
Frekuensi Adalah Sumber Daya Alam untuk Publik
Sumber daya alam terdiri dari tanah, air, udara dan semua yang terkandung di dalamnya harus dijaga dan dilindungi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (UUD 45 pasal 33 ayat 2).
Frekuensi adalah bagian dari sumber daya udara, selain spektrum frekuensi yang penting dalam udara untuk manusia adalah oksigen dan karbon. Tanpa oksigen manusia munngkin tidak bisa hidup. Jadi udara dan frekuensi merupakan kekayaan sebuah bangsa.
Frekuensi merupakan sumber daya alam terbatas sama seperti sumber daya alam yang ada di tanah dan juga air. Kalau tidak dimanfaatkan dengan benar bisa merugikan warga negara Indonesia. Karena terbatas maka harus dimanfaatkan untuk kepentingan negara.
Yang dimaksud dengan negara di sini adalah manusia yang membentuk adanya negara. Misal secara fungsi, di dalam negara itu dihidupkan oleh adanya rakyat atau masyarakat sipil, adanya pemerintah atau penyelenggara Negara, baik itu eksekutif, legislatif, dan yudikatif, dan ada juga kaum bisnis yang menumbuhkan perekonomian sebuah negara.
Persoalan muncul ketika cara pandang pemerintah sebagai pengelola sumber daya alam berbeda dengan masyarakat dan juga bisnis. Walaupun dalam banyak hal, mungkin hampir semua, urusan negara ini dikendalikan oleh bisnis dan pemerintah. Sedang publik atau masyarakat hanya dijadi penonton dan konsumen, bukan dipandang sebagai warga negara yang punya hak terhadap sumber daya yang ada.
Begitupun dengan pengelola sumber daya alam frekuensi. Hari ini hanya menguntungkan segelintir orang dan rakyat hanya dijadikan konsumen. Frekuensi adalah gelombang elektromagnetik yang berfungsi menjadi media penghantar sinyal.
Frekuensi digunakan dalam berbagai bidang, mulai dari penyiaran baik radio maupun televisi, sambungan telepon, handphone, smartphone, penerbangan, militer, hingga satelit. Berada di udara secara tak kasat mata.
Pertanyaannya bisakah rakyat mengelola frekuensi ini? Secara dasar hukum negara Indonesia yakni UUD 45 harusnya semua warga negara Indonesia bisa memanfaatkan frekuensi ini. Tapi, praktiknya dibikin aturan supaya yang bisa menggunakan itu bukan hanya kelompok bisnis yang punya modal kapital besar saja.
Contoh yang paling mudah ditemui adalah penggunaan frekuensi oleh televisi, betulkah sudah membuat makmur dan sejahtera warga Indonesia. Jawabannya bisa dipastikan belum, malahan sebaliknya justru hanya menguntungkan para pemilik televisi tersebut. Selain keuntungan ekonomi juga keuntungan politik. Untuk bisa menggunakan frekuensi ini diperlukan izin.
Misalnya, televisi. Dalam mengajukan izin, stasiun televisi harus menjelaskan visi siarannya, kemampuan ekonominya, dan lain sebagainya. Bisa dipelajari khusus dalam peraturan yang mengaturnya. Poinnya adalah aturan tersebut hanya menguntungkan yang punya modal kapital besar saja.
Oh ya, Izin penggunaan frekuensi ada masa berlakunya. Untuk radio, izin berlaku untuk lima tahun, dan untuk televisi berlaku untuk sepuluh tahun. Izin ini harus diperbaharui ketika masa berlakunya berakhir.
Tapi, pada praktiknya banyak pemilik dan pengelola jarang dievaluasi, seolah-olah sudah jadi hak milik pribadi. Padahal dalam konteks ini, pengusaha radio dan TV hanya meminjam frekuensi, tidak memilikinya. Izin mereka sewaktu-waktu dapat ditarik kembali kalau menyalahgunakan penggunaan frekuensi.
Akan saya tunjukan banyak penyalahgunaan frekuensi tapi tetap dibiarkan oleh pemerintah, baik itu oleh KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) maupun oleh Kominfo. Misal satu lembaga penyiaran televisi tetap siaran walaupun tidak punya izin siaran atau belum memperpanjang izin siaran.
Contoh lain, adanya jual-beli frekuensi. Ini terjadi ketika sebuah stasiun TV bangkrut atau hampir bangkrut, kemudian dijual kepada pihak lain. Ini terjadi pada perubahan Lativi menjadi TV One, TV 7 menjadi Trans 7, Space Toon menjadi Net TV, atau Indosiar yang dibeli EMTEK (holding company dari SCTV).
Seharusnya, karena frekuensi milik publik, maka frekuensi tidak bisa diperjualbelikan atau dipindahtangankan. Perusahaan yang tidak mampu mengelola slot frekuensi yang ia sewa, harus mengembalikan dulu hak frekuensinya kepada negara, kemudian negara membuka kesempatan bagi pihak lain yang ingin dan mampu mengelolanya.
Penyalahgunaan frekuensi dalam tayangan televisi yang isinya hanya untuk kepentingan pribadi. Misalnya; menayangkan pidato politik pemilik televisi tersebut, pernikahan Raffi dan Nagita, dan kampanye politik dengan durasi tak adil untuk keuntungan partai pemilik televisi tersebut.
Jenis tayangan yang melanggar P3SPS (Pedoman Prilaku Penyiaran dan Standar Program siaran), misal tayangan kekerasan, kebohongan, membahas masalah pribadi, melecehkan perempuan, atau pornografi.
Itu jenis-jenis penyalahgunaan frekuensi di siaran televisi belum dalam penyiaran lain atau frekuensi untuk kebutuhan telekomuniaksi. Untuk soal ini lain kali kita bahas lagi.
Salam hangat, udara milik kita![]
Ilustrasi: dawnofthenewage.com