
Terpal Biru Memori Madura: Layar Pengetahuan tentang Teror-teror untuk Generasi Pasca-1998
Terpal biru mengrukub Madura sebagai lambar, layar, dan latar bergambar lanskap kultural yang terus-menerus bergolak. Suatu keberadaan yang dirancang untuk dipergunakan sementara, tetapi juga kerap dihamparkan di ruang keseharian dan dipaksa bertahan lama. Di Madura, lembar-lembar plastik itu acap kali dirangkai menjadi bagian integral dari dekorasi di dalam hajatan sosial. Di bawah naungannya, secara tak terduga, batas-batas menjadi lentur dan melebar.
Sebagaimana terpal yang kerap digunakan tidak sebagaimana mestinya, zaman citra dengan ragam peranti menampilkan Madura yang tereduksi di banyak sisi. Kehadirannya sekadar selingan untuk memberi “warna lokal” pada suatu cerita. Alih-alih menampilkan karakter lokal, yang tampak malah karikatur artifisial. Selain itu, integrasi kemaduraan yang genuin acap kali diposisikan secara ngawur sebagai kepandiran.
Entah bagaimana ceritanya, seakan-akan Madura tak pernah lepas dari stereotipe negatif—kecuali gemar membawa gurau di ladang yang jauh. Madura tumbuh dalam perkara-perkara berparadoks yang “begini tapi begitu”, sekaligus dalam anekdot-anekdot yang menjadikannya seakan pantas diperolok-olok.
Apakah hal itu cara negara—melestarikan tabiat kolonial—melemahkan kawasan kepulauan yang berada di luar pusat? Dalam konteks ini, pulau yang kerap dipandang sebelah mata justru memiliki tatapan tajam untuk memahami seperti apa wajah Indonesia. Bahwa Madura bukan sekadar catatan kaki di tepi halaman yang terlipat, terdesak narasi besar tentang segala hal yang terbentang di seberang selat. Madura merupakan entitas dengan identitas historis dan sosial yang khas.
Tetapi, “pernahkah kita merasa bahwa waktu adalah batu”, “pernahkah kita merasa bahwa waktu adalah batu yang dilempar”, “pernahkah kita merasa bahwa waktu adalah batu yang dilempar ke laut”, “pernahkah kita merasa bahwa waktu adalah batu yang dilempar ke laut saat subuh?”
Demikian Shohifur Ridho Ilahi—penyair kelahiran pesisir Pasongsongan, Sumenep tahun 1990—terus bertanya melalui puisi “sarmabe” bertitimangsa 2010 dalam buku masègit (Kendi Aksara, 2013). Sebuah gugatan tentang “senjakala” identitas pada situasi transisi yang terjadi di antara masyarakat yang lambat, statis, dan tertahan. Dengan kata lain ia mempertanyakan, sampai kapan Madura yang tradisional akan terus-menerus diromantisasi? Sampai ke laut? Sampai saat subuh? Persoalan itu lantas dijawab oleh Shohifur Ridho’i lima belas tahun kemudian melalui Curriculum Vitae 2000. Sebuah puisi panjang—atau sebagaimana ia dituliskan—teks “drama” (dengan tanda petik).
Postmemory Tubuh-Tubuh Pasca-Orde Baru
Babak-babak masa peralihan kekuasaan senantiasa menorehkan narasi sejarah yang pelik. Salah satunya yang terjadi dalam prahara politik runtuhnya masa kejayaan Orde Baru. Hal itu menjadi momok gentayangan bertahun-tahun, tak terkecuali di Jawa Timur—di kawasan Tapal Kuda, wa bil khusus di Pulau Madura. Beralas landas memori kolektif itulah, melalui pertunjukan bertajuk Curriculum Vitae 2000 yang digelar pada 18-19 Juli 2025 di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, Rokateater merentang risalah untuk mengarsipkan pengalaman (baca: pengetahuan) yang tak pernah dialami generasi 2000-an yang lahir sesudah rezim otoriter bin militeristis itu paripurna.
Di sini, Madura menjadi lokus untuk dilihat dan melihat situasi yang terjadi di Indonesia. Bahkan, tidak menutup kemungkinan, tarikannya merentang jauh ke belakang hingga peristiwa perang pembalasan (istilah ini lebih sesuai tinimbang pemberontakan) Trunojoyo kepada Kasultanan Mataram pada abad ke-17 silam. Dan kalau tidak salah mencatat, dari sekian karya pertunjukannya, Curriculum Vitae 2000 merupakan karya pertama Shohifur Ridho’i bersama Rokateater yang bicara tentang Madura dengan lantang dan dipergelarkan untuk pertama kalinya di tanah Mataram.
“… Ini cerita nyata. Tapi fiksi… Ini fiksi tapi nyata. Ya… Itulah maksudnya… Begini ceritanya.”
Para pelakon memperkenalkan diri, menegaskan kalau mereka berasal dari Madura dan beberapa dari kawasan Tapal Kuda yang lahir pada akhir 1990-an hingga awal 2000-an. Generasi z dan sisa-sisa generasi milenial. Hofifah asal Sampang, Ma’rifatul Latifah asal Bangkalan, Ahmad Aqil Al Adha asal Bondowoso, Hamdani asal Sumenep, Pupuh Hadi Mulya asal Pamekasan, Raymizard Alfian Firmansyah asal Lumajang, Syamsul Arifin asal Sampang, dan Taufiqurrahman asal Sumenep. “Tubuh aktor” sebagai identitas kolektif, krusial untuk pertunjukan ini. Sebab, Curriculum Vitae 2000 (agaknya) sengaja dibuat untuk (dan hanya bisa) digerakkan oleh “tubuh-tubuh Madura” yang tak mengalami secara langsung trauma politik Orde Baru, tetapi menerima cerita-cerita yang diwariskan di tanah kelahirannya.
Apakah tubuh yang tak mengalami suatu peristiwa dapat menjadi medium ingatan? Pertanyaan ini menjadi premis pertunjukan Curriculum Vitae 2000. Memadukan praktik performance lecture dengan narasi postmemory, di dalam pertunjukan ini, trauma politik di sekitar prahara runtuhnya Orde Baru dihadirkan bukan oleh mereka yang mengalami, melainkan oleh tubuh-tubuh yang justru tidak memiliki relasi afektif langsung dengan ingatan itu. Sedangkan Shohifur Ridho’i, sang sutradara sekaligus penulis naskah, tumbuh dalam kekacauan yang terjadi. Ia menyimpan residu sejarah yang hidup di tubuh dan bahasanya. Namun, dalam karya ini, ia tidak menjadi pemain; ia menyerahkan suara itu kepada generasi setelahnya. Maka yang terjadi bukan sekadar penampilan, melainkan penyerahan ingatan—sebuah praktik postmemory yang kompleks.
Konsep postmemory—sebuah gagasan yang dipopulerkan oleh Marianne Hirsch—digunakan Shohifur Ridho’i agar generasi setelahnya dapat turut mewarisi memori politik, entah berupa cerita, kenangan, maupun mitos. Dengan begitu, mereka tidak semata-mata tumbuh dalam kekosongan tanpa beban. Apalagi, generasi 2000-an kini hidup dalam buaian realitas velocity, sehingga tidak menyadari adanya gelagat masa lalu yang sewaktu-waktu bisa terulang lagi.
Menariknya, karena “ketidaktahuan” itulah, mereka justru leluasa bersuara. Dan karena “tidak ketahuan”, mereka merelakan tubuhnya yang polos dan jujur untuk menghidupkan kembali fragmen-fragmen luka kolektif bangsanya yang ironi dan tak kunjung berdamai dengan diri sendiri.
Kegagapan para pelakon dalam memerankan trauma yang bukan miliknya menjadi bagian dari estetika yang secara sengaja dihadirkan. Hal itu bukanlah kelemahan, melainkan metode untuk menunjukkan betapa absennya sejarah yang bukan versi pemerintah dalam curriculum vitae mereka.
Setiap elemen dalam pertunjukan ini menandai ketegangan antara masa lalu dengan masa kini yang terkelola dengan kesadaran gerak dan dialog. Semacam dekonstruksi, di sini, di atas lambaran terpal biru, khazanah kemaduraan dihidupkan dalam keterbukaan. Seperti di ruang tamu, majelis ini mempertemukan ludruk, kelir, perancah, televisi, kartun, dokumen, laporan, musik, tarian, hingga budaya pop—yang bersilangan dengan narasi supremasi militer sebagaiaman yang (pernah) terjadi dalam sejarah negeri ini.
Sebuah pertunjukan yang kontemporer, menampilkan Madura yang juga kontemporer. Menolak pandangan yang meromantisasi Madura. Menegaskan kalau masyarakat Madura terbuka dalam menerima hal-hal baru seturut perkembangan zaman. “Kosmopolitan!” kata sastrawan Royyan Julian.
Kemunculan joget jamet, misalnya. Mungkin “orang lain” menatapnya sebelah mata sebagai seni rendahan alias tidak adiluhung. Namun, bagi generasi Madura hari ini hal itu merupakan bentuk manifestasi yang justru memperluas cakrawala tradisi yang ada sebelum-sebelumnya.
Alih-alih menggunakan struktur drama konvensional, Curriculum Vitae 2000 memilih format kuliah performatif—pementasan menjadi semacam kelas sejarah alternatif, lengkap dengan fragmen ceramah, naskah akademik, pantikan ingatan lewat audio dan visual dokumenter, dan adegan-adegan teatrikal. Daripada menyaksikan cerita, penonton justru diajak untuk belajar bersama.
Meskipun begitu, bukan berarti ini merupakan majelis kuliah yang netral. Sama sekali tidak.

Curriculum Vitae 2000 merupakan karya pertama Shohifur Ridho’i bersama Rokateater yang bicara tentang Madura dengan lantang.
Menulis Sejarah di Tubuh yang Lahir dalam Kekacauan
Lapis-lapis kelir bergambar lukisan mooi indie, stiker-stiker 1990-an, ninja baik di layar televisi, buku pelajaran sejarah dan kewarganegaraan dalam kurikulum, sosok naga hijau, dan tirai putih dibentangkan pada perancah berwarna merah. Lembar-lembar latar yang menandai konteks setiap babak. Masing kelir dengan jelas menampilkan metafora dari permainan perspektif yang akrab, yang asing, yang populer, yang terlupakan, yang dominan, dan yang tersisih. Seakan hendak mengatakan, bahwa ketika sejarah resmi menjadi panggung agung, sejarah yang tersisih selalu punya cara untuk tetap hidup di ruang-ruang kecil, entah di dalam ember bekas cat tembok, di gelombang atap plastik, di warna-warni perkakas dapur, di celengan jago merah, di corong toa, dan terutama di bentangan terpal biru.
Perancah berwarna merah menarasikan bahwa proyek rezim pembangunan terus berlanjut. Bahwa pembangunan infrastruktur—dalam konteks ini bentangan jembatan Suramadu—tidak sama artinya dengan terwujudnya jalan maju, tidak pula untuk menghubungkan yang terpisah, tetapi justru mempertegas batas.
Terpal biru bergambar rangkaian baja jembatan Suramadu—yang menghubungkan antara Pulau Madura dengan Pulau Jawa—terbentang dengan latar gunung api, seperti ikhtisar singkat situasi kebudayaan. Ia menyerupai tanda pembuka dalam pergelaran wayang kulit, kesenian adiluhung Jawa khususnya Kasultanan Mataram, yang mengesankan bagaimana lanskap Jawa ditatap.
Kemudian “impian Madura” dihamburkan: warna-warni benda plastik alat-alat domestik beraneka rupa mengalihkan segala tatapan dari yang suram sekaligus mengganti yang identik. Sebab, kisah kelam sejarah sering kali berakar dan tumbuh di ruang-ruang yang sama gelapnya. Dan bagi masyarakat Madura, selain pembangunan jembatan Suramadu, padamnya lampu merupakan suatu peristiwa yang kompleks dalam membangkitkan memori trauma produk negara. Bahwa pemadaman menjadi cara negara membatasi pengetahuan masyarakatnya.
Seturut dengan itu, anak-anak dan tayangan televisi untuk mereka yang lahir di sekitar kekacauan konflik politik elite, krisis ekonomi, dan rekayasa ketakutan dalam sejarah kekerasan negara, menjadi potret yang paradoksal: hilangnya kepercayaan pada negara dan pelajaran bahwa keamanan juga berarti pembungkaman.
Pertunjukan Curriculum Vitae 2000 juga menampilkan ludruk dengan dialog berbahasa Madura yang khas, jenaka, satire, dan improvisatif. Kelir yang ditampilkan mengesankan sebuah kemasan pertunjukan kampung yang sederhana (bukan seadanya) namun kritis. Soal televisi dengan segenap tayangannya dan siapa yang menyaksikannya seperti menegaskan terjadinya suatu tabrakan simbolik antara modernitas global dengan kampung yang bingung arah.
Di atas panggung, alat dapur plastik berubah menjadi senjata. Dapur, ruang yang erat dengan kesejahteraan perut, di satu sisi medan perang tak berkesudahan. Plastik di genggaman “menggantikan yang juga identik” terhadap Madura: rongsokan besi dan pencurian besi.
Sebagaimana celengan jago merah yang diputar belawanan dengan arah jarum jam pada setiap pergantian babak. Alih-alih berjalan ke depan, penonton diajak berputar-putar dalam labirin ingatan tak berkesudahan. Demikian, nalar postmemory bekerja. Seumpama corong toa, menjadi sumber suara untuk menyiarkan pengumuman-pengumuman yang meminta perhatian.
Melalui pertunjukan Curriculum Vitae 2000 ini, penonton juga diajak untuk menyadari bahwa disiplin tidak hanya berarti kepatuhan, tapi juga tentang internalisasi ketakutan. Adegan baris-berbaris menampilkan disiplin militer yang menyusup ke dalam rutinitas rumah tangga, membekaskan pola pikir di ruang yang semestinya steril.
Lalu dihadirkanlah lagu pengiring serial Ninja Hattori—karakter kartun yang mestinya lugu namun di sini justru membawa mitos ninja sebagai hantu di masyarakat Madura era reformasi. Ia adalah contoh paling telak dari bagaimana postmemory meminjam ikon budaya pop untuk menyelundupkan narasi ketakutan. Ninja yang mewabah kurun 1998—2000, yang diyakini sebagai bagian dari operasi militer terselubung, dipersonifikasi dengan Ninja Hattori yang menampakkan keceriaan artifisial.
Ninja dan Jepang diposisikan sebagai agen kekuasaan dengan garis yang ditarik mundur pada sejarah pendidikan militer di Indonesia: PETA dan KNIL—dua sumber daya manusia yang sama-sama dibentuk oleh kolonialisme, lalu diwariskan kepada republik yang baru merdeka. Dengan jeli Shohifur Ridho’i mengikatnya dengan joget jamet. Di satu sisi joget ini merayakan kegembiraan “manusia Madura” dewasa ini, di sisi lain menyimpan pola gerak yang kaku dan cenderung canggung—seperti figur-figur dalam game produk Jepang—tetapi tetap bebas merdeka. Di sini, pertunjukan ini menempatkan paradoksnya sekali lagi: tubuh-tubuh yang hidup dalam trauma dan ketakutan negara justru menemukan kebebasannya dalam kekonyolan.
Sulih suara kartun menjadi medium penyampaian sejarah gelap yang tidak tercatat di buku pelajaran dengan nada anak-anak. Situasi blank, dialog yang sulit dihafalkan dan lafalkan, gerak tubuh yang tidak sinkron, keterbata-bataan atau kegagapan dalam menghadapi situasi—sengaja ditampilkan sebagai metode—membuat sesekali penonton tertawa. Tetapi, tawa itu membentur dinding antara hiburan dan propaganda.
Sama halnya dengan memutar tone pembuka dan penutup siaran Radio RRI era Orde Baru: frekuensi itu seperti bau tanah basah yang menyelinap dari bawah pintu, membawa ingatan Orde Baru ke ruang keluarga—hari ini. Kemudian, nyanyian lagu tema Ninja Hattori mengumandang di corong toa dalam nuansa gloomy, seakan menjadi isyarat tatapan masa lalu dan masa depan sebuah generasi yang rentan.
Melalui pembacaan laporan, sebagian kecil peristiwa yang terjadi selama masa transisi dari rezim Orde Baru ke Reformasi di Madura dan kawasan Tapal Kuda dibeberkan. Hal tersebut memberi kejelasan bahwa generasi 2000 lahir ketika dunia sangat sibuk; dan pada 2025, di usia 25 tahun, mereka akhirnya tahu siapa ninja-ninja itu. Sementara naga hijau—metafora dari sesuatu yang terus mengintai di balik seragam dan doktrin—yang mengancam jantung masyarakat Madura: spiritualitas dan religiositas.
Ruang dan waktu yang merentang dalam jarak dengan tubuh-tubuh generasi 2000 membawa memori yang terus diulang-ulang dan bahkan sedang kembali terulang. Yang sebelumnya hanya diangankan lambat laun dirasakan. Maka, narasi sejarah itu pun bergeser, dari “kamu lahir ketika ninja datang ke kampung kami” menjadi “dan aku lahir ketika ninja datang ke kampungku”.
Demikianlah medan postmemory menghitung waktu bolak-balik dengan kesadaran bahwa sejarah tidak berjalan searah. Putaran itu bukan nostalgia manis, melainkan looping yang memaksa untuk menatap apa yang sudah diupayakan untuk dilupakan, namun tak kunjung mampu.
Dalam nalar postmemory, tujuan utamanya bukan menghidupkan kembali peristiwa masa lalu—apalagi secara utuh—melainkan menghadirkan lagi cara peristiwa itu dirasakan. Semacam irisan antara ingatan yang diwariskan dan imajinasi yang dibentuk oleh jarak waktu. Karenanya, Curriculum Vitae 2000 sepatutnya mengusik pikiran mereka yang tak pernah mengalami secara langsung militerisasi yang menerabas hingga ke dalam rumah tangga pada akhir 1990-an hingga awal 2000-an itu. Trauma kolektif itu berdengung di panggung yang menyamarkannya dalam tampilan yang terasa sebaliknya, hingga terlena kalau semua itu semata-mata pentas, ataukah sejarah yang sedang berulang?
Curriculum Vitae 2000 menampilkan kolase kekacauan dan identitas-identitas yang diacak dan disilangkan. Dengan mendayagunakan arsip tubuh dan media, karya ini menegaskan bahwa generasi kelahiran 2000 tidak lahir di tanah kosong, melainkan di tengah gelombang sejarah yang bergolak sekaligus menentukan. Dari fragmen-fragmen itu lahir kesadaran bahwa identitas mereka sedang dirakit ulang, tak pernah utuh, dan hidup dalam ketidakteraturan yang melingkupinya.
Pertunjukan ini digerakkan oleh semangat mengungkapkan—bukan sekadar menceritakan—betapa mencekamnya situasi masyarakat menghadapi hantu hegemoni kekuasaan besar yang baru ditumbangkan. Oleh karenanya, pengalaman getir yang tak terelakkan sebagai yang dilahirkan dan berdarah Madura menjadi narasi utama. Cara untuk menjelaskan hal-hal yang sekian lama digelapkan oleh negara, yakni alih rupa wajah kekuasaan yang m(iliter)istis di Madura, Tapal Kuda, dan sejumlah kawasan Indonesia.
Kekuatannya terletak pada cara membongkar konstruksi ketakutan. Bahwa di Madura pada masa itu, isu ninja bukan hanya mitos sosial, tetapi juga instrumen kekuasaan, yakni militer, yang masuk lewat pintu keamanan yang menekan-menindih rakyat dalam paranoia. Hal itu dihadirkan Rokateater dengan dramaturgi yang tidak eksplisit menyudutkan, namun subtil dalam menampilkan bagaimana kekuasaan menciptakan musuh imajiner demi legitimasi kekerasan. Hasilnya adalah kesadaran sejarah yang belum rampung, atau malah sedang dimulai—dan justru karena itu pertunjukan ini menjadi penting.
Curriculum Vitae 2000, sebuah Masterpiece
Curriculum Vitae 2000 bukan sekadar pertunjukan teater, melainkan konteks atas ingatan-ingatan yang diteruskan kepada generasi yang lahir pasca-Reformasi 1998. Karya ini menempatkan para pelakon (maupun penonton) sebagai ruang penyimpanan memori kolektif—sekaligus medan tarik-menarik antara yang ingin dilupakan dan yang tak bisa dihidari.
Ingatan yang dihadirkan bukan saja pada konteksnya, namun juga estetikanya. Curriculum Vitae 2000 hadir dengan variabel seni pertunjukan yang pepak: teater rakyat, media popular, sinisme digital, dan kitsch kampung. Semua itu disusun dengan pola montase. Demikianlah “pada suatu hari” diceritakan ketika zaman terlalu cepat berubah, tetapi terlalu lambat pulih.
Walhasil, Curriculum Vitae 2000 tidak tampak sebagai dokumenter yang kaku atau teater propaganda. Ia memilih jalur pop dan kampung, tetapi dengan isi yang sangat puitis, politis, dan reflektif. Parodi film kartun dan joget jamet bukan sekadar gimmick. Orang Madura menginternalisasi sifat kosmopolit itu ke dalam karakter. Dari situ tampak satu lanskap, menyelamatkan generasi yang hidup dalam disorientasi: diberi impian global, tapi tumbuh dalam luka lokal.
Sebuah ketidaktahuan dan keberanian suatu generasi, yang tidak memiliki sesuatu untuk dipertaruhkan, yang tidak memiliki bahasa untuk trauma bangsanya, tapi mencoba bertanya, “mengapa kita bisa menjadi bangsa yang penuh ingatan tanpa pengetahuan?”
Shohifur Ridho’i melalui Rokateater seakan sedang menagih suatu pertanggungjawaban atas masa depan yang dibentuk oleh trauma berkepanjangan. Curriculum Vitae 2000 menjadi semacam resume tentang situasi Madura-Indonesia yang masih belajar membaca ulang masa transisinya sendiri—berantakan, lucu, getir, dan yang terpenting sangat jujur.
Demikianlah terpal biru yang baru digelar—lanskap Madura yang kontemporer. Sebuah masterpiece dari Shohifur Ridho’i yang mungkin, sekali lagi mungkin, akan menjadi salah satu yang paling diingat dalam kiprahnya di dunia pentas seni.
Yogyakarta, 14 Agustus 2025