Mulutmu, Mememu
Dalam satu pekan terakhir, nama Hakim Parlas Nababan tiba-tiba begitu populer. Dia merupakan seorang hakim sekaligus Wakil Kepala Pengadilan Negeri Palembang, Sumatera Selatan.
Hakim Parlas mendapatkan popularitasnya dari vonis bebas bagi PT Bumi Mekar Hijau (BMH) atas tuduhan merugikan negara Rp 7,9 triliun yang diajukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Yang menjadikan Hakim Parlas sangat populer, bukan hanya vonis bebas yang diberikan kepada PT BMH, melainkan juga karena argumennya. Dalam persidangan tersebut dia berargumen, “Bakar hutan tidak merusak lingkungan hidup karena bisa ditanami lagi.”
Argumen Hakim Parlas itu lantas menjadi meme yang menyebar secara viral di media sosial. Dalam meme tersebut, argumennya dirangkai dengan latar belakang hutan terbakar, sosoknya pun ditampilkan lengkap mengenakan jubah kebesaran sang pengadil.
Pengguna media sosial yang geram atas argumennya lantas menyumpahi, memaki, dan mengutuki di timeline-nya masing-masing. Tak sedikit pula yang menyindir sekaligus memparodikan argumentasinya seperti, “Membakar hakim tidak merusak sistem peradilan. Karena masih bisa pilih hakim lagi.”
Saya sendiri spontan tertawa ngakak ketika pertama kali melihat meme Hakim Parlas muncul di beranda Facebook. Kok bisa, seorang hakim yang jelas-jelas mengenyam pendidikan tinggi, mengungkapkan argumentasi seperti itu.
Pendidikan Hakim Parlas tidak main-main lho. Dia merupakan alumni S1 Universitas Sumatera Utara (1985) dan S2 Sekolah Tinggi Hukum IBLAM Jakarta (2004). Dengan kata lain, jika melihat jenjang pendidikannya, semestinya dia bisa memilih argumentasi yang lebih adil dan bermoral dalam sebuah persidangan.
Semua orang juga tahu, hutan yang dibakar bisa ditanami lagi. Dan, kebanyakan ditanami pohon sawit. Lantas, bagaimana dengan nasib masyarakat di sekitar hutan yang dibakar? Bagaimana nasib masyarakat yang terserang kabut asap? Bagaimana? Bagaimana? Bagaimana?
Namun, ya begitulah nasibmu, “Yang Mulia” Hakim Parlas. Mulutmu, mememu.
Wajah Anda kini sudah kadung menjadi sasaran lelucon masyarakat. Dan, Anda sudah tak dapat menarik lagi kata-kata Anda.
Bagi saya, argumen Anda yang kemudian melahirkan begitu banyak meme, telah menjadi hiburan menyegarkan. Apalagi argumen tersebut terucap di negeri yang mulai kehilangan selera humor ini.
Argumen Anda pun sekaligus meyakinkan diri saya, bahwa masyarakat kita masih peka terhadap bahasa. Intuisi masyarakat terhadap bahasa masih jalan.
Masyarakat kita masih sanggup merasakan, mencerna, dan menilai; mana bahasa yang relevan, dan mana bahasa yang … ah sudahlah.[]

