Fb. In. Tw.

Kecerdasan Buatan Sastra Kita

Dalam sebuah video Youtube yang diunggah Langgeng Prima Anggradinata, yang membahas terkait sastra siber 4.0, saya jadi membayangkan konten yang memiliki kemungkinan untuk dilegitimasi sebagai sastra, di luar beberapa bentuk seperti Tempat Bercakap dan Cerita Jalan yang dijadikan sebagai contoh.

Apakah karya-karya tersebut menjadi genre tersendiri dari sastra? Atau dia adalah pengembangan dari genre yang hadir sebelumnya: puisi, prosa dan esai. Atau, dia sekadar puisi dan prosa yang kemudian diolah menjadi sebuah aplikasi, atau, konten visual, yang mana berarti alih wahana?

Pembabakan sastra siber di Indonesia, merujuk kepada video tersebut, dibagi empat.

Pertama, sastra siber 1.0: web sastra, web yang memuat karya-karya sastra. Kalau karya sastra biasa hadir di media konvensional dengan seleksi yang ketat, maka karya-karya di web bisa memiliki keleluasaan dalam segi produksi karyanya, dan sistem kritiknya bukan lagi dari membuat esai atau tanggapan dari karya tersebut, melainkan bisa langsung memberi komentar di halaman yang sama dari tulisan tersebut.

Kedua, sastra siber 2.0: media sosial yang berkembang baik di Twitter generasi awal, Fiksi Mini, yang terbatas oleh karakter Twitter yang sedikit. Lalu berkembang juga sastra Facebook.

Ketiga, sastra siber 3.0: aplikasi, seperti Wattpad, Storial, dan yang lain-lain. Atau kita katakan pengembangan platform yang berfokus kepada dunia tulis menulis.

Dan keempat, sastra siber 4.0: karena daya digital yang semakin kuat, bisa jadi sastra siber 4.0 bukan lagi soal ruang baru. Tapi merupakan pengembangan dari ruang-ruang sastra siber sebelumnya. Jangan lupa, plus dengan perkembangan AI.

Kecerdasan Buatan dalam puisi dan NLP (Natural Language Processing)
Mari kita tengok Poetweet yang menyusun serangkaian tweet menjadi puisi. Poetweet membuat puisi dengan input data tweet yang disusun dengan format puisi sonet, sonder dll. Hasilnya adalah seperti ini:

Lucu bukan?  Jatuhnya seperti komedi, melihat puisi yang tidak tercipta dari keutuhan tema, gagasan dan pengolahan bahasa yang meloncat sana-sini. Memang begitu adanya, karena Poetweet mengolah puisi dari input tweet-tweet di sebuah akun.

Lalu saya membayangkan, bagaimana jika ada sebuah mekanisme komputasi yang bisa membuat puisi namun memperhatikan aspek-aspek bahasa, keutuhan tema dll. NLP menjawab hal tersebut. Dalam beberapa software yang diuji dalam persentasi Ted Talk (“Can a Computer Write poetry?”), di sana menunjukkan bahwa sejak jauh-jauh hari pun (1980an) software pengembangan bahasa komputasional yang bisa membuat puisi sudah diolah.

Software-software itu semakin berkembang hingga pada tahun 2013, genap ada 4 model software pembuat puisi. Software-sofware pembuat puisi ini mengolah data bahasa dari akun-akun Facebook menjadi sebuah puisi. Puisi tersebut tidak seperti poetweet, tapi mengolah bahasa seperti yang dilakukan manusia dengan basis algoritma.

Diujikanlah sebuah tes: manakah diantara kedua puisi ini yang dibuat oleh manusia? Hasilnya adalah, banyak puisi yang dibuat oleh komputer bahkan dianggap lebih manusia oleh responden (yang juga manusia)

Natural Language Process, adalah bagian dari Linguistik Komputasi yang cakupannya terkait kebiasaan manusia dalam berbahasa secara alamiah. Mula-mulanya membaca pola morfologis, hingga hari ini ke pragmatik. NLP ini adalah mekanisme machine learning yang mempelajari pola berbahasa, kesalahan berbahasa, prediksi. Mekanisme data ini juga yang berkembang dan dioptimalisasi menjadi mesin pencari.

Konsep machine learning mengembangkan data yang dimiliki oleh sebuah platform. Mempelajari kesalahan dan dominansi data yang masuk. Sehingga data tersebut dalam diolah dengan algoritma menjadi prediksi, bahkan sampai ke format sebuah tulisan, seperti contoh yang ada di atas.

NLP dan Prosa
Apakah kita bisa memproduksi cerita kita sendiri?

Bicara soal NLP dan algoritma secara konsep berarti membicarakan urutan. Maka urutan-urutan juga erat kaitannya dengan alur, pengaluran. Alur, pengaluran, atau plot erat kaitannya dengan prosa. Saya jadi terpikir dengan model Alejandro Zambra dalam Multiple Choice tapi dikembangkan dengan model aplikasi.

Alejandro Zambra membuat sebuah novel yang lebih mirip seperti soal UN, terdapat beberapa bagian cerita, jadi seperti isi uraian cerita. Lalu kita menyusunnya. Ada bagian yang memang PG pilihan ABCD, tapi ada juga isian dan urutan cerita. Jadi katakanlah buku ini adalah semacam sastra yang “playable” dan masing-masing orang bisa menciptakan karyanya sendiri. Novel tersebut menunjukkan sebuah daya konten digital karena bersifat interaktif.

Namun kita mesti mengetahui, karya ini bukan karya siber, tapi menunjukkan sensibilitas siber. Karena pada dasarnya, karya siber adalah karya yang diprogram oleh komputasi, bukan hanya sekadar dokumentasi digital.

Salah satu ciri manusia pada zaman digital ini adalah template-isasi bentuk konten yang diproduksi. Maka pengembangan prosa, sebagai konten digital juga akan mengalami hal yang sama. Contohnya terlihat dari beberapa NovelToon, walau cerita yang dikembangkan adalah cerita anime. Namun daya interaksinya bisa dijadikan model jika sastra serius kita ke depan akan mengolah diri sedemikian rupa.

Mungkin kelak, cara orang berkenalan dengan dunia kepenulisan bukan lagi menyusun gagasan lalu bercerita di depan laptop. Namun mengumpulkan beberapa latar, lalu memilih template cerita seperti apa yang mau ia pilih. Lalu menginput beberapa plot yang khusus.

Kalau menilik lagi soal Big Data, yang mana data bergerak, berkembang dan belajar. Maka semakin banyak input yang masuk, semakin banyak org membuat cerita atau bahkan puisi dari model tadi, maka semakin cerdas juga plot yang dihasilkan, dan semakin detail. Contoh Alejandro Zambra tadi adalah bentuk prosa yang bisa dipasang dengan pemodelan NLP.

Di luar itu, tak bisa dipungkiri, sastra adalah storytelling. Storytelling shows a picture without a picture. It makes u imagine. Pola manusia menulis memang berkembang secara medianya. Tapi kecerdasan buatan mesti dihitung juga, minimal untuk mengenalkan bahwa bercerita dan membaca cerita itu adalah hal yang menyenangkan dibanding sekadar menonton.[]

Post tags:

Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia UPI, bergiat di ASAS UPI.

KOMENTAR
You don't have permission to register