
Di Balik Kisah Potret “Gedongan Jin”
Bagian yang disukai ketika sedang berada di suatu kota yang jauh dari tempat tinggal adalah mendapatkan sesuatu yang tak biasanya melalui mata lensa kamera. Sesederhana apa pun yang saya tangkap. Bonusnya adalah kisah yang ada di balik potret-potret tersebut. Kali ini adalah kisah Gedongan Jin. Rumah yang konon berhantu.
Pagi itu saya tertantang mendatangi rumah yang diceritakan Mimi sepanjang sarapan. Sepulang nyekar saya diantar anaknya yang paling besar, Abdul Harris, untuk melihat-lihat rumah itu. Seperti apa sih bentuk Gedongan Jin? Tak jauh dari makam Apa dan Ema kami berjalan kaki menuju Setu Barat, sepanjang jalan selebar satu meter berdiri bangunan rumah-rumah tua khas Cirebon.
Sebelum sampai ke rumah yang dimaksud, saya membayangkan rumah tua yang rapuh, di mana seluruh temboknya retak, di tiap celahnya merambat akar pepohonan, gelap, tak terawat, tak berpenghuni dan menyeramkan.
Begitu sampai, bayangan saya diruntuhkan oleh pemandangan rumah tersebut. Tak satu pun apa yang saya bayangkan terbukti. Saya mendapati rumah dengan halaman yang luas, berpagar besi. Lantai halaman yang ditutupi paving block dan sebuah rumah bergaya Jawa berdiri kokoh di tengah-tengah halaman. Tampak masih terawat dan bersih dilihat dari luar.
Awalnya saya tak berani masuk, karena tampaknya tak ada orang di sana. Toh rumah itu berpagar, jika saya masuk berarti saya melanggar etika. Akhirnya saya mengambil gambar dari balik pagar. Memotret seekor kucing yang tengah menjilati tubuhnya di halaman depan. Di halaman ini pula menurut cerita warga pernah mendapati wujud raksasa.
Ketika saya sedang mengambil gambar saya dikejutkan oleh kemunculan seorang ibu sepuh dari arah pintu utama rumah tersebut. Berkebaya model kutu baru, bersinjang batik, dan berkerudung. Saya yang kikuk, melemparkan senyum meminta izin untuk masuk dan memotret rumah. Tak dinyana, ibu sepuh yang bernama Kapsah itu menyambut ramah. “Mangga mlebet mawon, Nok. Sampun isin-isin.” Ujarnya.
Gedongan Jin
Sebutan itu sudah sejak lama dikenal warga sekitar. Dari mulai tukang becak di depan Pasar Kue Weru, hingga dari perempatan Trusmi-Plered -meski jaraknya lumayan jauh tapi hapal dengan rumah yang dianggap angker itu. Ibu Kapsah menuturkan, rumah itu sudah lama ditinggalkan sejak pemiliknya meninggal dunia.
Rumah bergaya klasik ini dibiarkan kosong tak berpenghuni. Ibu Kapsah lupa kapan tepatnya rumah ini dibangun. Dia tersenyum ketika saya mengutarakan apakah rumah ini memang dikenal angker. Dari sejak dulu rumah ini memang dikenal begitu, ungkapnya. Ia tak menjelaskan banyak hal tentang kisah (sepertinya) tersembunyi dibalik keangkeran yang sering ditemui warga sekitar.
Bu Kapsah hanya ditugasi untuk sesekali melihat keadaan rumah di pagi hari. Dan pagi itu ia lebih sibuk dari biasanya karena menemani seorang tukang yang sedang mengganti lantai dapur. Di bagian teras rumah terdapat banyak kursi untuk menyambut tamu, tersusun sembarang, terbuat dari kayu jati dengan model kuno. Konon di teras inilah (menurut cerita) anak-anak (Jin) sering disajikan nasi goreng.
Memasuki rumah terdapat lorong panjang menuju bagian dapur, halaman belakang juga kamar mandi. Di lorong ini terdapat empat kamar di sisi kanan dan kiri, saling berhadapan. Di salah satu bagian kamar di sisi kanan rumah, sesekali warga sering mendapati sosok perempuan tengah menyisir rambut. Sambil bercermin di depan cermin kecil. Tertangkap mata dari jendela rumah yang terkadang dibiarkan terbuka meski hari sudah malam.
Saya hanya berani memotret bagian kamar yang disebutkan warga. Sementara untuk tiga kamar lainnya, saya tidak punya cukup nyali dalam mengambil gambar. Kondisinya tidak serapi yang tampak dari luar, keadaan di dalam kamar seolah dibiarkan begitu saja sejak terakhir kali ditinggalkan pemiliknya.
Di lorong rumah, berjejer ranjang-ranjang bayi yang masih beralaskan kasur kapuk dan tidak bertilam. Ranjang bayi tersebut bekas anak-anaknya Haji Abbas ketika masih kecil. Lorong ini cukup membuat saya merinding. Ranjang-ranjang tersebut menurut cerita warga digunakan juga sebagai ranjang-ranjang anak jin. Di halaman belakang yang konon di sebut dengan sebutan “Istana Jin”, saya fokus pada salah satu pohon yang pada batangnya bersandar sebuah taraje (tangga bambu). Dan sebuah sumur yang tak jauh dari pohon tersebut.
Salah satu stasiun televisi swasta pernah mengadakan syuting untuk acara semacam uji nyali. Barangkali rumah ini semakin terkenal karena acara tersebut.
“Ibu takut nggak kalau sedang menjaga rumah ini?”
“Ya kalau siang sih enggak. Saya kan belum pernah ke sini malam-malam, Nok. Takut.” Kami tertawa
Perkembangan zaman dan teknologi, sesuatu yang mistik bahkan gaib, bisa menjadi tontonan yang menghibur. Dunia pertelevisian menghiasi beberapa program acaranya dengan memperlihatkan sesuatu yang tak bisa dilihat kasat mata. Entah itu benar atau tidak, terlepas pro dan kontra dengan esensi keyakinan.
Salam Jepret!
Sorry, the comment form is closed at this time.
Dhani
Saya tau gedongan jin itu