Catatan dari Pengajian Budaya Beranda 57
Senin (14/12/2015), selepas Maghrib ketika hujan cukup lebat kami tiba di rumah yang berlokasi di Jalan Cilembang No. 57, Tasikmalaya. Di sana akan dilaksanakan Pengajian Budaya yang diselenggarakan oleh komunitas Beranda 57. Halaman rumah penyair Bode Riswandi yang cukup luas itu disulap menjadi panggung. Ketika hujan menyisakan gerimis, orang-orang mulai ramai berdatangan dan duduk berlesehan di depan panggung.
Pengajian Budaya kali ini bertemakan “Menulis Itu Keren”. Rangkaian kegiatannya pun sangat menarik. Mulai dari apresiasi seni hingga diskusi. Grup Nasyid Annisa Al-Mubarok menjadi sajian pembuka. Kemudian disambung oleh pembacaan puisi oleh Wit Jabo, pegiat teater Tasikmalaya.
Sajian yang tak kalah menarik ditampilkan oleh Karinding Awi Sala(r)sa featuring Roby Candil dan Kita Satukan Kekuatan (KSK). Band dari Unit Kegiatan Mahasiswa Musik Universitas Siliwangi ini mengaransemen ulang “Ticket to Ride” milik The Beatles ke dalam musik orkes ala Pancaran Sinar Patromak.
Setelah para pengisi acara usai pentas di panggung, kegiatan beranjak ke acara utama yakni diskusi. Dalam diskusi malam itu, Yopi Setia Umbara dan Tia Setiadi bertugas menjadi pemantik, dimoderatori oleh Zulkifli Songyanan. Yopi mendapat giliran pertama untuk berbicara. Mulailah Yopi bercerita awal mula bersinggungan dan bergelut dengan dunia sastra dan kepenulisan.
Yopi mengaku bahwa sebelumnya tak pernah terpikir akan menjadi penulis. Ia lahir di lingkungan kampung buruh yang jauh dari tradisi aksara dengan angan-angan masa kecil menjadi pemain Persib Bandung. Awal mula ketertarikannya terhadap menulis, khususnya menulis karya sastra, berawal dari kegiatan Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) UPI yang selalu ia ikuti ketika mahasiswa.
Seperti pengalamannya bersama sepakbola, kadang Yopi pun pernah menghadapi kegagalan dalam menulis. Bukannya menyerah, ia justru semakin semangat untuk belajar menulis dengan lebih baik. Akhirnya, namanya sebagai penyair mulai muncul di beberapa media massa, hingga puisi membawanya terbang ke tempat-tempat yang juga tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Namun begitu, bagi Yopi menulis bukan sekadar untuk tampil di media massa, melainkan untuk lebih mengenal diri sendiri. Ia juga mengakui banyak kebahagiaan ia dapatkan dari menulis, “Sepuluh tahun lebih saya belajar menulis. Telah begitu banyak kebahagiaan saya dapatkan dari kegiatan menulis, di antaranya dapat berangkat ke banyak tempat, juga bertemu banyak kawan. Dan, perlahan-lahan saya pun mulai mengenali diri sendiri.”
Kemudian giliran Tia Setiadi yang memantik forum diskusi. Dengan penuh semangat ia mengungkapkan bahwa sastra adalah cara melihat dunia melalui sudut pandang lain dan tidak umum. Tia juga bercerita tentang pengalamannya dalam membaca berbagai karya penulis Barat dan Eropa. Menurutnya, banyak dari karya penulis Eropa pada intinya menceritakan esensi dari peribahasa Sunda “Cikaracak ninggang batu laun-laun jadi legok.”
Tia mengangkat novel Sang Alkemis karya Paulo Coelho sebagai bahan diskusinya. Ia juga menjelaskan bagaimana novel ini bisa berhasil menjadi salah satu novel terlaris di dunia. “Sejak manusia pertama hingga manusia terakhir, hanya ada dua tema universal: yang pertama adalah cinta dan yang kedua ialah petualangan. Kedua tema tersebut dimiliki oleh Sang Alkemis, sekalipun ceritanya tidak begitu kompleks,” ujarnya.
Malam semakin larut, gerimis perlahan reda. Kegiatan berlanjut dengan tanya jawab yang sangat seru. Setiap penanya memiliki perhatian lebih terhadap proses kreatif kedua pemantik dalam menulis. Seperti pengarang yang paling mempengaruhi dalam menulis, proses menemukan gaya atau ciri khas, dan sebagainya.
Pengajian Budaya Beranda 57 ditutup oleh sajian Karinding Awi Sala(r)sa yang sangat menghibur. Dari pengajian kali ini banyak sekali yang dapat dibawa pulang. Salah satunya bahwa menulis itu lebih dari keren. Menulis adalah bagian dari kegembiraan.[]

