Fb. In. Tw.

Mengenang Ali Sastroamidjojo, Sang Ketua Pelaksana KAA

Kesuksesan Indonesia menggelar Konperensi Asia-Afrika (KAA) tahun 1955 tak bisa dilepaskan dari peran besar Mr. Ali Sastroamidjojo. Setahun sebelum dilaksanakannya KAA, Mr. Ali yang saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri, diutus Presiden Soekarno sebagai delegasi Indonesia pada Konferensi Kolombo di Sri Lanka.

Pada konferensi yang diikuti lima negara tersebut, Mr. Ali mengusulkan diadakannya konferensi serupa dengan cakupan yang lebih luas: seluruh negara di kawasan Asia-Afrika. Usulan Mr. Ali ditanggapi secara ragu-ragu dan pesimistis. Para peserta Konferensi Kolombo—Sir John Kotelawala (Sri Lanka), U Nu (Burma), Sri Pandit Jawaharlal Nehru (India), dan Muhammad Ali Jinnah (Pakistan)—mengaggap gagasan Mr. Ali terlalu besar untuk ukuran kondisi dunia saat itu.

Memang, tahun 1954 puluhan negara di Asia dan Afrika masih memperjuangkan kemerdekaannya. Sejumlah negara yang sudah merdeka pun masih sibuk membenahi diri. Sedang di saat bersamaan, perang dingin mulai berlangsung. Hal-hal itu menjadi hipotesis bahwa menyelenggarakan sebuah konferensi tingkat Asia-Afrika adalah suatu usaha yang amat sulit.

Namun, seorang pahlawan memang kerap mampu mengatasi kesulitan. Biarpun usulnya diremehkan, Mr. Ali meminta agar menyelenggarakan Konperensi Asia-Afrika dimasukkan sebagai salah satu butir kesepakatan Konferensi Kolombo. Hal itu dimaksudkan Mr. Ali sebagai legalitas untuk mewujudkan gagasannya yang besar.

Setahun berselang, KAA diselenggerakan di Bandung. Atas mandat Presiden Soekarno, Mr. Ali Sastroamidjojo dipercaya tampil sebagai ketua pelaksana. Sejarah mencatat, kinerja Mr. Ali membuahkan hasil yang memuaskan. KAA sukses digelar dan menjadi momentum penting bagi negara-negara di kawasan Asia-Afrika. Indonesia, tentu boleh bangga karenanya.

Namun, biarpun Mr. Ali tercatat sebagai penggagas dan ketua pelaksana KAA, penghormatan yang diberikan negara kepadanya seakan tak sepadan. Meski dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata, tokoh yang wafat di Jakarta 13 Maret 1975 itu belum tercatat sebagai Pahlawan Nasional.

Bertolak dari ingatan akan jasa-jasa Mr. Ali Sastroamidjojo, Museum Konperensi Asia-Afrika (MKAA) dan Komunitas Api Bandung menggelar kegiatan “Sebait Ingatan untuk Ali Sastroamidjodjo” pada Kamis malam (21/5/2015) di jalur pedestarian Cikapundung Timur.

Acara yang dimaksudkan sebagai refleksi tersebut diisi dengan pembacaan puisi, musik, pantomim, penanyangan film dokumenter tokoh Ali Sastroamidjojo, pembacaan nukilan Tonggak-tonggak Perjalananku—autobiografi Mr. Ali—serta doa bersama.

Pada acara yang dihadiri sekitar 100 peserta tersebut, pihak panitia pun menyalakan 112 batang lilin yang dimaksudkan sebagai simbol 112 tahun sudah Muhammad Ali Sastroamidjojo lahir ke dunia. Pihak panitia juga mengumpulkan tanda tangan pada sebentang kain sebagai bentuk dukungan dianugerahinya Mr. Ali gelar Pahlawan Nasional.

“Saat meninggal pada tahun 1975, pihak keluarga sudah merasa bahwa jasa-jasa Pak Ali sudah cukup dihargai dengan dimakamkannya almarhum di Taman Pahlawan Kalibata. Tapi, baru pada peringatan KAA ke-55 kami diberitahu bahwa Bapak belum diangkat sebagai Pahlawan Nasional,” ujar Tarida Ali Sastroamidjojo, cucu Mr. Ali dari anaknya yang pertama, Kemal Mahisa.

Selanjutnya, Tarida pun mengungkapkan bahwa pihak keluarga bersedia memberikan berbagai dokumen yang diperlukan untuk memuluskan usulan ditetapkannya Mr. Ali sebagai Pahlawan Nasional. “Kami siap memberikan data-data untuk keperluan usulan ini,” tambahnya.

Sementara Deni Rachman, pegiat Api Bandung, mengatakan bahwa kemeriahan perayaan 60 tahun KAA malah terkesan ironi jika disandingkan dengan penghargaan yang diberikan negara kepada Mr. Ali. “Selebrasi 60 tahun KAA cukup ironi bila mengingat Mr. Ali belum mendapat gelar pahlawan nasional hingga sekarang,” ujar laki-laki pemiliki Toko Lawang Buku ini.

Lepas dari peran pentingnya dalam menggelar KAA, Mr. Ali memang layak mendapat gelar pahlawan nasional. Semasa hidupnya, peraih gelar Master in de Rechten dari Universitas Leiden ini  tercatat sebagai Perdana Menteri pada Kabinet Ali Sastroamidjodjo I & II, Wakil Menteri Penerangan pada Kabinet Presedensial I, Menteri Pengajaran pada Kabinet Amir Sjarifuddin I & II dan Kabinet Hatta I, Wakil Ketua MPRS pada Kabinet Kerja III & IV serta Dwikora I & II.

Di ranah hubungan internasional, tokoh yang produktif menulis ini pun pernah menjabat sebagai Duta Besar pertama Indonesia untuk Amerika, Meksiko, dan Kanada dalam waktu hampir bersamaan (1950-1953), Kepala Perwakilan Tetap Republik Indonesia di PBB (1957-1960), delegasi Indonesia pada Perundingan Roem-van Royen (1949) dan Konferensi Meja Bundar (1949).

Meski sebulan sudah perayaan KAA berlalu, ingatan dan penghargaan kita pada para tokoh penggagas KAA—juga pada visi dan hasil KAA itu sendiri—semoga tidak turut berlalu. “Refleksi 112 Tahun Ali Sastroamidjojo” yang digagas MKAA dan Api Bandung adalah salah satu cara untuk mewujudkan hal itu.[]

Reporter buruan.co. Menulis puisi dan esai. Kumpulan puisi pertamanya "Kartu Pos dari Banda Neira" (Penerbit Gambang, 2017).

KOMENTAR
You don't have permission to register