Fb. In. Tw.

Bersepeda ke Cigugur, Senja yang Indah Tiba-tiba Terasa Memilukan

Beberapa hari belakangan cuaca cerah. Tiap sore, lembayung ungu dan merah bahkan terlihat bikin langit kian indah, kian megah. Saya tak tahu apakah di awal tahun ini musim hujan sudah berhenti atau sebenarnya tengah ngawahan (bahasa Sunda yang saya maknai sejenak menghilang untuk kemudian kembali mengguyuri bumi habis-habisan).

Sore yang cerah, pikir saya, sungguh keterlaluan jika dilewatkan dengan bermalas-malasan. Bertolak dari pikiran itu—pikiran yang sejatinya datang sehabis bangun tidur kesiangan—pada Sabtu (10/1/2015) saya pun berinisiatif untuk bersepeda.

Dari kontrakan saya di kampung Nyingkir, Desa Cihideung, kecamatan Parongpong, kabupaten Bandung Barat, saya ambil jalur ke arah utara, ke Cigugur. Meski nyaris dua tahun saya tinggal di Nyingkir, saya belum pernah berkunjung ke Cigugur. Hanya, lewat jalan kecil antara Nyigkir-Cigugur—di mana terhampar sepetak kebun bunga dan sayuran—saya berani menyimpulkan bahwa Cigugur adalah suatu tempat yang layak mendapat predikat kampung wisata.

Ya, dibanding dua kampung tetangganya—Kampung Gajah dan Kampung Daun—brand Kampung Cigugur akan terasa lebih jujur dan membumi jika kelak kampung itu menjadi daerah tujuan wisata.

Jalan menuju Cigugur banyak tanjakan. Di kiri jalan, tembok panjang berdiri menandakan batas tanah perkampungan dengan perumahan elit Setiabudhi Regensi; di kanan jalan, berjejer rumah-rumah penduduk berselang-seling dengan kebun, lapangan voli, juga pemandangan anggun gunung Tangkuban Parahu.

Saya, tentu saja ngos-ngosan melewati jalan kampung itu. Namun, setelah melewati perkampungan, kelelahan saya terbayar manakala mendapati berpetak-petak kebun sayur terhampar di ketinggian, di sela-selanya jalan datar tergelar. Dari jalan datar itulah—sambil menikmati segarnya angin, kebun sayur, dan sinar matahari—saya menyaksikan lanskap kota Bandung terbentang di selatan: indah, sekaligus padat dan berantakan.

Pemandangan kota Bandung (Bandung city view) memang telah lama menjadi daya tarik bagi siapa pun. Lantaran hal itu, amat wajar bila restoran-restoran dan vila-vila dibangun di ketinggian. Bahkan—atas nama upaya memenuhi kebutuhan manusia—tak jarang bangunan-bangunan tersebut didirikan di wilayah resapan air. Aneh juga rasanya, pemerintah terus memberikan izin bagi pembangunan semacam itu. Senja yang indah tiba-tiba terasa memilukan.

Sehabis jalan datar melenakan, setelah puas menikmati suasana perkampungan yang benar-benar nyaman, saya arahkan sepeda ke Ciwaruga. Sepanjang Jalan Cigugur-Ciwaruga—yang rusak karena bolongnya banyak—saya melewati beberapa perumahan yang sudah lama dihuni maupun tengah dibangun; saya membaca berbagai promo serta iklan-iklan menggiurkan mengenai perumahan-perumahan itu.

Saya pikir, jika dua-tiga tahun kemudian perumahan-perumahan itu penuh, lahan hijau yang tadi saya temui bisa saja tak ada lagi: wilayah resapan air makin berkurang, para petani mencari pekerjaan baru, generasi mendatang tak tahu “kehidupan agraris” leluhurnya. Tak mengapa—timpal pikiran saya yang lain—hal demikian sudah sering terjadi dan nyatanya hidup masih berlangsung wajar hingga saat ini.

Jalan terus menurun. Pelan-pelan saya tarik rem depan dan rem belakang bersamaan, tapi angin malah terasa kian kencang. Di antara kelebat rumah-rumah, plang demi plang, juga orang-orang berpapasan, terpikir, betapa yang paling berharga dari sebuah perjalanan—perjalanan seorang diri utamanya—tak lain cuma angin dan lamunan.

Sebelum mencapai pertigaan Ciwaruga, saya ambil jalan pintas ke Pondok Hijau—sebuah perumahan yang tak kalah elit dari Setiabudhi Regensi, terletak di belakang kampus UPI. Melihat rumah-rumah megah yang selalu tampak sepi, lalu menatap lagi lanskap kota Bandung di kejauhan, tiba-tiba terbayang, betapa semua yang kini tampak mengagumkan, mulanya bermula dari indahnya sebuah lamunan.

Ah, perjalanan—sesingkat apa pun ia—dengan cara tak terduga nyatanya kerap mampu memunculkan pikiran-pikiran segar yang—meski terasa menggelikan—kebenarannya cukup sulit terbantahkan.[]

Sumber foto: Dokumentasi pribadi Zulkifli Songyanan

Reporter buruan.co. Menulis puisi dan esai. Kumpulan puisi pertamanya "Kartu Pos dari Banda Neira" (Penerbit Gambang, 2017).

KOMENTAR
You don't have permission to register