
Ronggeng dalam Cengkeraman Militer Jepang
“Tidak lagi. Tidak ada seorang pun yang dapat merebut kemerdekaan dari Maesaroh. Ronggeng dusun Kulawu,” ucap Maesaroh sambil menggenggam pistol semi-automatis jenis nambu tipe 14. Pistol pabrikan Jepang itu ditembakkan tiga kali. Setelah itu, lampu padam. Tanda berakhirnya pementasan.
“Ronggeng Kulawu” dipentaskan pada Minggu (4/11/18) malam di Amphitheater Selasar Sunaryo Art Space, Bandung. Menampilkan Maudy Koesnaedi sebagai Maesaroh dan Andi Kanemoto sebagai Kapten Kazuo Ito. Pementasan ini diselenggarakan oleh Teater Ronggeng Kulawu dan disutradarai oleh Wawan Sofwan. Naskahnya ditulis oleh ED Jenura. Sebelumnya, “Ronggeng Kulawu” juga pernah dipentaskan di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta pada Agustus lalu.
“Ronggeng Kulawu” mengisahkan seorang ronggeng dari dusun Kulawu bernama Maesaroh pada masa pendudukan militer Jepang. Sebelum diambil gundik oleh Kapten Kazuo Ito, Mae dipaksa melayani berahi serdadu-serdadu Jepang. Mae adalah satu dari sekian banyak korban perbudakan seks di masa pendudukan militer Jepang.
Perempuan pribumi dalam semesta kolonialisme mendapatkan penindasan yang berkali-kali lipat. Tidak hanya ditindas oleh budaya patriarki yang lahir dari sistem sosial pribumi yang feodal, juga sering menjadi korban kesewenang-wenangan kekuasaan kolonial.
Penggambaran budaya patriarki misalnya dituturkan oleh Mae bahwa Abah hanya mengizinkannya untuk bersekolah cukup sampai bisa membaca dan menulis. Dengan dalih bahwa perempuan tidak baik bersekolah tinggi-tinggi. Mae seolah tidak bisa menentukan masa depan bagi dirinya. Segala keputusan tentang hidupnya diambil alih oleh ayahnya.
Namun, tidak selamanya Mae menggantungkan masa depan hidupnya pada keputusan laki-laki. Ia sendiri mampu menjalani cita-cita hidupnya sebagai ronggeng. Ronggeng dalam pandangan Mae adalah kesenian yang mampu menghidupkan suasana sekaligus ekspresi atas cinta dan rasa syukur pada alam. Mae juga lebih memilih untuk kembali menjadi ronggeng setelah pernikahannya dengan seorang mandor tidak menghasilkan kebahagiaan.
Di bawah langit kolonialisme Hindia Belanda, perempuan pribumi sering dijadikan gundik oleh pejabat pemerintahan dan penguasa perkebunan Eropa. Sementara tentara Jepang seringkali memperkosa atau menculik gadis pribumi untuk dibawa ke rumah-rumah pelacuran yang khusus melayani berahi dari serdadu rendahan hingga para perwiranya. Kedatangan militer Jepang yang disebut-sebut punya misi pembebasan Asia Raya dari kolonialisme Eropa hanyalah versi lain dari penjajahan.
Di awal monolog, Mae dengan lugu dan ceria menceritakan perjalanan hidupnya sebagai ronggeng hingga perjumpaannya dengan Kapten Kazuo Ito. Pada bagian selanjutnya, air muka dan nada bicaranya menjadi getir kala menuturkan pengalamannya dalam cengkeraman militer Jepang. Bagaimana ia diangkut ke rumah pelacuran. Diperkosa siang dan malam dengan brutal yang tidak jarang dibarengi dengan siksaan fisik.
Kondisi itu kemudian berubah, ketika Mae ‘diselamatkan’ dan dijadikan gundik oleh Kapten Kazuo Ito. Bagi Kapten Kazuo Ito, Mae punya kemiripan dengan ibunya di Jepang. Kondisi ini mungkin jauh lebih baik bagi Mae. Sekalipun hal ini tidak melepaskannya dari cengkeraman Jepang. Juga kenyataan bahwa masyarakat sebangsanya memalingkan wajah darinya dan menganggapnya sebagai pengkhianat dan asusila.
Mae yang mulanya “Saya tidak tahu apa-apa,” ketika ditanya tentang arti kemerdekaan, mulai menaruh simpati terhadap gerakan sebangsanya menuntut kemerdekaan. Sementara Kapten Kazuo Ito tengah berpergian untuk menjalankan tugas, Mae memasok makanan untuk kaum pergerakan. Kegiatan Mae ini terendus oleh Sersan Hiroshima. Mae dibawa ke barak dan diperkosa.
Baca juga:
– First Man: Perjalanan Ruang Angkasa dan Ruang Batin Neil
– Dionysus: Pertarungan Kaum Beriman dengan Penguasa
Sekalipun naskah yang ditulis ED Jenura ini adalah fiksi, kisah “Ronggeng Kulawu” berangkat dari fakta sejarah. Pramoedya Ananta Toer pernah mengangkat kisah serupa dalam buku Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer (KPG, 2001). Pramoedya menceritakan bagaimana Jepang mengiming-imingi gadis pribumi berusia 13-17 untuk disekolahkan di Jepang. Kenyataannya, mereka dikirim untuk menjadi Jugun Ianfu di garis depan peperangan.
Tidak hanya dari Indonesia, militer Jepang menculik gadis-gadis dari Korea, Tiongkok, Taiwan, Malaysia, Filipina, Indonesia, dan Timor Leste. Mengutip tirto.id, menurut Yoshiaki Yoshimi, diperkirakan ada sekitar 50.000-200.000 perempuan yang diculik dan dijadikan budak seks. Sampai hari ini, pemerintah Jepang masih enggan meminta maaf kepada para korban kejahatan perang ini.
Lewat pementasan “Ronggeng Kulawu”, kita dapat menyimak suara dan tuturan korban dari kesewenang-wenangan penguasa. Seperti yang diungkapkan Mae, tragedi kemanusiaan yang menimpa dirinya bermuara dari penjajahan. Hanya dalam semesta kolonialisme martabat manusia tak ada harganya.[]