
Film Indonesia dalam Krisis dan Paradoks
Pada 5 Desember 1900, babak baru seni pertunjukan dimulai di Hindia Belanda. Kemunculan seni baru itu digembar-gemborkan melalui iklan di surat kabar sebagai “pertoenjoekan besar jang pertama”. Itulah penanda kehadiran “gambar idoep” alias film di Hindia Belanda.
Sejak penayangan perdana yang menghebohkan di Batavia, film menjadi bintang hiburan baru di negeri jajahan Hindia Belanda. Pertunjukan itu semula menyasar pasar masyarakat Eropa di Hindia Belanda. Namun rupanya kaum pribumi pun menyukai dan rela membayar untuk menikmati hiburan “ajaib” itu.
Jika pada penayangan perdana, film yang diputar adalah gambar bisu dokumenter dari Belanda, tak lama berselang, masuk film-film cerita dari Amerika Serikat. Kisahnya macam-macam, mulai dari drama percintaan hingga perkelahian para koboy. Film pun semakin akrab dengan kaum pribumi, termasuk masyarakat di pedesaan yang beruntung bisa menonton ke bioskop.
Namun, meluasnya pamor film di kalangan pribumi tanpa diduga menjadi bumerang bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda. Rakyat pribumi yang belum cukup terbuka wawasannya rupanya tidak bisa membedakan benar antara cerita fiktif dalam film cerita dan kenyataan.
Pemerintah kolonial yang selama ini mencitrakan diri terpelajar dan luhur budi mendadak digugat oleh gambaran masyarakat barat dalam film. Dalam film-film yang diimpor, masyarakat kulit putih digambarkan gemar mengobral seksualitas dan hobi menempuh jalan kekerasan ketika menyelesaikan masalah.
Saat itu, baik masyakat di Eropa maupun pemerintah kolonial di negeri jajahan khawatir dengan memburuknya citra mereka di mata pribumi negeri-negeri koloni. Atas dasar itu, pada 1916, pemerintah kolonial Hindia Belanda menerbitkan kebijakan sensor untuk pertama kali. Selain itu, untuk memperbaiki citra mereka, pemerintah kolonial mendukung pembuatan film di Hindia Belanda.
Nukilan sejarah tersebut dituliskan kembali dalam buku Krisis dan Pradoks Film Indonesia oleh Garin Nugroho dan Dyna Herlina. Keduanya adalah pegiat sekaligus akademisi perfilman Indonesia. Dalam buku keluaran Penerbit Buku Kompas Mei 2015 itu, kedua penulis menyuguhkan sejarah film di Indonsia, sejak kehadirannya untuk pertama kali, hingga perkembangannya pada tahun-tahun terakhir ini.
Mengikuti cerita Garin dan Dyna tentang film Indonesia, pembaca seperti diajak bermobil untuk bersafari mencari hewan di hutan. Tak hanya mencari dan menceritakan soal hewan-hewan, mereka juga menguraikan saling hubung antara lingkungan dengan hewan-hewan yang dijumpai.
Menurut mereka, “Film bukanlah entitas yang mandiri dari segala hiruk pikuk perkembangan ekonomi politik dan budaya popular lainnya” (hal. xiii). Oleh sebab itu, Garin dan Dyna berusaha memahami perkembangan film di Indonesia dengan mengkaji latar ekonomi, politik, maupun kebudayaan yang berlaku pada setiap zaman.
***
Pembahasan dalam buku setebal 352 halaman itu dibagi menjadi enam bab. Setiap bab merupakan penggalan rentang waktu yang menandai kekhasan suatu zaman. Keenam zaman itu, masing-masing diberi anak judul: Seni Kaum Urban (1900-1930), Hiburan di Tengah Depresi (1930-1950), Ketegangan Ideologi (1950-1970), Globalisme Semu (1970-1985), Krisis di Tengah Globalisasi (1985-1998), dan Euforia Demokrasi (1998-2013).
Seperti ditekankan pada judul, Garin dan Dyna juga berkesimpulan bahwa perjalanan film di Indonesia selalu berjalinan dengan krisis dan melahirkan paradoks. Sebagai gambaran, kolonialisme Belanda, yang di satu sisi menyebabkan penderitaan rakyat pribumi, namun di lain sisi lain merupakan penyumbang pembangunan kota, moderintas, serta kehidupan urban yang terbuka. Dengan syarat-syarat itu, film hadir di Hindia Belanda, diboyong Pemerintah Kolonial dari daratan Eropa.
Seperti kisah yang telah disinggung di awal tulisan ini, kehadiran film yang menjadi salah satu penanda modernitas pada akhirnya berhadap-hadapan dengan nilai-nilai tradisional, baik yang dianut masyarat Barat sendiri, maupun masyarakat pribumi. Kurun 1900-1930 adalah fase gegar budaya yang dialami masyarakat di Hindia Belanda berkenaan dengan kehadiran film.
Loetoeng Kasaroeng (1926), film cerita pertama produksi Hindia Belanda, menunjukan keterkaitan antara film dengan seni tradisi, baik wayang maupun sandiwara. Di lain sisi, menurut Garin dan Dyna, Loetoeng Kasaroeng yang pembiayaannya didukung oleh Bupati Bandung saat itu, Wiranatakusumah, merupakan bentuk kekhawatiran terhadap punahnya seni tradisi dan berikut nilai-nilainya. Sekali lagi, film hidup di dalam sebuah paradoks.
Periode 1930-1950 merupakan masa krisis serius, sebagai dampa depresi ekonomi global, pendudukan Jepang, serta revolusi kemerdekaan. Setelah melewati fase gegar budaya film, masyarakat pribumi mulai berpikir untuk memanfaatkan film bagi kepentingan pembangunan identitas bangsa. Bahkan lebih dari itu, yakni untuk keperluan perjuangan kemerdekaan.
Kalangan pribumi yang telah terlibat dalam produksi film berupaya mencari tali pembatas untuk memagari apa yang mereka sebut film nasional. Pada praktiknya, mereka juga membangun kecurigaan dan kontradiksi dengan para pelaku industri film beretnis Tionghoa. Hal ini, menurut Garin dan Dyna juga sebuah bentuk paradoks.
Menurut mereka, apa yang digadang-gadang sebagai rumusan film nasional pada kenyataannya tidak bisa menghindari unsur-unsur asing, termasuk resep racikan Hollywood. Begitupun dalam praktik produksi, garapan film di Hindia Belanda, kemudian Indonesia, tidak lepas dari kontribusi besar para pembuat film Tionghoa. Mereka termasuk yang sengaja datang dari Tiongkok, seperti Wong Brothers.
“Film-film etnis Tionghoa tidak saja memberikan rasa memiliki dan proses membayangkan konsep visual tanah air Indonesia, tetapi juga membawa bahasa Melayu sebagai bahasa ibu yang kemudian diperkenalkan ke banyak pelosok negeri” (hal. 83).
Menurut Garin dan Dyna, bahkan sejarah mencatat, tidak ada kandungan film yang serba “asli” Indonesia, termasuk film Darah dan Doa (1950), karya Usmar Ismail yang dianggap sebagai tonggak perfilman nasional. Itu lantaran, pada tahap pascaproduksi, ketika mengalami kesulitan, Usmar mendapatkan dukungan dana dari pengusaha Tionghoa.
Pada periode pascakemerdekaan hingga awal Orde Baru (1950-1970), Garin dan Dyna mencatat beberapa fase penting. Di antaranya adalah perseteruan dua kubu pegiat film, yakni para seniman film Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang merupakan sayap Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi).
Meskipun berafiliasi dengan kubu-kubu politik berbeda, para seniman film sama-sama mengusung gagasan nasionalisme. “Perbedaannya, kelompok Lesbumi cenderung mengungkap kegalauan individu pascakemerdekaan, sedangkan Lekra menarik persoalan tersebut pada ranah sosial, seperti interaksi individu dalam masyarkat” (hal. 110).
Sayang, gerakan bumi hangus segala sesuatu yang terkait PKI sejak 1965 juga berimbas pada karya-karya film produksi seniman Lekra. Orde Baru memusnahkan film-film Lekra, sehingga tidak satupun yang tersisa untuk ditonton atau sebagai bahan studi generasi hari ini. Selain itu, kemenangan Orde Baru yang didukung Barat juga membawa konsekwensi lain terhadap dunia perfilman nasional. Pasca-1965, Indonesia menjadi surga film-film impor dari AS.
Sepanjang Orde Baru berkuasa, ada sejumlah catatan penting menyangkut film Indonesia. Pada periode 1970-1985, kondisi ekonomi yang relatif stabil (berkat topangan hutang luar negeri), ditambah politik yang represif, telah menyebabkan produksi film nasional melonjak. Meski begitu, pada titik ini juga muncul fenomena film-film berbumbu seks serta film propaganda. Film propaganda yang paling dikenal hingga saat ini adalah Pengkhianatan G30S/PKI (1982) karya Arifin C Noer.
Pada periode tersebut, jaringan bioskop serta distribusi film secara dominan dikuasai keluarga dan orang-orang dekat Soeharto. Sementara periode 1985-1998, di antaranya ditandai oleh menguat dan meluasnya pengaruh televisi. Sebagai akibatnya, bioskop-bioskop kecil rontok, terutama di daerah. Pada fase ini, banyak sutradara dan bintang film hijrah ke televisi.
Periode 1998-2013 di awali dengan krisis ekonomi yang berujung dengan gejolak sosial dan tumbangnya rezim Orde Baru. Ekonomi yang bobrok dan politik yang tidak stabil berimbas hebat terhadap sektor film. Sepanjang 1998-1999, hanya ada delapan produksi film. Dari delapan judul film, hanya dua yang bukan film erotis, yakni Puisi Tak Terkuburkan (1999) karya Garin Nugroho dan Petualangan Sherina (1999) garapan Riri Riza.
Pada tahun-tahun selanjutnya, menurut Garin dan Dyna, kegairahan film nasional mulai bangkit kembali. Dengan perkembangan teknologi informasi, semakin banyak anak muda membentuk komunitas film dan memproduksi film-film Indie. Selain hadirnya film-film box office, seperti Habibi dan Ainun (2012) yang memecahkan rekor jumlah penonton, lahir juga film-film yang berhasil menembus festival internasional. Sebut saja festival film Tokyo, Busan, Amsterdam, Sundance, Canes, serta beberapa festival lainnya.
Meski begitu, sejalan dengan teori Garin dan Dyna, film selalu berjalinan dengan paradoks. Di era kebebasan pasca-Reformasi, represivitas negara digantikan dengan kesewenang-wenangan kelompok masyarakat tertentu, khususnya kaum fundamentalis agama. Kelompok tersebut tak segan mengangkat parang untuk melakukan “sensor” atas film-film yang tidak mereka sukai. Pada fase ini, juga terjadi paradoks, di mana para pembuat film menghadapi dilema antara pupularitas dan kualitas.
Buku Krisis dan Paradoks Fiilm Indonesia merupakan sumbangan penting bagi rak perpustakaan film Indonesia. Jika buku-buku karya akademisi hanya menyajikan kesimpulan-kesimpulan hasil studi pustaka, dengan latar belakang praktisi, Garin dan Dyna menawarkan kesegaran pada buku mereka ini.
Keduanya bergitu fasih berbicara hingga hal teknis menyangkut perfilman. Dengan latar belakang sebagai praktisi juga, keduanya membumbui tulisan mereka dengan perasaan, mulai dari kekecewaan, optimisme serta berbagai harapan. Meski begitu, buku ini bukannya tanpa kekurangan.
Di bab pertama, Garin dan Dyna tidak langsung berbicara tentang film. Bab tersebut menyajikan tinjauan budaya populer serta kondisi ekonomi-politik yang berkembang di Hindia Belanda sebagai latar belakang kemunculan film. Di fase ini, pembaca yang berharap pembahasan yang to the point rawan mengalami kejenuhan.
Catatan lainnya, di beberapa bagian, buku ini menyinggung kiprah Garin Nugroho sebagai pelaku dalam seni dan industri film. Hal yang sedikit membingkungkan, terkadang Garin masuk ke dalam narasi sebagai “saya”. Namun di bagian lain, Garin Nugroho berikut karyanya diulas sebagai objek studi. Hal ini agaknya berkenaan dengan kerjasama dua penulis dalam penyusunan naskah buku ini.
Kelemahan teknis tersebut tampaknya lebih tepat dikeluhkan kepada penyunting buku. Di luar beberapa catatan kritis di atas, tak diragukan buku ini adalah rujukan penting bagi penelitian perfilman di Indonesia.[]
Data Buku
Judul: Krisis dan Paradoks Film Indonesia
Penulis: Garin Nugroho dan Dyna Herlina
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Cetakan: Mei 2015
Tebal: 352 halaman
ISBN: 978-979-709-936-7