
Tembok
Catatan Selaksa Biru
Senja di beranda. Duduk berdua. Si Sulung sedang tidak di rumah. Neneknya datang pagi tadi. Mengabarkan bahwa Si Sulung akan dibawanya dua hari. Adiknya tertidur pulas. Setelah seharian kenyang menguras air susu. Kami duduk berdua saja. Menikmati senja sambil memandangi Anthurium Chrystalinum yang tumbuh subur di pot di pojok taman.
“Tulislah segala sesuatu yang kau pikir, yang kau inginkan, yang kau rasakan. Antara kita tidak boleh ada sesuatu yang memisahkan kita, cara berpakaian pun tidak, aturan-aturan pun tidak, rasa malu pun tidak. Kita harus berani saling mengungkapkan segala sesuatu.”
Suara lelaki di sampingku memecah lamunanku. Ya, saya beruntung memilikinya! Kami dipertemukan oleh kesenangan yang sama. Maka ketika kesibukan di rumah mulai mengalihkan sedikit kesenangan kami yang sama. Kami akan saling mengingatkan. Ketika saya mulai terlihat hilang fokus, ia akan mengembalikannya. Begitu pula ketika ia sudah terlihat tak lagi konsentrasi sebab pekerjaan menyita banyak waktunya. Saya akan menyegarkannya. Kami sama-sama suka menulis.
Sore yang jingga. Hari menjadi senja. Matahari hendak tenggelam. Meski esok ia akan hadir di fajar hari. Seperti juga ingatan. Selalu tenggelam ditelan rutinitas. Kerja dan kerja. Tapi juga akan hadir di saat yang tepat. Di bagian fajar hari itulah ingatan hadir. Menengok kita.
Sekedar untuk menyapa yang masih terjaga. Saya tulis catatan ini.
Tembok dapat juga memiliki makna mendalam. Di tembok orang-orang menangis. Di tembok orang-orang menulis. Di tembok orang-orang bersaksi. Di tembok orang-orang mengakui. Meratapi. Di tembok orang-orang meminta. Di tembok orang-orang berdoa. Di tembok keluh dan kesah ditumpahkan.
Serupa harapan yang ditulis mereka yang datang ke tugu di atas bukit. Bukit tempat bertemunya nenek dan kakek itu. Tempat yang menyimpan kisah romantisme cinta. Cinta yang terlarang.
Bukit itu tidak pernah sepi. Semua orang ingin mengunjungi monumen pertemuan itu. Sebuah penanda. Penanda dari beton persegi empat dengan lebar 1,8 meter dan tinggi 8 meter. Mereka yang datang percaya bahwa di titik itu dua sejoli itu dipertemukan. Untuk mencapainya tak perlu banyak tenaga sebab tingginya sekira 70 meter dengan 160 anak tangga saja. Kaki berhasil menginjak puncak.
Mereka yang datang percaya di sana doa baik akan cepat menjadi bukti. Maka doa-doa ramai terdengar. Menggema bersama desir angin pembawa pasir. Sengat matahari tak menjadi semangat padam. Maka banyak yang diam-diam menyembunyikan spidol. Mengeluarkannya lalu menuliskan harapan dan doanya. Seperti yang tak percaya bahwa Tuhan mendengar dan melihat. Maka tugu itu penuh coretan. Bahkan di batu-batu di sekelilingnya. Inilah Jabal Rahmah. Adam dan Hawa dipersatukan di sini.
Di tembok ini tidak hanya harapan atau doa. Juga nama-nama. Bahkan jika sedang mujur. Akan didapatkan juga sebaris puisi yang ditulis bergandengan dengan serapah. Kisah cinta yang berdesakan dengan keluhan menjadi mahasiswa yang terlambat menerima sumbangan dana dari orang tua. Ini tembok yang lain. Ini tembok di lantai tiga.
Ya, di tembok ini tertulis banyak cerita. Tapi ini yang teringat saja. Sisanya saya tidak tahu. Orang beriman, tahu jalan pulang (Rahmawinasa). Musashi mengalahkan asaki kojiro dengan pedang kayu (Alex Atmadikara). Rahmawinasa hening di selangkanganmu (Rahmawinasa). Sekali tidoer beralaskan koran, selamanja tjinta dibaringkan mesra (Ujianto Sadewa). Perjalananku tak ‘kan abadi setelah kalah bertarung cinta. Kini aku terluka, sebentar lagi sakit jiwa (Asep Pram). Mencintai adalah luka yang berdarah-darah (Asep Pram).
Senja sudah tua. Kami beranjak dari bangku di beranda. Si kecil terbangun dan menangis sebab suara piring jatuh tersenggol kucing begitu dekat dengan telinganya. Sambil menggendong si kecil yang sudah siap menyedot air susu saya menutup pintu.
Si kecil mewarisi kekuatan ayahnya. Bahkan sejak kami menjadi mahasiswa. Ia sangat kuat. Kuat sedotannya. Bahkan di lain waktu saya merasa otot-otot di bagian dada rasanya putus. Tertarik. Sakit tetapi enak. Hal itu berulang terjadi. Bahkan saya akan dengan senang hati balik menyedotnya. Sekuat yang saya mampu. Bukan kepada Si kecil, tentu! Mungkin ini alasan kami makin lengket saja. Hingga kini usia perkawinan kami menginjak sebelas tahun. Anak adalah bukti bahwa kami pernah saling sedot.
Di senja itu, kubayangkan tembok itu. Tembok yang saya rasa ajaib. Sebab di tembok itu siapa pun boleh menulis. Seorang yang datang dari jauh pernah berujar bahwa tembok lantai tiga lebih demokratis daripada tembok Cina. Sebab di sini orang boleh menulis apa saja. Jika boleh kembali ke masa itu. Jika tembok itu masih ada. Saya akan menulis sepotong sajak dari Bertolt Brecht.
Bila kau pergi merantau
berangkatlah, aku akan terus
menantimu di sini.
namun tinggalkan sehelai daun
untukku, yang kau petik dari
ranting pohon mawar di jendela
kamarmu.
agar aku tidak terlalu rindu.
Ah, andaikan saja![]
Bandung, 16 Oktober 2014
Sorry, the comment form is closed at this time.
jaguar non kolesterol
selaksa biru? apakah dia widzar ghifari alias sireum tea?