
Memasuki Ruang Kosong Berisi Era “Cyberbullying”
Catatan Ratu Selvi Agnesia, penulis lepas seni dan budaya.
Mungkin bagi Leonard Kleinrock, ilmuwan asal Amerika yang berhasil memecahkan sebuah kode yang disebut dunia maya, atau tepatnya “internet” pada 29 Oktober 1969, diawali dengan tujuan untuk mempermudah manusia untuk menikmati dunia menjadi lebih mengecil (small world).
Dunia yang lebih terjangkau, mendapat informasi lebih mudah, berkomunikasi lebih instan dan dunia seolah menjadi seukuran buah jeruk. Tetapi siapa yang mengira bila tujuan baik dan mulia dari kejeniusan penemuan besar seorang professor—yang dijuluki bapak internet dunia ini—akan diikuti oleh kejeniusan lainnya, selain menciptakan dunia lainnya yang penuh kompleksitas.
Sama seperti handphone dengan memanfaatkan frekuensi udara, internet pun menggunakan udara sebagai media, dengan kata lain udara yang terlihat kosong ini ternyata berisi. Sebuah “ruang kosong yang berisi”, hanya aku, kamu, dia, saya di depan layar laptop, komputer, handphone.
Tapi, di antara ruang ini terdapat Google, Yahoo, Facebook, Twitter, Path, Youtube dan berbagai elemen-elemen program yang memasuki dunia yang begitu kompleks. Penuh keuntungan yang memudahkan seiring dengan penuh resiko. Dan percayalah, saat ini memasuki tahap berbahaya bagi manusia dan tergantung manusianya.
Jejaring sosial sebagai elemen penting dari ruang kosong yang berisi ini diluncurkan untuk memberikan kemudahan dalam berkomunikasi, silaturahmi dan saling mengenal hingga tak terbatas sampai ke berbeda benua. Selanjutnya, dipandang dari sudut kajian antropologi fenomena interaksi sosial manusia dan “dunia mengecil” untuk “saling terkoneksi” ini bergeser pada “era cyberbullying”.
Cobalah perhatikan status di Facebook, Twitter atau Path kita masing-masing, tentu tidak akan terlepas dari fenomena cyberbullying ini, ekspresi tematiknya tentu bukan secara fisik seperti kebanyakan dalam dunia nyata, tetapi bully di sini dari bentuk kata-kata hingga visual gambar kasar, seksual, karikatural hingga satir.
Bullying berasal dari kata ‘bull’ (bahasa Inggris yang berarti sapi jantan yang suka mengendus, mengancam, menakuti, atau memberi tanda). Di dalam bully ada pihak yang ditindas, lalu diam atau yang balik menindas.
Jangan terlalu jauh memperhatikan kasus cyberbullying di negara lain, karena sekali ketik “bullying di jejaring sosial” maka akan muncul puluhan kasus nyaris bunuh diri sampai bunuh diri asli karena bullying. Kita perhatikan negeri kita Indonesia dan jejaring sosial kita. Setiap hari, kita akan menemukan entah di Facebook, Twitter, Path atau jejaring sosial lain dengan ungkapan bullying.
Siapapun bisa melakukannya, sapapun bisa menjadi seorang kritikus yang pedas, dari berbagai usia remaja hingga dewasa, dari berbagai profesi sastrawan, politikus sampai ibu rumah tangga. Dari kasus 33 tokoh sastra, pemilihan presiden, hingga kita menemukan bullying terhadap kota-kota di Indonesia dari Jogja, Bandung, Jakarta, Bekasi. Akibatnya pun yang melakukan bullying dibalas bullying lebih besar oleh warga dan penghuni daerah tersebut, bahkan di luar penghuni daerah tersebut ikut mem-bully.
Fenomena ini sebenarnya menjadi sangat berkembang, sejak Indonesia merasa menemukan kebebasan berekspresi pasca reformasi. Ketika runtuhnya masa Orde Baru yang refresif, munculah reformasi dengan mengagungkan mimpi demokrasi. Dengan sesukanya, tanpa dipikir dan dirasa kembali kita bahkan mampu melakukan bullying pada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (yang tentunya tidak mungkin dilakukan masa Orde Baru).
Ungkapan klasik bila tekonologi seperti dua mata pisau memang selalu tepat, di satu sisi menjadi menarik kita dapat menyuarakan opini dan pendapat kita. Namun di sisi lain, ketika kita mem-bully seseorang, seringkali tidak menyisihkan kebenaran lain dan seolah mengikuti arus terhadap yang dipandang tidak baik bagi kebanyakan masyarakat jejaring sosial.
Kita bisa membayangkan bila terjadi sesuatu yang dianggap salah, kritik yang dahulu dilontarkan atas ketidakbecusan pemerintah, kenakalan artis, politik sastra dan seni, hingga persoalan percintaan remaja bisa dilontarkan langsung oleh siapapun dalam hitungan setiap jam atau menit. Tidak lagi seperti media cetak yang misalnya dahulu memberitakan seminggu atau sebulan sekali.
Bahkan, masyarakat jejaring sosial kita cukup unik, ketika baru-baru ini Mark Zuckerberg datang ke Indonesia dan tampil blusukan di publik dengan Presiden baru Indonesia, Joko Widodo. Banyak pula yang melakukan bully terhadap Mark di status Facebook berbau rasisme dan motif politis hingga ekonomi, padahal mereka mem-bully penemu Facebook sendiri dan juga mem-bully Presiden sendiri.
Sebagai bagian dari masyarakat yang mengangungkan globalisasi dan tidak ingin disebut ketinggalan jaman, sulit untuk menemukan solusi dari fenomena bullying yang membuat manusia sadar menjadi gerah kecuali pada revolusi mental untuk berpikir dan bertindak positif.
Seseorang yang melakukan kesalahan, atau terlibat kesalahpahaman dan terlibat aktif di jejaring sosial harus siap mental untuk di-bully minimal sejam sekali, atau lebih baik menonaktifkan jejaring sosialnya.
Mungkin, ada baiknya kita kembali ke pepatah lama “Mulutmu Harimaumu” perlu untuk pengendalian, penyaringan dari setiap perkataan dan ekspresi perasaan yang kasar dan menyakiti, atau bersiaplah ungkapanmu yang kasar itu akan menerkam kita balik.[]
Sumber foto: Facebook/Mark Zuckerberg