
Catatan Kecil Ihwal Hobi Menonton Film
Catatan Willy E. Cahyadi*
“The end of a picture is always an end of a life.”
(Sam Peckinpah)
“If may film makes one more person miserable, I’ve done my job.”
(Woody Allen)
Tiga tahun yang lalu, lebih atau kurangnya, saya menemukan hobi baru, yang saya nikmati dengan cukup serius—meskipun bagi orang lain hobi ini telah lama dilakoninya, barangkali. Menonton film: sebagai hiburan, proses kreatif, dan yang pasti sebagai dunia pribadi yang akrab sekaligus asing, yang sedih sekaligus bahagia, yang menyakitkan sekaligus menyenangkan—di mana di dalamnya saya menemukan diri saya yang lain terombang-ambing, dan pertama kalinya menikmati atau ditenggelamkan dalam sebuah cerita di depan mata.
Sebelumnya, hal-hal yang coba saya jadikan hobi atau pun kegiatan rutin telah saya tinggalkan karena satu dan lain hal, berkaitan dengan kesulitan waktu, minat, keseriusan, dan pemahaman saya tentang hal-hal itu.
Menonton film, akhirnya, membuat saya menjadi seseorang dengan pikiran, perasaan, pandangan, dan sikap yang baru. Kenapa film begitu mempengaruhi diri saya? Jawabannya jelas, saya sendiri masih mencarinya. Namun, saya dengan berulangkali memutar pikiran, telah menemukan beberapa jawaban yang setidaknya telah—dalam beberapa bagian—menjawab pertanyaan tersebut.
Menonton film sebagai hiburan
Layaknya hiburan lain, saya menikmati film ini salah satunya sebagai cara membunuh waktu luang. Lainnya sebagai penyegar ketika pikiran telah muak dengan realitas kuliah, kehidupan sehari-hari, dan kegiatan yang seringkali begitu-begitu saja.
Untuk bagian yang ini, hampir semua genre film bisa dinikmati. Mulai dari drama realis sampai kartun, animasi, dan fiksi sains. Saya pribadi mengoleksi dan menikmati semua genre film tersebut, meskipun tak bisa mengoleksi semua judul film dari masing-masing genre film yang ada. Sampai saat ini, jumlah koleksi film yang ada di hard disk komputer saya kurang lebih sekitar 500 sampai 600 judul (belum termasuk yang telah dihapus dan terhapus).
Di antara koleksi film-film itu, yang paling menghibur—bagi saya sendiri—antara lain: film-film kartun, sainsfiksi, drama komedi, komedi romantis dan beberapa film horor. Saya pikir, semua orang yang merasa sebagai penikmat film mungkin sekali melakukan apa yang saya lakukan dan merasakan apa yang saya rasakan tentang film sebagai hiburan ini.
Menonton film sebagai olah rasa
Saya, sebagai seseorang yang senang menulis, terutama puisi, merasa selalu butuh untuk mengolah perasaan dan batin. Yang kemudian, baik cepat atau lambat, akan saya tuliskan ke dalam puisi, sebagai hasil olahan kreatif yang baru. Namun, seringkali saya tidak menemukan ungkapan perasaan yang tepat untuk beberapa hal dalam puisi yang sedang saya tulis. Akhirnya, saya selalu mencari media olah rasa dan batin yang lain, selain pengalaman empiris saya tentunya.
Menonton film, salah satunya, telah saya jadikan sebagai alat mengolah rasa dan batin ketika ingin menuliskan atau mengungkapkan rasa dan pikiran yang tidak dialami oleh tubuh dan pikiran. Singkatnya, saya “mencuri” rasa pikiran dan batin yang disampaikan cerita dari sebuah film untuk saya olah menjadi perasaan baru, yang telah dibenturkan dengan empirisitas yang dialami tubuh, pikiran, dan perasaan saya sendiri.
Ketika proses pengolahan rasa dengan menonton film inilah, yang masih berjalan sampai sekarang, saya dapat menemukan dan menjelajah tempat-tempat yang belum pernah saya datangi; bertemu orang-orang yang telah tiada atau memang tak pernah ada; mengunjungi banyak kenangan; merasakan kesedihan, yang kadang-kadang, di luar kewajaran tapi sangat beralasan; dan, akhirnya menyadari bahwa dalam hidup hanya ada cinta yang menimbulkan kebahagiaan meskipun dalam bentuknya yang terburuk. Kemudian hal-hal itulah yang menjadi bahan dasar olahan yang nantinya akan mengalami pembenturan dan pencampuradukan dengan empirisitas saya pribadi.
Menonton film sebagai banyak kemungkinan
Saya menyadari hal lain, kemudian. Saya tidak dapat seterusnya menikmati film hanya sebagai hiburan, pun sebagai proses olah rasa. Maka pada itu saya mencari kemungkinan-kemungkinan lain dalam menonton film. Maksud saya: saya mencari kemungkinan-kemungkinan sikap, pikiran, sudut pandang, kebahagiaan, kesedihan, cara bertahan, cara mencintai, dan cara hidup itu sendiri untuk selanjutnya saya coba terapkan dalam kehidupan saya. Barangkali, inilah salah satu bentuk pencarian pribadi saya terhadap banyak hal, terutama cinta dan menyikapi berbagai aspek kehidupan.
Betapa tidak, seperti yang saya bahas sebelumnya di atas, bagi saya film selalu menawarkan banyak hal baru dengan bentuknya yang baru. Saya contohkan film Love In the Time of Cholera, Eternal Sunshine of the Spotless Mind, Forest Gump, Shawsank Redemption, 700 hari Pertarungan Kami Melawan Polisi (film drama Jepang), Malaikat Tanpa Sayap, Tokyo Magnitude 8.0, Memoirs of a Geisha, Fiksi, dan beberapa film lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Bagi saya pribadi, film-film tersebut telah memberikan penawaran-penawaran bentuk baru dalam mencintai dan menyikapi kehidupan. Meskipun, kadang-kadang, tawaran-tawaran itu utopis atau menghayal, begitu orang lain sering menyebutnya. Tapi saya lebih senang menyebutnya sebagai tawaran bentuk baru yang barangkali belum tercapai oleh manusia.
Menonton film sebagai kebahagiaan dan dunia “sendiri”
Bagian terakhir ini, saya sebut sebagai dunia “sendiri”, dunia di luar ruang dan waktu yang normal, di mana segala bentuk yang wajar kita temui di kehidupan sehari-hari dapat kita temukan sebagai kebalikannya. Dan di dalamnya, secara otomatis, saya menemukan kenyataan-kenyataan baru yang bahkan mungkin tidak akan pernah saya temukan dalam kehidupan nyata (untuk hal ini, sulit saya menjelaskannya. Karena menurut saya untuk merasakannya, pembaca perlu menjadi penikmat film juga—mengalami secara langsung kenikmatan asing ketika menonton film dengan serius, tidak cukup hanya membaca catatan kecil saya ini.).
Demikian catatan kecil ihwal hobi saya menonton film. Barangkali masih banyak hal yang belum saya temukan dan belum terjawab seutuhnya. Catatan kecil ini hanya sebagian dari ingatan, kebahagian, dan pandangan saya pribadi. Semoga dapat bermanfaat bagi kawan-kawan pecinta film lainnya. Salam. Selamat berbahagia.[]
*Penulis, penikmat film akut dan peminum kopi. Masih melanjutkan studinya di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UPI. Bergiat di ASAS UPI, Sekber Institute, dan Sekolah Kewajaran Bersikap.
Sumber ilustrasi: Galleryhip.com