
Di Balik Tirai Hitam
“Hai, nama kamu siapa?”
Perempuan cilik itu menyebutkan namanya sambil terisak-risak. Suara tangisnya sudah agak reda, tapi sedu sedannya masih terdengar jelas. Di balik tirai hitam, suara-suara teriakan terdengar kencang. Suara laki-laki saling berteriak. Semua orang berbicara, hingga saya tidak jelas mendengar satu kata pun.
“Sudah jangan takut.” Saya mencoba tersenyum. Mengajaknya tersenyum juga. Tidak jauh dari perempuan cilik itu berdiri, ibunya sedang berusaha menelepon. Lalu berjalan mendekati tirai.
Saya berada di sebelah ruangan auditorium Institut Français d’Indonésie (IFI) Bandung. Di samping auditorium yang sepi. Kursi-kursi yang seharusnya dipenuhi penonton, hanya jadi instalasi tontonan orang-orang yang datang. Melihat sebentar lalu pergi lagi. Seharusnya pementasan Monolog Tan Malaka “Saya Rusa Berbulu Merah” sudah dimulai, tapi kini saya berada di ruang kecil, mirip ruang rias. Ada cermin-cermin dan perkakas pendukung pementasan.
“Kamu kelas berapa?”
Kelas tiga, jawab perempuan cilik itu. Tangisnya sudah berhenti, tapi ketakutan masih ada di wajahnya.
Sebenarnya saya juga khawatir dengan situasi di balik tirai hitam itu. Selain perempuan cilik itu, ada anak laki-laki yang baru selesai makan. Seseorang menemaninya makan, seolah tidak peduli dengan situasi di balik tirai hitam. Syukurlah dia tidak terganggu acara makan malamnya.
Saya kembali menatap perempuan cilik itu.
“Jangan takut, ada Bubu di sini,” ucap ibu Perempuan Cilik itu. “Bubu akan jaga kamu. Mereka cuma bisa berteriak, tidak bisa diajak diskusi. Jangan dicontoh, ya. Itu buruk.” Si Ibu masih memeluk anaknya sambil berdiri, mengusap-ngusap Perempuan Cilik yang mulai menangis lagi.
Kurang lebih itu kalimat yang diucapkan Sang Ibu. Saya mendengarkan sambil mengusap-ngusap anak itu, mengajaknya tersenyum. Hingga akhirnya Perempuan Cilik itu bisa tersenyum.
“Mbak kru?” tanya ibunya.
“Bukan, saya penonton.” Saya tersenyum. Barangkali hanya ajakan tersenyum yang bisa saya lakukan. Suasana tidak mengenakkan dan gemuruh suara-suara belum juga reda.
Saya senang ketika Perempuan Cilik itu tersenyum.
“Kamu sekolahnya di mana?” Lagi-lagi saya mengajaknya bicara. Mengalihkan perhatiannya agar tidak memedulikan suara yang tak kunjung berhenti.
“Cipaku,” jawabnya singkat.
“Kalau sekolah diantar Ibu?”
Perempuan Cilik itu mengangguk. Ibunya sudah berjalan mendekati tirai hitam, menyingkapnya sedikit dan sepertinya mengambil beberapa foto.
“Kamu di sini saja. Eh, itu tali sepatunya betulin. Nanti kalau keinjek bisa jatoh,” aku menunjuk sepatunya.
Dia menurut. Duduk di kursi yang ada di sana lalu membetulkan tali sepatu.
Menurut ibunya, Perempuan Cilik itu kaget. Dia sempat berjalan hilir mudik di antara pengunjung yang hendak menonton pertunjukkan monolog teater sebelum pukul delapan malam.
Teriakan-teriakan yang keras itu yang membuatnya menangis.
“Sekarang bubar…,” ucap seseorang tegas.
Tirai hitam terbuka dan kami diminta pulang dengan tertib.
“Sampai jumpa lagi, ya….” Saya tersenyum dan mengusap pundak perempuan cilik itu.
Dia mengangguk, lalu melambaikan tangan. Kami beriringan berjalan keluar gedung IFI Bandung. Dia berjalan bersama ayah dan ibunya.
Semoga Perempuan Cilik itu benar-benar tidak trauma. Dikelilingi orang-orang berteriak yang tidak berpikir sedikit pun, bahwa ada anak-anak yang bisa menyerap setiap adegan buruk menjadi mimpi buruk.[]