Fb. In. Tw.

Konferensi Mahasiswa Asia-Afrika 2015: Semangat AARC

Lima hari sudah lewat dari hari terakhir Konferensi Mahasiswa Asia-Afrika (KMAA) 2015 yang diadakan dari tanggal 29 April hingga 2 Mei 2015. Konferensi ini adalah rangkaian acara terakhir dari Peringatan 60 tahun Konperensi Asia-Afrika (KAA) yang diselenggarakan di Gedung Merdeka Bandung. KMAA adalah sebuah portofolio membanggakan, baik bagi kota ini maupun bagi saya sendiri.

Satu bulan sebelum pelaksanaan KMAA 2015, saya diberi amanat oleh Kang Desmond Satria dan Adew Habtsa untuk menjadi delegasi Indonesia di dalam konferensi tersebut. Saya diamanatkan untuk membawa semangat Asian-African Reading Club (AARC) dan menjadi perwakilan kawan-kawan AARC menyuarakan spirit KAA dan spirit Bandung kepada para delegasi Asia-Afrika. Tentu ini adalah amanat yang berat sekaligus membanggakan bagi saya pribadi.

Sebelum mengikuti KMAA, setiap delegasi ditempatkan dalam salah satu dari 6 komite konferensi[1] dan menulis sebuah esai mengenai permasalahan yang diajukan dalam komite itu. Saya sendiri terpilih ke dalam Komite 2: Kepemimpinan dalam Mempromosikan Pendidikan Inklusi. Maka, saya menuliskan esai mengenai AARC sebagai sebuah ruang pendidikan inklusi informal. Selama berada dalam komunitas ini, saya menyadari bahwa semangat yang ingin dibagi oleh AARC, yaitu keinginan baik, egaliter, kerjasama, dan hidup berdampingan secara damai, adalah tujuan yang juga ingin dibangun dalam sebuah pendidikan inklusi. Oleh karena itu, pesan-pesan inilah yang kemudian saya sampaikan dalam Konferensi Mahasiswa Asia-Afrika 2015.

***

Welcoming dinner bagi para delegasi KMAA dilakukan pada 29 April malam di Hotel Papandayan. Semua delegasi disambut dengan hangat oleh semua pihak yang terkait dan dihibur oleh penampilan musik Reagge Ras Muhammad. Selain itu, para delegasi juga disuguhi berbagai jenis makanan, baik dari Asia maupun dari Afrika.

Konferensi dimulai keesokan harinya. Semua delegasi bergerak dari hotel tempat mereka menginap menuju ruang utama Gedung Merdeka. Di sana dilakukan pembukaan konferensi dengan berbagai sambutan formal. Salah seorang di antara mereka yang berpidato di depan para delegasi adalah Pak Emil Salim. Beliau adalah saksi hidup dan salah satu delegasi Indonesia yang mengikuti KMAA 1956[2].

Acara kemudian dilanjutkan dengan kuliah umum yang diisi oleh beberapa pembicara, dan akhirnya dibuka oleh Presiden Konferensi, Yasmin. Ia memperkenalkan enam chairman yang akan memimpin konferensi di setiap komite. Nantinya, setiap chairman komite akan didampingi oleh seorang ­­co-chairman dan seorang raporteur. Para delegasi negara-negara Asia-Afrika akan bertindak sebagai partisipan konferensi yang akan mendiskusikan masalah dan menyusun draft komunike akhir.

Suasana di ruang konferensi 1. (Foto: Pramukti)

Suasana di ruang konferensi 1. (Foto: Pramukti)

Setelah makan siang, di dalam ruang konferensi acara dilanjutkan dengan kuliah khusus komite. Di komite 2, kami mendapat kuliah mengenai Education to Know Thyself dari Alfathri Adlin. Beliau menyampaikan pentingnya pendidikan adalah untuk mengenal diri sendiri, seperti yang diamanatkan oleh Socrates beratus-ratus tahun lalu, Gnothi Seauton. Kemudian, konferensi pun dimulai. Chairman dibantu co-chairman menyampaikan peraturan konferensi dan tujuan yang ingin dicapai selama dua hari tersebut. Saya pribadi belum pernah mengikuti konferensi semacam itu, sehingga itu menjadi hal yang menarik buat saya.

Jelas tidak mungkin saya ceritakan seluruh proses konferensi di halaman yang terbatas ini, namun keseruan di dalamnya bisa saya ceritakan di lain tempat. Setiap orang berani mengajukan ide-idenya mengenai pendidikan inklusi yang ideal. Rata-rata, orang Asia di dalam komite 2 mengemukakan bagaimana sistem pendidikan yang tepat, bagaimana kompetensi guru, dan bagaimana peran orang tua serta masyarakat dalam mengembangkan pendidikan inklusi. Sedangkan orang Afrika, lebih dominan menyuarakan untuk membuat hukum dan kebijakan yang tepat dalam mengembangkan pendidikan inklusi. Tentu perlu kajian lebih mendalam untuk melihat mengapa terjadi kecenderungan semacam ini di dalam konferensi itu.

Yang pasti, bagi saya pribadi menyumbangkan sebuah ide dan diterima oleh seluruh delegasi adalah sebuah kebanggaan luar biasa. Apalagi di dalam forum internasional semacam itu. Saya mengemukakan bahwa untuk mengembangkan sebuah ruang pendidikan inklusi berbasis kearifan lokal, kita semua bisa membangun sebuah komunitas sosial seperti Asian-African Reading Club. Nilai-nilai keinginan baik, egaliter, kerjasama, dan hidup berdampingan secara damai, sudah menjadi dasar di dalam kehidupan orang Asia dan Afrika. Oleh karena itu, usul tersebut mendapat dukungan baik dari komite dan dijadikan salah satu poin dalam komunike akhir Komite 2: “We should be making a social community like Asian-African Reading Club”.

***

Penutupan konferensi dilakukan keesokan harinya, setelah melewati sesi penyusunan draft komunike akhir dan sesi amandemen. Beruntung Komite 2 tidak memerlukan sesi amandemen, karena draft yang dihasilkan sudah final. Draft komunike tersebut dibacakan di hadapan para delegasi dari komite lain di ruang utama Gedung Merdeka. Acara ditutup dengan penandatanganan komunike akhir kolektif dari seluruh komite oleh perwakilan Forum Studi Asia-Afrika dan Presiden Konferensi Mahasiswa Asia-Afrika.

Rangkaian acara masih berlanjut dengan adanya penurunan bendera-bendera Asia-Afrika yang menyebabkan kemacetan luar biasa, disusul dengan Asian-African Night yang dipersembahkan oleh Junior Chamber International Indonesia, dan keesokan harinya para delegasi diajak cultural trip ke Alam Sentosa.

Pekerjaan masih belum selesai. Komunike akhir tidak dibuat hanya sebagai sebuah deklarasi, tetapi sebagai sebuah pekerjaan rumah kita bersama. Komunike akhir adalah langkah-langkah yang harus dilakukan dan dilaksanakan untuk membangun Asia-Afrika menjadi lebih baik. Jika dalam komunike akhir itu AARC menjadi salah satu rujukan dalam membangun ruang pendidikan yang memiliki keinginan baik, egaliter, mampu bekerja sama, dan menginginkan hidup berdampingan secara damai, maka itulah yang harus dibangun di daerah lain di Asia-Afrika.[Bandung, 7 Mei 2015]

[1] Keenam komite memiliki tema khusus untuk dibahas oleh setiap delegasi yang berada di dalamnya. Dalam KMAA, setiap komite berisi delegasi-delegasi dari berbagai negara dari Asia-Afrika dan mendiskusikan permasalahan yang ada dalam komitenya masing-masing. Keenam komite itu akan membahas mengenai: Kepemimpinan untuk Mempromosikan Nilai-Nilai Budaya Asia-Afrika, Kepemimpinan untuk Mempromosikan Pendidikan Inklusi, Kepemimpinan untuk Mempromosikan Sosiopreneursip, Kepemimpinan untuk Mempromosikan Media sebagai Pilar Proses Demokratisasi, Kepemimpinan untuk Mempromosikan OpenSource Demi Kemerdekaan Digital di Asia-Afrika, dan Kepemimpinan untuk Mempromosikan Jaringan Global Mahasiswa Asia-Afrika.

[2] Konferensi ini adalah KMAA pertama dalam sejarah, yang kemudian terhenti selama 59 tahun. KMAA baru terlaksana kembali tahun ini sebagai Konferensi Mahasiswa Asia-Afrika kedua.

Pegiat Asian African Reading Club-Museum Konferensi Asia Afrika dan menglola blog pribadi pramredesign.wordpress.com

KOMENTAR
You don't have permission to register