Fb. In. Tw.

Ihwal “Mengukur Jalan, Mengulur Waktu” Sebuah Tawaran Pembacaan

“Hal paling penting dari sebuah perjalanan bukanlah menemukan pemandangan baru, melainkan memiliki cara pandang baru, memiliki mata yang baru” (Marcel Proust)

Secara umum, puisi-puisi Yopi Setia Umbara (YSU) dalam antologi Mengukur Jalan Mengulur Waktu dapatlah dikatakan sebagai puisi-puisi perjalanan, dalam arti, puisi yang diilhami oleh perjalanan ragawi penyairnya. Meski di satu sisi puisi-puisi tersebut merekam atau mewartakan kunjungan penyair ke berbagai tempat, di sisi lain puisi-puisi tersebut merupakan wadah bagi penyair untuk menumpahkan buah tangan-perenungannya.

Berjalan dan mencatat bukanlah hal baru dalam kehidupan manusia. Sejumlah pengelana, mulai dari Ibnu Batutah—petualang asal Maroko yang sempat singgah di Nusantara pada abad 14—hingga Trinity—penulis buku serial The Nekad Traveler kelahiran Sukabumi yang sudah menginjakkan kaki lebih di 68 negara—menjadikan aktivitas perjalanan dan pencatatan sebagai dua hal yang selamanya berkelit kelindan.

Di ranah kepenyairan juga demikian. Prabu Jaya Pakuan, penyair klasik Pasundan sekaligus putra mahkota kerajaan Pakuan Pajajaran yang lebih memilih hidup sebagai resi-pengelana, mencatat perjalanannya selama mengelilingi tanah Jawa dan Bali lewat Naskah Bujangga Manik (Abad 16)[i]. Demikian pula Acep Zamzam Noor. Perjalanannya sebagai pelancong di Eropa, diabadikan dalam karya monumental Di Atas Umbria (1999).

Bagi penyair, di berbagai tempat maupun zaman, setiap perjalanan tidak hanya melibatkan organ fisik dan panca indera, namun juga intuisi. Dalam konteks semacam inilah puisi tercipta. Puisi-puisi perjalanan YSU umumnya bicara mengenai renungannya akan cinta (Pernyataan Cinta, Aku Bergegas Menujumu, Kekasih Bermata Batu Akik, dll); ketidak-kuasaan manusia melawan arus perubahan (Terpojok di Kota, Pertapa Gunung Lagadar, Pagi di Jakarta, dll); ruang atau lanskap (Di Tobucil, Di Sungai Cikangean, Di Sepanjang Dermaga, dll), juga kesadaran akan kerdilnya manusia di hadapan Tuhan, kehidupan, dan maut (Di Astana Gede, Mukadimah Tahun Baru, Senja di Tanjung Palette, dll).

Tema-tema itulah yang banyak dituliskan YSU dalam kumpulan Mengukur Jalan Mengulur Waktu. Hanya, meski YSU bicara mengenai berbagai hal-ihwal—ditulis dengan beragam judul yang merujuk pada sejumlah tempat dan situasi—ada benang merah yang melatari satu puisi YSU dengan puisi lainnya: kesederhanaan bentuk dan kesunyian suasana.

Ya, apa pun judulnya, bagaimanapun situasinya, aku-lirik dalam kumpulan Mengukur Jalan Mengulur Waktu senantiasa bicara pada kita lewat ungkapan-ungkapan yang (terkesan) lurus dan hening-bening: terang, mudah dipahami; meski di satu sisi bernada sendu—menyiratkan kegetiran hidup.

saat dini hari hanya ada aku/dan gema yang kau ciptakan/dari sebutir air jatuh ke bumi (Penyerahan Diri, hal. 44)

hujan barangkali mengingatkan/betapa rapuhnya diri kita/tak lebih dari kulit kerang/yang remuk oleh buih laut (Hujan di Samalona, hal. 57)

Dalam salah satu puisinya, Poem (1965)[ii], penyair kelahiran Argentina, Alejandra Pizarnik, menyebut Puisi, kau-lirik dalam puisi itu, sebagai—dengan sedikit modifikasi— entitas yang memilih tempat luka, yang bagi manusia justru merupakan tempat untuk menyuarakan keheningannya[iii]. Ada semacam “kesepakatan” antara pernyataan Pizarnik dengan puisi-puisi YSU. Lewat suasana hening yang melingkupinya, beberapa puisi dalam Mengukur Jalan Mengulur Waktu secara tidak langsung bicara mengenai luka-luka manusia.

begitu pula tetangga-tetanggaku/mereka turut gembira/merayakan musim/yang jadi kolam di kampung/dengan meminum airmata sendiri/hingga tak sadarkan diri (Hujan di Kampungku, hal. 7)

bocah yang tak mengerti/kenapa dunia diciptakan/dari jutaan selongsong peluru/tak pernah bisa bertanya/selain mengisap ingusnya sendiri (Seperti Kesunyian, hal. 59)

Luka, dalam pengertian yang luas, yang melewati batas-batas definitif Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), saya pikir memiliki makna yang tidak melulu identik dengan darah atau derita. Di mata penyair, kondisi zaman yang demikian serba-gegas ini juga dapat dikatakan sebagai luka yang mewujud dalam bentuk lain. Atas hal inilah kiranya, menulis puisi merupakan bentuk terapi dan waktu yang digunakan untuk menuliskannya adalah kemewahan tersendiri.

orang-orang bergegas/lebih laju daripada kereta rel listrik/lebih tergesa daripada metromini//seolah-olah tak ada waktu lagi/sekadar menghirup udara pagi/apalagi menulis sebuah puisi//semua orang bergerak/berjejal memenuhi jalan raya/menjadi mesin peradaban jakarta (Pagi di Jakarta, hal. 39)

Puisi tersebut dapatlah dijadikan pintu masuk untuk memahami makna waktu yang—seperti halnya perjalanan—cukup dominan dalam puisi-puisi YSU. Sebagaimana disinggung di atas, mengulur waktu adalah sikap kepenyairan YSU terhadap realitas. Lewat puisi, YSU mencoba merekam segala sesuatu yang berlangsung cepat dan mudah dilupakan. Dengan sikap semacam itulah penyair menyadari bahwa di zaman serba-gegas ini, “bersikap lamban dan pelan-pelan” adalah suatu perlawanan, meski, perlawanan yang dilakukan tidak selalu menghasilkan apa-apa.

dunia tinggal selebar telapak tangan/bukan lagi sekadar sajak//lolongan anjing adalah irama paling kudus/bagi kesunyian paling rakus//setiap waktu menatap diri di cermin/aku mabuk kata-kata sendiri//sementara raga terus dihisap usia/sampai tinggal abu tertiup angin (Bukan Lagi Sekadar Sajak, hal. 58)

Aku-lirik dalam puisi di atas menyadari bahwa akhirnya dunia bukan sekadar sajak. Ada lebih banyak hal dalam hidup yang tak bisa diselesaikan dengan (menulis) sajak. Sementara sajak-sajak yang terlanjur ditulis, nyatanya hanya bikin mabuk penyairnya sendiri. Hal demikian berlangsung hingga raga tinggal abu tertiup angin.

Bersikap “lamban dan pelan-pelan” tidak hanya ditunjukkan YSU dalam menghadapi realitas, tapi juga ditunjukkan YSU dalam menuliskan puisi-puisinya. Maksud saya, “lamban dan pelan-pelan” dalam konteks puisi YSU bisa dilacak dari bentuk pengucapannya yang sederhana dan padat, nyaris tak banyak dihiasi ornamen-ornamen puitik, terutama musikalitas. Sebagian besar puisi YSU seakan-akan tidak mengindahkan musikalitas sebagai salah satu kekuatan puisi. Minimnya musikalitas menyebabkan tempo pembacaan puisi-puisi pada kumpulan Mengukur Jalan Mengulur Waktu menjadi agak tersendat dan patah-patah, kurang mengalun.

tak ada lagi sisa/tetes bir terakhir dari botol/telah menjadi puisi/yang kuminum diam-diam…di dalam kamar/jantung berdeyut lebih kencang/lebih cepat daripada putaran waktu (Ode untuk Sebotol Bir, hal. 29)

Namun hal demikian tidak sepenuhnya berlaku dalam beberapa puisi YSU yang sangat pastoral. Pada puisi-puisi semacam itu, citraan alam dan unsur visual terasa demikian kuat. Musikalitas hadir dengan sendirinya dalam ketenangan yang penuh-seluruh. Permainan bunyi terasa natural, tanpa kesan dipaksakan. Dan saya kira, dalam puisi-puisi semacam itulah—yang justru tidak begitu banyak jumlahmya—puisi-puisi YSU mendapatkan daya tarik dan kekuatannya.

Hembus angin/pada batang-batang bambu/desir alir air membentur batu-batu/adalah musik yang mengiringi waktu (Di Sungai Cikaengan, hal. 33).

di langit camar masih menari/angin membisikan mantra-mantra/persis pesta juga upacara duka//langkah semakin tak menapak/mengambang gumpalan awan/di ambang keheningan petang (Di Sepanjang Dermaga, hal. 51)

Sebagian besar puisi YSU, meski banyak bicara mengenai kesunyian suasana, nyatanya berbeda dengan kebanyakan puisi suasana pada umumnya. Lewat  sebagian besar puisi suasananya, YSU sebenarnya lebih banyak membicarakan ide atau gagasan. Pun, ide atau gagasan itu umumnya berkisar di seputar dirinya sendiri.

ada yang tak reda/malah tambah deras//seperti kendaraan/terus berjejal/di jalan sempit/di terminal dalam hujan/di antara orang-orang/semakin basah gerimis/mungkin lebih resah/oleh tujuannya sendiri/yang belum pasti (Ode untuk Terminal dalam Hujan, hal. 27)

misalkan dunia adalah tempat tertawa/bagi hidup yang sangat karib dengan duka/barangkali badan tak perlu bekerja keras/jika sekadar untuk menarik nafas (Ode untuk Ihung, hal. 45)

meski sangat sempit/namun kamar ini selalu cukup/menampung luapan gairah//setiap ciuman basah/adalah pengulangan khidmat/dunia kecil yang kita nikmati//seolah hidup kita/tak lebih lama dari hangat/pelukan membakar jantung (Catatan di Sebuah Kamar, hal. 46)

Dengan menuliskan tema-tema tersebut dalam pilihan gaya pengucapan seperti itu, pada puisi-puisi YSU terasa ada semacam tarik-menarik antara keinginan berbisik dan berteriak, antara menggugat dan intropeksi, antara keinginan berempati melibatkan diri dalam nasib orang lain dengan kecenderungan berasyik-masyuk dalam dunia sendiri. Barangkali inilah bentuk lain dari potret pengarang modern sebagai manusia perbatasan.[iv]

Namun, lepas dari persoalan teknik dan tema dalam kumpulan Mengukur Jalan Mengulur Waktu, Puisi—kembali merujuk pada Pizarnik—dalam kapasitasnya sebagai entitas yang memilih tempat luka yang dipilih manusia untuk menyuarakan keheningannya, selanjutnya menjelma menjadi sesuatu yang membuat hidup dan rutinitas termurnikan kembali[v]. Dalam posisi inilah saya percaya mengapa puisi masih ditulis YSU hingga hari ini: sebagai katarsis, sebentuk upaya untuk melepaskan diri dari ketegangan hidup serta kejumudan rohani. Dan lewat pembacaan yang demikianlah puisi-puisi YSU sebetulnya lebih mudah dipahami.

Kehadiran antologi Mengukur Jalan Mengulur Waktu sudah semestinya disambut dengan gembira. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, antologi tersebut turut meramaikan tradisi menerbitkan buku puisi yang banyak dilakukan para penyair muda di Jawa Barat beberapa tahun belakangan.

Lantas jika kemudian Anda bertanya mengenai posisi kepenyairan YSU dalam peta kepenyairan di Jawa Barat secara umum, jawaban saya sederhana: puisi-puisi YSU masih berada di ranah tradisi lirisisme yang mendominasi penyair-penyair Jawa Barat—dengan kecenderungan menuliskan keindahan lanskap dan kegagapan menyaksikan perubahan zaman. Namun, biarpun demikian, posisi YSU dapat dikatakan berbeda dengan penyair lainnya (baik yang segenerasi maupun yang lahir sesudahnya), bila dilihat dari gaya pengucapannya.[]

Catatan
[i] Naskah Bujangga Manik merupakan salah satu naskah kuno berbahasa Sunda yang memuat kisah perjalanan seorang tokoh bernama Bujangga Manik mengelilingi Tanah Jawa dan Bali. Naskah ini ditulis pada 29 lembar daun lontar, dalam puisi naratif berupa lirik yang masing-masing berisi sekitar 56 baris kalimat, terdiri dari 8 suku kata. Sejak 1627 naskah ini disimpan di Perpustakaan Bodley di Universitas Oxford.

[ii] Puisi ini terhimpun dalam kumpulan puisi Alejandra Pizarnik, Selected Poems, (Waterloo Press, Agustus, 2010)

[iii] Versi bahasa Inggris puisi tersebut (diterjemahkan oleh Cecilia Rossi) adalah sebagai berikut

You choose the place of the wound/where we speak our silence.

[iv] Selanjutnya lihat esai Subagio Sastrowardoyo: Potret Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan (Balai Pustaka, 1989)

[v] Pernyataan di atas diilhami dari larik lanjutkan pada puisi Poem Alejandra Pizarnik: You make of my life/this ceremony all too pure.

KOMENTAR

Reporter buruan.co. Menulis puisi dan esai. Kumpulan puisi pertamanya "Kartu Pos dari Banda Neira" (Penerbit Gambang, 2017).

You don't have permission to register