederhana. Setiap kisah dijalin dengan pendekatan yang lumrah nyaris tanpa kejutan. Cara seperti ini tentu tidak keliru. Cara yang lazim sebenarnya. Plot benar-benar disesuaikan dengan karakteristik tokoh-tokohnya. Ini terlihat dari gambaran deskrptif bagaimana setiap tokoh-tokohnya ketika mengambil tindakan. Misalnya, ketika Gema berdialog dengan sang Ibu menyangkut perjodohan yang direncanakan oleh orangtuanya.

“Harusnya Gema yang minta maaf sama Ambu. Maafkan Gema, Ambu. Gema terlalu egois dan memikirkan diri sendiri. Tapi Ambu gak usah khawatir, Gema sudah putuskan akan menuruti permintaan Ambu. Gema akan menerima perjodohan itu, Ambu.”

Alasan Gema menerima perjodohan murni karena bakti terhadap Ibunya. Jakarta sebagai kota modern urung menjadikannya pembangkang dan pemberontak. Ternyata Gema tidak terbawa arus masal kehidupan Jakarta yang sesungguhnya. Ia lebih memilih yang selama ini diidentikan sebagai karakter orang-orang desa. Gema pada akhirnya sumarah pada nasib, pada permintaan ibunya.

Perjodohan mungkin bukan lagi sesuatu yang sering ditemui pada zaman sekarang. Perjodohan hanya bagian dari masa lalu. Perjodohan Gema dengan seorang laki-laki mapan dan terpandang adalah potret lain dari kehidupan manusia Jakarta. Kehidupan kaum kosmopolit yang dikenal bebas tanpa batas yang jelas itu. Perjodohan Gema menampilkan ironi tersendiri. Atau memang sebagai petunjuk bahwa Jakarta sebagai kota besar menyimpan aneka peristiwa. Peristiwa-peristiwa pelik yang sulit dibayangkan.

Kisah asmara Bidari adalah contoh paling mengemuka dari kehidupan Jakarta hari ini. Bagaimana seorang perempuan pekerja dituntut untuk bekerja keras dengan waktu terbatas. Tuntutan yang membuat Bidari sulit untuk terbuka secara sosial dengan rekan-rekan kerjanya. Ada benteng imajiner yang membatasi keluwesan Bidari dalam bersosial. Sebuah rutinitas yang mengekang, membuatnya terseret pada pengulangan-pengulangan. Bidari kesulitan menemukan ruang sosial tempat ia dan manusia di sekitarnya bisa berinteraksi tanpa terikat pekerjaan. Interaksi wajar antar manusia sebagai mahluk sosial yang membutuhkan perhatian.

Tatanan hidup kosmopolitan memang akan memaksa setiap penghuninya untuk bergerak dinamis dan tahan terhadap tempaan. Rutinitas memaksa siapa saja untuk mengikuti ritme yang secara tidak sadar berpola dan berulang. Jika gagal, ia akan hilang ditelan zaman. Persaingan menekan siapa saja untuk lebih menjadikan waktu sebagai bagian dari pekerjaan. Sebagai uang. Kota kosmopolitan pada akhirnya melahirkan manusia dengan kecenderungan asosial penuh hasrat individual.

Novel Perempuan Bergema adalah identitas perempuan kosmopolitan dalam arti yang lain. Perempuan yang terseret di antara desa dan kota. Terjebak pada ruang antara. Wajah dari kehidupan masyarakat yang seringkali diidentikan dengan kerja keras, rutinitas, yang kemudian berakhir di kafe dan klub malam. Tentu hanya sedikit gambaran yang diperoleh dari kehidupan semacam itu pada novel ini. Tapi bukankah yang sedikit itu lebih baik daripada tidak sama sekali.[]

Judul                 : Perempuan Bergema
Penulis             : Susana Febryanty
Penerbit           : tandabaca Press
ISBN                  : 978-602-1233-20-7
Cetakan            : ke-1 September 2015

 

KOMENTAR

Redaktur buruan.co. Buku puisi terbarunya berjudul Menghadaplah Kepadaku (2020)

You don't have permission to register