
Siraman Simbar Kancana
Di Heritage Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), saya menunggu hujan reda dengan puluhan orang bercaping lainnya. Saya malahan ikut larut cemas, berteduh di bawah panggung kayu pertunjukan Ngagorowokkeun Gaok yang digelar oleh Jalan Teater dan Titimangsa Foundation (7/11/15). Kecemasan akan pertunjukan yang bisa ditunda, karena hujan masih enggan juga reda. Panitia dan para pemain ada yang berteriak, “wur-wur, wur-wur, wur-wuuuuur!” dari arah belakang stage. Sibuk menyiasati perasaan masing-masing, panitia dan pemain bolak-balik, menjaga lampu, artistik dan persiapan lainnya.
Tangkapan lanskap panggung, pertama di mata saya adalah level yang terserak di mana-mana, menjulang panggung kubus terbuka mengeliling panggung utama membelakangi Villa Isola. Tercium bau dupa berebut aroma rumput basah diguyur dari sore. Hampir rubuh saya, mencari kopi di kumpulan orang-orang menunggu saat itu.
Untung Yopi Setia Umbara selaku pimpro dan Sahlan Bahuy sang Sutradra, menenangkan saya untuk tak perlu deg-degan. Memang harusnya saya yang menentramkan sedikit kebimbangan yang terjadi, ini sebaliknya malah mereka. Sambil ketawa mereka berdua menyarankan saya duduk di level paling dekat dengan pintu masuk ke pementasan. Saya mengiyakan dan bersiap ancang-ancang, kalau mulai saya akan duduk di sana, kata saya pada mereka.
Tak lama, hujan berhenti ternyata, saya girang sekali bukan kepalang, apalagi mulai terlihat wajah masing-masing yang kukenal sebagai pemain. Mereka kemudian berbenah panggung, melap level basah, mengalasi, dan ambil posisi. Saya dan sekitar 200 penonton lainnya digiring ke tempat duduk—di tengah panggung. Sehingga kami dikelilingi setting.
Ihung, mendaulat dirinya sebagai pembawa acara akhirnya mengawali di awal. Lalu sebuah rajah dari Abah Rukmin (Maestro Gaok) terdengar membuka pertunjukan, menyileti malam, di dinding perasaan yang khidmat. Pikiran dalam kepala saya tersihir dan melayang-layang, hinggap serupa doa.
Para pemain masuk, menari-nari baur dengan pentonton. Alat musik ditabuh dan melantun bagai kawat suara di udara, mempersilakan Abah Rukmin yang membuka wawacan Talaga Manggung, dengan khas penuturannya yang ajaib.
Sambil minum bajigur, ngemil kacang bulu dan tanah rebus, saya bersama Deden Abdul Aziz mengapit Trubador–Doddy Ahmad Fauzy, duduk di sebelah kanan. Berkali-kali ingin menangkap salah satu pemain, khususnya perempuan, yang seliweran lewat depan kami. Penonton asyik, mendengar wawacan selagi digorowokeun Abah. Penonton tersilap pemain saat cerita dibawa ke tari-tarian arkais, gerak gempita. Penonton juga terlibat secara tubuh, improvisasi mewarnai.
Pilihan kata dalam basa Sunda, banyak yang mulai terasa ganjil sekaligus aneh terdengar. Ini menimbulkan rasa malu pada diri Saya sebagai urang Sunda. Saya dan Trubador beruntung bisa langsung bertanya, bila ada kosakata yang luput, ke Deden Abdul Aziz.
Menari dan dialog dalam cerita, saling menindih asyik, apalagi adegan dingin-dingin Lembang yang dibawakan Yumi, pemeran Simbar Kancana melepas ama yang terbunuh dalam konspirasi kerajaan Talaga Manggung. Sesekali adegan juga diselipi komedi, merespon penonton yang ada.
Saya takjub, selain terhadap keseluruhan pertunjukan, yakni pada pentonton yang terus bertahan tak berkurang sepanjang pementasan. Perasaan saya terus bergantian, haru-sedih dengan tawa, melihat adegan antara sayembara cinta dan pembunuhan raja. Yang membuat saya tertawa, adegan ‘siraman’ dengan sengaja menyiramkan air ke salah satu level penonton dengan selang dan panyebor. Level itu basah, penonton pun ingkah.
Saya langsung teringat, level itulah yang disarankan diduduki saya saat menonton oleh Yopi Setia Umbara dan Sahlan Bahuy.
Pentas Ngagorowokkeun Gaok, “Simbar Kancana Ngadeg Raja: Talaga Manggung” membuat ‘basah’ penonton secara tak langsung malam itu. Kisah dan cipratan nuansa cinta, parodi dan sejarah tradisi kuyup membuat kita semua gembira. Usaha mengakrabkan kembali kesenian yang terseret di ambang punah, dengan balutan inovasi terhadap tema, gaya, artistik dan sajian musik, mencoba mendekatkan kembali pada kita.
Salut untuk malam minggu, yang jauh dari malam minggu kelabu.