Fb. In. Tw.

Malioboro, Realitas, dan Spirit 7 Cemara

sisa sampah debu revolusi
sapu dan lego dalam seni
di ibu kota kata sendi kata
si tua muda yogyakarta
(yogya sudah lama kembali)
kembalilah ke yogyakarta
cemara tujuh denyar puisi
(7 Cemara, Umbu Landu Paranggi)

Lelah penat selama dalam perjalanan hilang ketika pemberitahuan dari kondektur, bahwa kereta sudah sampai di stasiun Tugu. Saya bergegas, merapikan tas serta bersiap keluar dari gerbong kereta.

Angin, sisa hujan senja itu menggenapkan kedatanganku di Yogyakarta. Kerinduan akan nasi kucing, es teh, pengamen, hingga hilir mudik orang-orang di sekitar Malioboro terobati sudah. Namun ada yang tersisa serta mengganjal dalam hati, yaitu jejak puisi “7 Cemara” karya Umbu Landu Paranggi.

Umbu selalu ada dalam pikiran saya ketika datang ke Yogyakarta, khususnya ke Malioboro. Saya memperhatikan beberapa orang yang sedang makan serta belanja di pasar Bringharjo. Di sana saya berpikir, mungkin kelahiran puisi-puisi Umbu dari realitas yang seperti yang berkelanjutan (realitas berkelanjutan yang saya maksudkan adalah realitas yang selalu ada setiap hari. Meski orang yang datang berbeda). Malioboro salah satu jalan di Yogyakarta yang tidak pernah istirahat.

Para pedagang batik menggoda setiap pengunjung dengan senyum yang mistis, sebab saya selalu mengambung wangi dupa (mungkin kemenyan) disetiap toko-toko di sepanjang jalan ini. Entahlah yang jelas saya suka dengan wangi-wangi khas Malioboro. Ditambah perempuan dengan wajah sedikit agraris, wajah yang hanya bisa ditemukan di gang-gang Malioboro. Ibu-ibu penjual pecel dan bakpia, tukang becak, kuda delman, semua tumplek dan berbagi peran masing-masing. Seperti yang Umbu katakan pada puisinya.

tujuh gunung seribu yogya
seribu tarian gang malioboro
tujuh pikul daun pisang ibu bringharjo

Ah, Yogya selalu mengantarkanku pada pintu yang tak pernah ada ujung. Apabila saya boleh berpendapat, Yogya adalah pintu magis yang akan mengantarkan orang yang masuk melewati pintu tersebut, ke berbagai tempat yang tidak pernah terduga sebelumnya. Bangunan klasik, neo klasik, hingga modern berkumpul rukun. Hal ini membuktikan bahwa Yogya sebagai kota yang ramah.

Saya berjalan menuju Benteng Vrendeburg. Angin masih tetap sama, walau sekarang sisa hujan sudah tidak berbekas lagi oleh kuatnya panas Yogyakarta. Namun hal ini tidak membuatku lantas menyerah menelusuri Malioboro. Bahkan semakin bersemangat ketika satu demi satu daun Kemboja berjatuhan di halaman benteng Vrendeburg.

Ah Yogya, harus berapa kali saya memuja keindahan realitas yang mengalir serta rukun. Kombinasi yang indah antara arsitektur kota dengan alam, antara si kaya dan si miskin, antara puisi dan realitas.

Ah Yogya, sepertinya aku harus kembali pada realitasku. Di sini terlalu indah, terlalu terjebak dengan kemanjaan puisi-puisi para penyair yang pernah hidup serta berproses di sepanjang jalan Malioboro. Saya takut terjebak dalam masa kejayaan Persada Studi Klub (Umbu Landu Paranggi, Iman Budi Santosa, Emha Ainun Najib, Korrie layun Rampan, dll.)

Yang jelas, ketika di Malioboro Yogyakarta saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya hanya bisa menikmati realitas serta suasana nyaman dan rukun.

Sambil memakan nasi kucing, saya kembali melihat puisi Umbu di antara roda kereta kuda. Kemudian saya terdiam sejenak lalu menyeruput es teh sambil mendengarkan orang-orang yang berbicara dengan bahasa Jawa yang kental. “Mas e dari mana?” ibu pedagang angkringan bertanya. Saya hanya bisa tersenyum serta menjawab “Bandung”.

 

Tentang Penulis
Fasya Nur Fauzan. Lahir di Bandung, 27 Maret 1996. Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia UPI. Bergiat di grup musikalisasi puisi Maja Foundation dan Rumah Baca Taman Sekar Bandung.

Post tags:

Media untuk Berbagi Kajian dan Apresiasi.

KOMENTAR
You don't have permission to register