
Kendali Ruang Peristiwa Atas Waktu, Bunyi, dan Kausalitas
Wawancara Imajiner dengan Sapardi Djoko Damono
Dalam sebuah kesempatan misterius saya berbincang alot dengan maestro puisi Indonesia, Sapardi Djoko Damono. Berikut percakapan kami yang layak Anda ketahui.
Selamat siang, Pak!
Selamat siang. Senang bertemu Anda. Anda mahasiswa?
Oh, bukan. Saya manusia biasa. Juga bukan Tuan dan Tuhan.
(Terkekeh) Anda bisa saja. Ada keperluan apa berbincang dengan saya?
Saya ingin mendiskusikan beberapa puisi Bapak yang bertitimangsa 1982. Ketika Bapak masih berusia 42 tahun.
Puisi dalam kumpulan sajak Perahu Kertas1?
Tepat, tapi hanya beberapa saja. Tidak semua.
Baiklah. Lalu apa masalahnya. Anda sedang menggarap penelitian?
Oh, bukan, bukan. Berbincang puisi tidak melulu soal kajian, Prof. Ini soal kegelisahan saya setelah membaca puisi Anda.
Membaca puisi bisa membuat Anda resah, ya?
(Kali ini saya yang terkekeh)
Lantas menurut Anda puisi saya dalam Perahu Kertas bagaimana?
(Kok, jadi dia yang bertanya?) Saya pikir menarik, Pak.
Menarik pie? Menarik becak atau menarik bagi pembaca?
Menarik untuk dinikmati dan dibincangkan. Beberapa puisi dalam kumpulan sajak itu sekilas tampak sederhana. Namun jika diperiksa lebih saksama, saya mendapati hal-hal yang begitu berbeda dari pembacaan pertama.
Dari sudut mana Anda mengambil kesimpulan seperti itu?
Tentu dari sudut pandang pembaca awam seperti saya. Tidak lebih.
Saya yakin Anda merendah untuk membantai habis puisi saya, ‘kan?
Lebih tepatnya mengudar versi saya sendiri. Bukan membantai. Saya bukan tukang jagal. Saya penikmat burung dan sepakbola.
Saya kira Anda penikmat puisi?
Tentu saja. Tapi hanya menikmati puisi bagus. Tidak yang lain.
Seperti apa puisi bagus? Apa ukurannya? Kok Anda berani berhipotesis semacam itu.
Puisi bagus ya puisi yang kita sukai. Batas subjektif tentu aman dan ilmiah. Selera merupakan ukuran paling terukur untuk menentukan entitas nilai puisi. Objektivitas itu nihil.
Selera puisi Anda seperti apa?
Selera saya persis seperti selera Bapak menuliskan puisi hingga jadi dan dibaca.
Maksud Anda?
Saya yakin puisi bagus ditulis dengan renung dan upaya yang maksimum. Buah dari totalitas dalam berkarya.
Anda temukan dalam puisi saya?
Jejaknya terlampau jelas. Puisi yang Bapak tulis adalah perasan dari amatan, imajinasi, dan eksekusi dalam kuasa bahasa.
Penuh perhitungan dan ketelitian maksud Anda?
Perhitungan itu bukan identitas sesungguhnya dari puisi. Dan ketelitian hanya akan mengoyak imajinasi. Saya tidak sepakat dengan kedua hal itu. Ketidaktelitian dalam menulis puisi kadang menimbulkan riak makna yang asyik untuk dinikmati.
Bisa Anda contohkan pada sajak yang mana?
Pada sajak “Sihir Hujan” Bapak menuliskan.
Hujan mengenal baik pohon, jalan,
dan selokan — swaranya bisa dibeda-bedakan;
kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu
dan jendela. Meskipun sudah kau matikan lampu.
Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh
di pohon, jalan, dan selokan –
menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh
waktu menangkap wahyu yang harus kaurahasiakan
Kalimat /Meskipun sudah kau matikan lampu./ adalah larik jeda, saya menyebutnya kalimat kontroversial. Kalimat ini bisa jadi contoh ketidaktelitian atau kesengajaan untuk tidak teliti. Sebuah kalimat yang memungkinkan untuk mengganggu hubungan kausalitas kalimat sebelumnya /Kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu dan jendela./ /Meskipun sudah kau matikan lampu./ Bukankah suara akan tetap terdengar dalam terang maupun gelap. Tanpa lampu ataupun tidak.
Namun kalimat ini mampu menjadi jembatan ciamik bagi kalimat setelahnya. /Meskipun sudah kau matikan lampu./ /Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh di pohon, jalan, dan selokan…/ Tanpa lampu atau tidak. Terang maupun gelap, hujan akan tetap jatuh di mana saja; pohon, jalan, atau selokan.
Sajak “Sihir Hujan” contoh bagus dari efek puitis yang timbul akibat amatan tajam, imajinasi, dan eksekusi bahasa yang sempurna. Berbaitnya sajak ini menjadi dua bagian, entah sebagai strategi tipografi atau memang pilihan selera bentuk, menambah sumir hubungan antar kalimat. Mengundang pertanyaan sekaligus menyuguhkan jawabannya.
Anda yakin dengan hal itu?
Saya tidak pernah yakin terhadap apapun kecuali Tuhan dan kematian.
Ha ha ha. Sebagai anak muda Anda terlalu filosofis.
Menurut saya bapaklah yang terlalu filosofis. Puisi Bapak menunjukan hal itu.
Bagaimana bisa? Puisi yang mana?
Sajak yang ini.
TUAN
Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar,
saya sedang ke luar.
Ketika banyak pembaca menyangka sajak ini begitu filosofis, mendalam, sebagai buah dari perenungan yang luar biasa, saya justru memiliki simpulan sebaliknya. Sajak Tuan berpretensi serius yang hanya terkesan main-main. Sajak yang hanya mengandalkan pamer(an) kelihaian bunyi saja. /Tuan Tu(h)an, bukan? Tunggu sebentar,/ hanya repetisi dari kata tuan serta mengulang konsonan dan vokal di awal (tu) dan akhir kata (an). Seperti juga larik /saya sedang ke luar/ bermain dengan konsonan dan vokal (se) dan (ar).
Hubungan dua larik pada sajak ini tidak terjalin dengan baik, ambyar, yang hanya ditolong dan ditopang oleh permainan bunyi saja. Musikalitas yang menyelamatkan kerancuan hubungan kausalitas antar larik pada sajak ini.
Jadi Anda berbeda dengan khalayak pembaca yang begitu menyukai sajak ini?
Ungkapan retoris bukan? pada sajak ini yang paling patut dikambinghitamkan, mengapa kemudian sajak ini saya sebut ambyar. Aku lirik saya masih dipertanyakan dalam arti seluas-luasnya. Membuat hubungan dua larik sajak ini terlalu abu-abu dan sulit dinikmati. Dan lagi, saya melihat ada puisi yang lebih pantas mewakili ketelatenan Bapak dalam menyajikan premis dan kausalitas.
Bisa Anda sebutkan?
Sajak berjudul “Peristiwa Pagi Tadi” merupakan salah satu sajak yang mempertontonkan hubungan kausalitas secara halus dan imajinatif. Enak untuk dinikmati.
Pagi tadi seorang sopir oplet bercerita kepada pesuruh kantor tentang lelaki yang terlanggar motor waktu menyeberang.
Siang tadi pesuruh kantor bercerita kepada tukang warung tentang sahabatmu yang terlanggar motor waktu menyeberang, membentur aspal, Ialu beramai-ramai diangkat ke tepi jalan.
Sore tadi tukang warung bercerita kepadamu tentang aku yang terlanggar motor waktu menyeberang, membentur aspal, lalu diangkat beramai-ramai ke tepi jalan dan menunggu setengah jam sebelum dijemput ambulans dan meninggal sesampai di rumah sakit.
Malam ini kau ingin sekali bercerita padaku tentang peristiwa itu.
Sajak ini menarasikan peristiwa secara kronologis (lihat cetak tebal di awal kalimat). Bercerita tentang seseorang yang terlanggar motor waktu menyeberang. Seseorang itu disematkan informasi sesuai urutan waktu. Pagi diberi keterangan sebagai lelaki. Siang diinformasikan sebagai sahabatmu. Dan sore diketahui bahwa seseorang itu adalah aku (lirik) dengan keterangan tambahan telah meninggal. Sementara malam justru mendeskripsikan tentang kau yang ingin bercerita kepada aku.
Hubungan antar kalimat (bukan baris atau larik) diikat oleh sebuah peristiwa (terlanggar motor waktu menyeberang). Sore adalah puncak peristiwa karena keterangan kausalitas disematkan secara lengkap. Sementara malam adalah puncak peristiwa yang lain. Peristiwa yang membuncahkan imajinasi pembaca.
Saya kira Anda memperlakukan puisi saya terlalu mekanis. Direcah, dipotong-potong, dimutilasi secara sadis.
Tapi kadang-kadang cara sadis seperti ini cocok digunakan pada puisi yang kadung dianggap filosofis. Cara yang juga dipakai A. Teeuw2 dalam memahami puisi. Berkebalikan dengan Afrizal Malna saat mendedah puisi Wiji Thukul yang sering ditafsir secara terbuka atau minim teknik penulisan3.
Jadi Anda menganggap puisi saya mengandalkan teknik penulisan4, sok dalam dan filosofis, begitu?
Yang menganggap semua puisi Bapak dalam dan filosofis itu bukan saya, melainkan para kritikus sastra itu, para akademisi itu. Sebagian dari mereka menggeneralisasi puisi Bapak dengan dalih kepentingan studi kritik.
Kalau tidak semua, berarti ada dong puisi saya yang benar-benar filosofis?
Tentu saja ada, cukup banyak malah. Saya lebih senang menyebutnya sebagai puisi yang ditulis dalam kendali ruang peristiwa atas bunyi dan waktu.
Apalagi itu? Coba dijelaskan?
Saya menganggap puisi Bapak beredar pada kendali ruang yang terjaga, simetris dalam hal bentuk bahasa (permainan bunyi) dan waktu, serta memiliki cakupan makna yang luas dan kaya.
Ruang yang terjaga? Maksud Anda?
Ruang yang saya maksud adalah peristiwa yang terikat tempat dan waktu dan proses kejadian secara nyata. Realitas yang saling melengkapi dengan khayalan dan imajinasi. Pada puisi Bapak, ruang kejadian tetap terjaga mendekati situasi aslinya namun sangat kaya untuk dimaknai secara lain.
Saya Profesor dan jawaban Anda terlalu berbelit.
Begini. Sajak berjudul “Hatiku Selembar Daun” adalah duplikat paling paripurna atas apa yang saya sebut kendali ruang yang terjaga dalam bunyi dan gerak.
hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput;
nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini;
ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput;
sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.
Citraan sajak ini indah dan bermakna dalam visual gerak, ruang sebagai tempat kejadian, serta ruang sebagai waktu (lihat penanda kata yang dicetak tebal). Apa yang ditampilkan dalam sajak ini adalah bentuk peristiwa yang mungkin terjadi pada ruang yang sebenarnya (realitas). Sekaligus dapat dimaknai sebagai pengandaian yang dalam, dekat dan telak menyentuh perasaan pembacanya.
Dengan lingkup imajinasi, sajak ini memperlihatkan citraan visual yang justru memperkuat dan memperluas medan maknanya. Tanpa terpaku pada suasana kejadian yang sebenarnya. Kira-kira seperti itu.
Maksud Anda inspirasi saya menulis puisi hanya berawal dari melihat daun jatuh di sebuah taman? Begitu?
Tidak penting mencari sumber inspirasi penulis pada sebuah puisi. Saya hanya curiga Bapak menulis puisi bersumber dari hal-hal sederhana yang mungkin diabaikan oleh penyair kebanyakan. Memaksimalkan metrum sebagai pola agar sebuah deskripsi kejadian dimungkinkan untuk dimaknai secara lebih luas.
Bukankah hal semacam itu lumrah bagi kebanyakan penyair?
Bisa jadi. Tapi bukan sesuatu yang mudah. Memindahkan ruang peristiwa dalam bentuk puisi, sesuai dengan apa yang dikatakan A. Teeuw sebagai defamiliarisasi makna secara utuh pada ruang yang tetap terjaga, adalah pekerjaan sulit.
Anda sedang memuji saya?
Saya hanya ingin menyingkap mengapa orang-orang menyukai puisi. Beberapa sajak bapak yang berjudul; “Kisah”, “Di Sebuah Halte Bis”, “Perahu Kertas”, “Tajam Hujanmu”, “Sudah Kutebak”, “Di Atas Batu” hanya sedikit dari sekian banyak puisi yang terdapat pada kumpulan saja Perahu Kertas, yang layak dijadikan representasi atas apa yang saya sebut di atas. Pembacaan sebab-akibat yang mungkin dan tidak mengada-ada, yang tidak hanya silap oleh nama besar dan jumlah buku.
Lantas, puisi mana yang paling Anda sukai pada kumpulan sajak Perahu Kertas?
Sajak “Cermin, 1”. Sajak pendek. Hanya sayang kenapa mesti ada sajak “Cermin, 2”, sajak yang tidak sekuat sajak yang pertama. Oleh karena itu, saya lebih senang menyebutnya cukup sajak Cermin.
cermin tak pernah berteriak;
ia pun tak pernah meraung, tersedan, atau terhisak,
meski apa pun jadi terbalik di dalamnya;
barangkali ia hanya bisa bertanya:
mengapa kau seperti kehabisan suara?
Mengapa menyukai sajak itu?
Cermin merupakan manifestasi dari puisi itu sendiri. Di depan sebuah cermin, apapun dan siapun akan diperlakukan jujur dan setara. Menariknya, sesuatu yang sama itu menjadi terbalik, menjadi sesuatu yang lain. Pantulannya tampak terlihat persis tapi tetap berbeda. Cermin tidak akan pernah memiliki kuasa untuk protes. Meski yang berada di depannya sesuatu yang baik atau buruk dan tak patut. Bagi saya, sajak Cermin menjadi semacam kredo bagi puisi yang terdapat pada kumpulan sajak Perahu Kertas.
Secara tidak langsung Anda ingin mengatakan bahwa saya mengimani sifat sebuah cermin?
Saya hanya ingin mengatakan, bahwa puisi Bapak pada kumpulan sajak Perahu Kertas mengoptimalkan perpindahan ruang peristiwa; ulang alik dari masa lalu ke masa depan, dari yang abadi ke yang fana. Dengan kendali atas bunyi dan kausalitas. Membuat puisi yang berangkat dari tema remeh temeh sekalipun tetap terlihat sublim.
Saya tidak tahu apakah harus membantah atau mengamini pernyataan Anda.
Saya juga tidak tahu mengapa Bapak menulis puisi seperti itu. Seperti juga setiap penyair tidak akan pernah tahu apa tanggapan pembaca ketika puisi selesai dibaca.[]
Keterangan
1. Lihat buku Perahu Kertas yang ditulis Sapardi Djoko Damono dan diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka, 1991.
2. Lihat buku Tergantung Pada Kata yang ditulis oleh A. Teeuw dan diterbitkan oleh Pustaka Jaya,1983.
3. Lihat “Wiji Thukul, Mata Sejarah dalam Budaya Bisu”, Indoprogres, 16 Desember 2014 yang ditulis oleh Afrizal Malna.
4. Lihat “Perahu Kertas Sapardi Djoko Damono: Asal Mitos Balik Mitos” oleh Linus Suryadi Ag dalam buku Dibalik Sejumlah Nama : Sebuah Tinjauan Puisi-Puisi Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press, 1989, melalui http://goesprih.blogspot.co.id/.
Sorry, the comment form is closed at this time.
rudy
sublim