Fb. In. Tw.

Puisi-Puisi Wida Waridah

Kunyalakan Sebuah Radio
:Dorothea Rosa Herliany

kunyalakan sebuah radio. seseorang mengirim lagu
rindu merambat dari telinga ke hatimu
cuaca kota dirapal serupa mantra mengurai
kemacetan jalanjalan

kunyalakan sebuah radio sebab dada kerontang
serupa kemarau merekahkan tanah ladang
serupa api membakar hutanhutan
serupa kau menantinya, namun ia tak kunjung datang

kunyalakan sebuah radio saat wabah merajalela
menebar bau kematian dimanamana
menebar ketakutan di pelosok dunia
mengirim kengerian ke dalam sesak dadamu

radio menyala. ada yang mengirim salam di kejauhan
di antara deru mesin kulkas dan detak jam dinding
di penghujung malam. ketika kau begitu merana
sebab selalu ada yang tak bisa dijelaskan dengan katakata.

2019-2020

 

Jika Esok

jika esok salah satu di antara kita terluka
kau dan aku dipaksa menjaga jarak
aku ingin kau tetap seperti biasa

memeluk gelisahku dengan tawamu
mengelus amukku dengan senyummu
merengkuh sedihku dengan candamu

meski kita tak pernah bisa menduga
apa yang akan terjadi esok lusa
tetaplah seperti biasa

kata-kata kujahit menjadi kain
kesabaran yang perlahan
menutup tubuhku dalam balutan:
kafan.

2019-2020

 

Memadamkan Cemburu

bagaimana caranya memadamkan
cemburu yang terlanjur membakar dada
membakar sajak-sajak yang menyalak
dalam kepala. membakar lembar-lembar
catatan di masa silam

seluruh kota meluruhkan warna
menyisakan hitam dan putih belaka
lautan tak lagi mengirim hujan
hutan berhenti bernyanyi
gunung menyemburkan abu luka

bagaimana caranya memadamkan
cemburu yang terlanjur membakar dada
membakar riang tawa anak-anak
kamar merah muda. lukisan
di dinding tinggal rangka

ada yang bangkit dari balik bilik
kesunyian mengendap-endap
kesepian menikam dari belakang
sebab rumah menjelma medan
pertempuran.

2019

 

Kulupakan Namamu

kulupakan namamu
hari-hari bau busuk penuh kutuk
minggu-minggu berselimut murung
bulan-bulan kesumat para pengkhianat
tahun-tahun kelam kegelapan

kulupakan namamu
kulupakan warna-warna merah jambu
berjalan tegak menantang takdir paling getir
mengubur kesumat yang kadung jadi dendam
menyembunyikan airmata ke dalam tawa

namun persimpangan hidup menuntunku
menemukan namamu dalam langkah paling lirih
membiarkan kita berhadapan
masa lalu adalah waktu paling candu, katamu
sedang aku, lebih mencintai hari ini juga esok

kini, kulupakan lagi namamu
nama yang akan kulupakan dan terus kulupakan
meski seribu persimpangan mengirim kembali namamu
sebab masa depan tak punya tempat bagi namamu
maka kulupakan lagi namamu.

2019

Post tags:

Lahir pada tanggal 29 Juni 1982. Mencintai puisi. Menyukai kopi. Menulis puisi, cerpen, esai, dan naskah drama di waktu-waktu senggangnya sebagai ibu rumah tangga. Laila dan Laki-Laki Penghitung Gerimis (Ultimus, 2015) adalah buku kumpulan cerpen tunggalnya. Risalah Mainan (Basabasi, 2019) adalah buku kumpulan puisi tunggalnya. Tinggal di Ciamis.

KOMENTAR
You don't have permission to register