
Puisi-Puisi Wida Waridah
Kunyalakan Sebuah Radio
:Dorothea Rosa Herliany
kunyalakan sebuah radio. seseorang mengirim lagu
rindu merambat dari telinga ke hatimu
cuaca kota dirapal serupa mantra mengurai
kemacetan jalanjalan
kunyalakan sebuah radio sebab dada kerontang
serupa kemarau merekahkan tanah ladang
serupa api membakar hutanhutan
serupa kau menantinya, namun ia tak kunjung datang
kunyalakan sebuah radio saat wabah merajalela
menebar bau kematian dimanamana
menebar ketakutan di pelosok dunia
mengirim kengerian ke dalam sesak dadamu
radio menyala. ada yang mengirim salam di kejauhan
di antara deru mesin kulkas dan detak jam dinding
di penghujung malam. ketika kau begitu merana
sebab selalu ada yang tak bisa dijelaskan dengan katakata.
2019-2020
Jika Esok
jika esok salah satu di antara kita terluka
kau dan aku dipaksa menjaga jarak
aku ingin kau tetap seperti biasa
memeluk gelisahku dengan tawamu
mengelus amukku dengan senyummu
merengkuh sedihku dengan candamu
meski kita tak pernah bisa menduga
apa yang akan terjadi esok lusa
tetaplah seperti biasa
kata-kata kujahit menjadi kain
kesabaran yang perlahan
menutup tubuhku dalam balutan:
kafan.
2019-2020
Memadamkan Cemburu
bagaimana caranya memadamkan
cemburu yang terlanjur membakar dada
membakar sajak-sajak yang menyalak
dalam kepala. membakar lembar-lembar
catatan di masa silam
seluruh kota meluruhkan warna
menyisakan hitam dan putih belaka
lautan tak lagi mengirim hujan
hutan berhenti bernyanyi
gunung menyemburkan abu luka
bagaimana caranya memadamkan
cemburu yang terlanjur membakar dada
membakar riang tawa anak-anak
kamar merah muda. lukisan
di dinding tinggal rangka
ada yang bangkit dari balik bilik
kesunyian mengendap-endap
kesepian menikam dari belakang
sebab rumah menjelma medan
pertempuran.
2019
Kulupakan Namamu
kulupakan namamu
hari-hari bau busuk penuh kutuk
minggu-minggu berselimut murung
bulan-bulan kesumat para pengkhianat
tahun-tahun kelam kegelapan
kulupakan namamu
kulupakan warna-warna merah jambu
berjalan tegak menantang takdir paling getir
mengubur kesumat yang kadung jadi dendam
menyembunyikan airmata ke dalam tawa
namun persimpangan hidup menuntunku
menemukan namamu dalam langkah paling lirih
membiarkan kita berhadapan
masa lalu adalah waktu paling candu, katamu
sedang aku, lebih mencintai hari ini juga esok
kini, kulupakan lagi namamu
nama yang akan kulupakan dan terus kulupakan
meski seribu persimpangan mengirim kembali namamu
sebab masa depan tak punya tempat bagi namamu
maka kulupakan lagi namamu.
2019