Fb. In. Tw.

Dewi Kartika: Bersolidaritas Itu Selemah-Lemahnya Iman

Wawancara Bersama Dewi Kartika, Wakil Sekjen Konsorsium Pembaharuan Agraria

Dewi Kartika adalah salah satu pembicara dalam diskusi bertajuk “Gerakan Sosial dan Kebangsaan” pada Festival Indonesia Menggugat (20/05/16). Pada diskusi, Dewi fokus membahas perkembangan serta persoalan yang dihadapi gerakan tani, khususnya dalam memperjuangkan reforma Agraria. Setelah diskusi usai, saya memiliki kesempatan untuk membicarakan persoalan reforma Agraria.

Bisa diceritakan secara singkat aktifitas KPA (Konsorsium Pembaharuan Agraria)
KPA itu karena basisnya beranggotakan serikat tani, serikat nelayan, masyarakat adat, organisasi perempuan dan LSM yang punya konsentrasi di isu agraria, jadi ada tiga fokus kerja. Pertama, soal advokasi kebijakan agraria khususnya di tingkat nasional, penguatan organisasi rakyat yang lebih pada penguatan kapasitas serikat-serikat tani anggota KPA, dan pendampingan kasus. Tapi lebih banyak pendampingan kasus yang nonlitigasi.

Kalau litigasi itu jika terjadi banyak kasus-kasus kriminalisasi. Yang ketiga kita fokusnya pada kampanye dan kajian. Kampanyenya ya tentang bagaimana mempopulerkan, membangun kesadaran publik untuk lebih aware (sadar), tahu, paham, dan bahkan mau bergabung dengan gerakan reforma agraria.

Tadi sempat disebutkan dalam diskusi, rejim hari ini tak jauh berbeda dengan rejim sebelumnya yang tidak pro terhadap reforma agraria. Bisa diceritakan kasus-kasus yang masih berlangsung hingga hari ini.
Memang sayangnya, justru di era Jokowi yang katanya populis itu konflik tetap terjadi. Misalnya di tahun 2015 kami mencatat sekitar—saya harus cek kembali jumlahnya—seratus sekian konflik di masa pemerintahan Jokowi. Kemudian, kriminalisasi juga marak di mana-mana terhadap petani, nelayan, masyarakat adat, dan justru represifitas aparat dalam menangani konflik-konflik justru semakin keras. Mudah sekali mengerahkan militer dan polisi untuk menangani konflik agraria. Sehingga ya, kalau di lapangan itu aparat posisinya sudah tidak netral lagi. Aparat lebih memihak ke perusahaan atau pokoknya yang berkonflik dengan masyarakat. Itu membuat situasi menjadi lebih parah.

Nah, mengapa Jokowi tidak berbeda dengan rejim sebelumnya karena ia juga memiliki kebijakan yang lain. Selain kebijakan-kebijakan yang konon populis dan lebih merakyat, di sisi lain dia juga sangat menggenjot investor dan investasi. Dia banyak membuat kesepakatan-kesepakatan ekonomi yang sifatnya bilateral di tingkat global, regional, dan Asia. Hal itu mengundang investor yang kemudian membutuhkan tanah dalam skala yang sangat luas dan itu memicu perampasan tanah. Jadi, masyarakat seperti petani dan masyarakat adat yang istilahnya dalam mata hukum positif itu belum punya kekuatan hukum, mereka dengan mudah dan rentan untuk tereklusi atau terampas tanahnya.

Kebijakan tentang liberalisasi sumber-sumber agraria tetap terjadi. Kemudian belum lagi pertarungan sistem ekonominya yang masih kapitalistik. Terus menggunakan sistem yang karena quickwin Jokowi itu ada target, misalnya mencapai kedaulatan pangan atau ketahanan pangan. Ketika produktivitas petani lokal tidak kuat, ya mencari solusi yang instan saja, yakni impor dari mulai cabai, kentang, kacang kedelai, bahkan garam. Bayangkan laut kita luas tapi impor garam juga.

Kalau persoalan Waduk Jatigede, ada komentar atas persoalan tersebut?
Soal pembangunan infrastruktur ini memang otomatis setelah Susilo Bambang Yudhoyono memiliki Undang-Undang nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah, dilanjutkan dengan Jokowi yang menggenjot pertumbuhan ekonomi ya otomatis pengadaan tanah untuk proyek infrastruktur, termasuk pembangunan waduk ini menjadi lebih semangat, lebih kuat, dan lebih cepat. Karena dia punya target pembangunan tiga belas waduk kalau tidak salah—bisa dicek lagi di Nawacita, ada berapa waduk yang harus dibangun di lima tahun masa kekuasaan Jokowi.

Tapi memang untuk waduk Jatigede, kita (KPA) belum ikut di situ. Kalau tidak salah teman-teman dari Walhi Jabar ya yang di sana? Tapi memang biasanya kalau pengadaan tanah untuk proyek pembangunan seperti waduk atau pembangunan bandara Kertajati itu di proses penentuan lokasi atau objek, sosialisasinya selalu tidak ada. Sosialisasi bahwa lokasinya, kampungnya menjadi objek pembangunan A atau B tidak dipenuhi proseduralnya. Jadi, kadang tiba-tiba masyarakat langsung dieksekusi bahwa wilayahnya sudah masuk objek pembangunan, akan diganti rugi.

Nah, ini proses ganti ruginya pun bisa menimbulkan konflik lagi. Mungkin, anggarannya bisa lebih standar tapi nanti di lapangan dibagi ke petugas-petugas, sehingga yang sampai di masyarakat sangat kecil. Tapi masyarakat seperti tidak diberi pilihan. Padahal, Undang-Undang Pengadaan Tanah itu juga memberikan kemungkinan kepada masyarakat untuk menolak. Jadi misalnya, tanah sudah ditetapkan sebagai lokasi objek pembangunan satu infrastruktur itu ada kemungkinan menolak dan mengajukan keberatan.

Nah, inilah yang sering tidak dibuka. Menganggap bahwa ketika sudah ditetapkan ya sudah tidak bisa menolak. Mau tak mau pemilik lahan harus keluar dan mendapat ganti rugi. Padahal, dalam proses ganti rugi itu harus menghitung juga yang imaterialnya. Misal, bayangkan satu keluarga, kan tak sekadar direlokasikan atau diganti rugi sekian puluh juta. Belum tentu nanti misalnya di tempat yang baru itu mereka akan mendapatkan (luas) lahan yang sama, sesubur yang sama. Belum lagi soal pendidikan, anak-anak harus memulai dari awal lagi. Belum tentu di tempat yang baru itu sekolah itu mudah diakses.

Itu kan kayak orang mulai (kehidupan) dari awal lagi. Itulah yang disebut material, yang tidak pernah dipertimbangkan di prosedur hukum kita. Dianggapnya karena sudah mendapat ganti rugi.

Masyarakat di pedalaman kadang banyak yang tidak paham. Mereka merasa sebagai warga negara, lalu ditakut-takuti kalau menolak berarti bukan warga negara yang baik. Nanti juga diintimidasi dari mulai Kepala Desa, Camat, Bupati, dan Polisi. Itu kan salah satu bentuk intimidasi yang berlapis-lapis. Akhirnya, mereka mau tak mau harus pergi, meski ganti ruginya kecil. Proses seperti itu sangat sering terjadi, juga tak terbuka dan transparan.

Saya menilai persoalan konflik Agraria tidak seramai isu-isu populer seperti di sektor buruh atau pendidikan. Apakah demikian juga yang dirasakan oleh KPA?
Justru itu, isu agraria dan konflik agraria kalah dari isu mainstream yang lebih tren. Misalnya isu korupsi, mudah sekali ditangkap oleh masyarakat. Kalau isu-isu kriminalisasi petani, kemudian perampasan tanah petani dan sebagainya sulit sekali ditangkap publik sebagai bentuk kejahatan kemanusiaan. Bahkan, untuk menggugah Komnas HAM bahwa kalau terjadi perampasan tanah sebagai bagian dari pelanggaran HAM dirasa sulit. Jadi hak atas tanah atau Land Right’s itu bukan bagian dari Human Right’s.

Sampai hari ini, masih food (pangan) yang baru menjadi bagian dari hak asasi manusia. Tapi untuk menghasilkan makanan kan basis produksinya apa? Tanah. Tanpa tanah, orang tak hanya tidak bisa makan, tapi juga tak bisa hidup. Jadi misalnya, kalau ada petani yang digusur, kadang Komnas HAM agak-agak lambat juga (tanggapannya), karena belum masuk ke dalam ranah pelanggaran HAM.

Kalau publik secara luas, kadang menganggap isu petani itu hanya soal produktivitas pertanian, kemudian pupuk, benih, traktor dan hal-hal yang sifatnya teknis. Bahwa hal-hal tadi itu penting memang benar, tapi kadang luput bahwa mayoritas petani kita itu adalah petani gurem, yang kepemilikan tanahnya di bawah 0,2 hektar. Tak pernah ada kesadaran bahwa mayoritas petani kita ini miskin, bahkan landless (tak berlahan) yang hilang karena dirampas, sehingga ia terlempar menjadi buruh tani.

Buruh tani kan sebetulnya dia berawal dari petani yang memiliki tanah menjadi tak punya tanah dan akhirnya dia harus bekerja di perusahaan perkebunan yang berdiri di atas tanah yang dulunya adalah miliknya. Isu-isu seperti itu memang sulit disebar luaskan. Maka, memang kita butuh untuk mengampanyekan terus kesadaran soal gerakan reforma agraria, kenapa penting membela petani, bahkan mengaitkan isu.

Misalnya, kenapa banyak fenomena warga desa, rumah tangga petani yang mengirim anak-anak perempuannya atau istrinya menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri? Hal itu terjadi karena di desa sudah tak ada lagi akses terhadap tanah garapan. Sehingga petani menyerah, pindah profesi, kalaupun masih bertahan mereka menjadi petani miskin yang hanya bisa menghasilkan makanan untuk sehari-hari, tapi untuk menyekolahkan dan berobat mereka masih berpikir ya sudah istrinya bekerja di luar negeri jadi TKW, juga anak perempuannya.

Nah, itu kan sebenarnya relasi dari kemiskinan desa-kota. Proses hilangnya sumber-sumber agraria, sehingga terciptanya klas buruh proletar, buruh tani, sektor-sektor informal yang kerja kasar dan tak memiliki standar upah yang layak. Itu semua imbas dari ketiadaan akses akan tanah dan sumber agraria di desa. Semuanya berpindah, terakumulasi ke kelompok-kelompok pemodal, orang-orang kaya, dan perusahaan-perusahaan perkebunan.

Kagiatan Festival Indonesia Menggugat 2016 ini juga bisa dijadikan sebagai bagian dari kampanye gerakan reforma Agraria, ada harapan setelah kegiatan ini?
Harapannya sih tidak terlalu muluk ya. Cuma memang kita harus meluaskan kesadaran saja sebenarnya. Terutama tadi soal bahwa kita menghadapi krisis kader pemuda yang mau aware, bahkan mungkin levelnya seharusnya bukan sekadar solidaritas lagi. Bersolidaritas itu kan selemah-lemahnya iman. Tapi pengennya itu ya setelah sadar, bersolidaritas, kemudian terlibat juga.

Yang punya keahlian apapun bisa bantu, seperti membantu petani bagaimana menuliskan kronologis kasus dengan baik, mendata petani penggarap, itu sebenarnya hal-hal yang penting dan urgen tapi kadang luput dari perhatian serikat tani itu sendiri. Karena mungkin mereka terlalu banyak menghadapi masalah yang berat-berat, tapi kadang melupakan hal-hal yang esensial. Misalnya, untuk advokasi serikat tani membutuhkan kronologis kasus yang ditulis dengan baik. Kemampuan itu belum ada.

Artinya, peran-peran seperti itu bisa diisi oleh gerakan mahasiswa yang mau mendampingi petani. Bisa memberikan pendampingan dan pelatihan tentang bagaimana cara menulis dengan baik, cara bagaimana menghadapi pemerintah. Hal-hal yang sederhana, tapi justru petani sangat membutuhkan pencerahan-pencerahan yang seperti itu.

Sehingga mereka juga bisa merasa ada kawan, jaringan yang membantu, dan tidak merasa sendirian. Atau, misalnya sarjana-sarjana atau mahasiswa pertanian justru seharusnya kan melaksanakan program KKN yang tidak biasa. Tapi kirimlah ke kantong-kantong konflik untuk melihat masalah apa yang tengah dihadapi petani dan apa yang dapat dibantu. Kalau mau dibangun jaringan yang lebih solid dan kuat lintas sektor ya di situ korelasinya.

Pertanyaan terakhir, apa ada buku favorit?
Buku favoritku dulu, jaman kecil itu “Lima Sekawan” (Enid Blyton). hehe…

Pemimpin Redaksi Buruan.co.

KOMENTAR
You don't have permission to register