
Jahitan Buku “Pemimpin Cinta”, Serum Membaca dan Menulis
“Dengan hidup yang hanya sepanjang setengah tarikan napas, jangan tanam apa pun kecuali cinta.”
-Jalaluddin Rumi
Demikian salah satu pemantik gagasan dari judul buku Pemimpin Cinta karya Drs. Edi Sutarto, M.Pd. “Awalnya buku ini akan berjudul “Aku dan Athirah”, namun setelah kembali mendengar kutipan dari Jalaluddin Rumi di tengah malam, membuat judul buku tersebut berubah. Hingga akhirnya “Pemimpin Cinta” yang dipilih,” terang Edi Sutarto dalam acara bedah buku Pemimpin Cinta, yang dalam penulisannya memakan waktu sekitar 5 bulan.
Bedah buku Pemimpin Cinta dengan tema “Mendidik dengan Cinta” digelar oleh Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (JBSI) dan BEM JBSI di Auditorium Maftuchah Yusuf, Gedung Dewi Sartika, Universitas Negeri Jakarta (UNJ) pada hari Kamis (2/4).
Buku Pemimpin Cinta menuturkan banyak pelbagai persoalan pendidikan yang dialami Edi ketika menjadi direktur di Sekolah Islam Athirah milik Yayasan Kalla, dan korelasi dengan cinta, agama serta budaya sebagai garda depan untuk menyelesaikan persoalan. Edi Sutarto yang pernah menjadi dosen apresiasi drama di UNJ serta aktor Teater Koma, menulis Pemimpin Cinta tentang bagaimana mengelola sekolah, mengelola guru, mengelola siswa serta mengelola orang tua dengan pendekatan cinta.
Dalam acara bedah buku tersebut, hadir dua sastrawan Indonesia Taufiq Ismail sebagai pembedah, serta Helvy Tiana Rosa sebagai moderator. Di buku tersebut, Taufiq Ismail menyoroti tentang masalah bullying siswa, pojok kejujuran yang menanamkan sedekah, serta budaya membaca dan menulis. Dalam catatan pembacaanya, Taufiq memberikan kesan yang sangat kuat. Ia mengapresiasi sistem dan model pembelajaran yang berlandas agama, budaya serta bahasa.
Buku yang sudah laris terjual sebelum bukunya dirilis ini, banyak mendapat sambutan dari khalayak. Beberapa di antaranya ada dari Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Anies Baswedan, Sutradara Teater Koma, Nano Riantiarno serta Taufiq Ismail sendiri.
Serum Membaca dan Menulis
Ketika Helvy Tiana Rosa membuka termin pertanyaan, ada beberapa pertanyaan menarik dari pengunjung yang hadir. Salah satunya tentang virus membaca dan menulis. Taufiq Ismail tidak setuju dengan pernyataan virus. “Virus itu adalah penyakit, maka ada kata serum yang bermakna positif dari dunia kedokteran, meski kata serum belum populer penggunaanya. Maka dari itu ubah kata virus menjadi serum,” ujar Taufiq.
Taufiq juga merasa tidak sependapat dengan kata bedah buku, karena menurutnya setelah dibedah, bagaimana caranya buku itu dijahit kembali. Ia juga membahas tentang budaya membaca dan menulis siswa yang masih sangat memprihatinkan. Maka wacana tragedi nol buku dari tahun 1950-an kembali menguap.
“Dari 25 judul buku yang wajib dibaca siswa itu hanya nol buku. Lalu, Apa mereka tidak tahu Layar Terkembang? Apa mereka tidak tahu siapa yang menulis Deru Campur Debu? Mereka tahu! Karena mereka hanya membaca ringkasan buku, bukan bukunya itu yang dibaca,” tutur Taufiq.
Kegelisahannya tentang sekolah-sekolah yang tidak memberikan stimulus terhadap kecintaan membaca buku, dan kemampuan menulis semakin menjadi.
“Kewajiban menulis karangan siswa SMA itu cuma satu kali dalam setahun, yaitu hanya ketika naik kelas saja, seperti shalat Idul Fitri. Dan satu tahun sekali itu sama judulnya, yaitu berlibur ke rumah nenek,” jelasnya panjang, yang diiringi sorak-sorai dari penonton.
Ia menerangkan, bahwa 25 tahun yang lalu kerja sastrawan itu marah-marah terkait serum baca dan tulis siswa yang sangat rendah. Dengan membaca nol buku dan mengarang satu kali setahun, hal tersebut mengundang simpati Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang saat itu dipimpin oleh Wardiman Djojonegoro. Wardiman menanyakan kondisi membaca dan menulis siswa di Indonesia, dan Taufiq Ismail bersama delegasi sastrawan lainnya menerangkan bahwa kondisinya sangat buruk, buruk sekali.
Berangkat dari itu, tim redaktur majalah sastra Horison dan sastrawan se-Indonesia membuat program: Sisipan Kaki Langit (SMA, madrasah aliah, pesantren, SMK) dalam majalah Horison, Pelatihan membaca, menulis, dan apresiasi sastra untuk guru Bahasa dan Sastra di seluruh provinsi (Februari-Oktober 2002), Program Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya (SBSB), dan Program Sastrawan Bicara, dan Mahasiswa Membaca (SBMM).
“Hingga akhirnya Pak Wardiman setuju Horison dilanggamkan ke sekolah-sekolah,” tutupnya.
Di penghujung acara, bedah buku Pemimpin Cinta tersebut, dipungkas oleh dramatisasi puisi Teater Zat dan syukuran dadakan ulang tahun bunda Helvy Tiana Rosa.
Pada kesempatan itu juga Taufiq Ismail membaca puisi “Membaca Buku dan Mengarang, Kakak-Adik Kandung Tak Terpisahkan”.
Membaca alfabet itu,
Bagaikan berkecimpung di kolam yang kecil ukurannya,
Sedangkan membaca buku ibarat berenang di lautan ilmu yang sangat luasnya
Menulis alfabet adalah ibarat anak kecil main layang-layang,
Tapi pandai mengarang,
Adalah ibarat pilot pesawat terbang
Yang mampu melesat ke langit luas karena tangkasnya.[]