
Satu Tahun Penerbit Oak dan George Orwell
Sabtu (16/4/2016) malam, sejatinya adalah perayaan satu tahun Penerbit Oak. Dalam kesempatan itu, penerbit indie yang fokus pada karya terjemahan ini sekaligus meluncurkan buku terbitan baru mereka, yaitu Bagaimana si Miskin Mati sebuah buku kumpulan esai George Orwell.
Menjadi cukup istimewa perayaan satu tahun Penerbit Oak ini, karena buku pertama yang mereka terbitkan pertama kali juga adalah terjemahan karya Orwell, Down and Out in Paris and London yang terbit dengan judul Terbenam dan Tersingkir di Paris dan London.
Ruang tengah Dongeng Kopi di Jl Wahid Hasyim No. 3, Gorongan, Depok, Sleman, Yogyakarta, yang menjadi tempat perayaan ulang tahun Penerbit Oak dan peluncuran buku pada malam itu dipenuhi pengunjung. “Mungkin karena Zen (RS, pen.),” ucap Eka Keong (Pendiri Penerbit Oak) merendah beberapa saat sebelum acara dimulai.
Sekira pukul 19.30 WIB, Irwan Bajang, penyair dan pendiri Penerbit Indie Book Corner, menjadi pembawa acara sekaligus moderator pada malam itu. Ketika pengunjung sudah terkondisikan, meski sebagian harus berdiri karena tak kebagian kursi, ia memanggil Eka untuk menyambut pengunjung.
Tak banyak yang dikatakan Eka. Intinya ia menyampaikan terima kasih atas kehadiran para pengunjung dan berharap Penerbit Oak dapat konsisten, serta mengajak pengunjung untuk bergembira pada malam itu.
Usai Eka, kemudian disambung pemutaran film pendek mengenai George Orwell. Film yang berdurasi kurang lebih sepuluh menit itu berisi slide foto dan narasi biografi Orwell. Mulai dari Orwell bocah yang memiliki nama asli Eric Arthur Blair hingga Orwell dewasa.
Orwell menggunakan nama pena agar keluarganya tak menanggung beban malu ketika ia menerbitkan Down and Out in Paris and London pada 1933 karena novel itu berkisah tentang kemiskinannya. Nama itu kemudian digunakan Orwell hingga akhir hayatnya.
Jejak karir Orwell juga jejak langkah karya yang ditulis Orwell dipaparkan dalam film itu. Novel Animal Farm (yang terbit pada 1945) adalah karya yang melambungkan nama George Orwell. Disusul kemudian dengan 1984 (1949). Jauh sebelumnya Orwell telah menulis sebuah novel Down and Out in Paris and London (1933).
Di samping menulis karya fiksi, Orwell ternyata merupakan seorang esais yang handal. Sebagian besar esai terbaik Orwell itulah yang kemudian diterjemahkan dan dikemas dalam Bagaimana si Miskin Mati (penerjemah Widya Mahardika Putra) oleh Penerbit Oak.
“Film yang sangat bagus, sehingga meringankan tugas moderator. Tak perlu lagi mengenalkan Orwell,” canda Bajang ketika akan memulai diskusi. Ia lantas mendaulat Zen RS, esais dan Pendiri Pandit Footbal, untuk menyampaikan ulasan mengenai Orwell dan karya-karyanya.
Zen RS menyampaikan cukup banyak hal mengenai Orwell pada malam itu, di antaranya: keputusan Orwell yang “melintasi” kehidupannya sebagai warga kelas menengah, metode dan teknik menulis Orwell, hingga kecenderungan sikap politik Orwell.
Zen membuka diskusi dengan keputusan Orwell muda yang memilih “melintasi” kehidupan nyaman sebagai warga kelas menengah dengan pergi ke negara koloni Inggris di Asia, tepatnya Burma (kini Myanmar). Pada tahun 1922, Orwell memilih menjadi Indian Imperial Police ketimbang melanjutkan pendidikan di universitas. Menurut Zen, “Keputusan itu dilakukan secara sadar oleh Orwell. Padahal bukan hal mustahil bagi Orwell untuk masuk universitas,” tutur Zen.
Kehidupan Orwell di tanah jajahan itu kemudian menarik simpati Orwell sekaligus mempersoalkan kolonialisme. Orwell mengabadikan pengalamannya di tanah jajahan Inggris (di Burma, India maupun Maroko) memperlihatkan simpati kepada bangsa-bangsa terjajah. Tapi ia tak lekas-lekas keluar dari pekerjaan sebagai kaki tangan penjajah. Kenyataan yang memperlihatkan ambiguitas dan kontradiksi, sekaligus menegaskan kepahitan dirinya (“Orwell dan Tatapan Seekor Anjing”, Zen RS).
Begitu pula ketika Orwell menulis Down and Out in Paris and London. Orwell sebenarnya punya famili untuk sekadar menyandarkan hidup, namun ia lebih memilih bertungkus lumus dengan menjadi pencuci piring di ruang bawah tanah sebuah hotel dengan penghasilan yang hanya cukup untuk membeli tembakau, susu, dan roti, untuk satu minggu.
Dalam menulis esai, Zen menuturkan bahwa metode dan teknik Orwell menulis esai persis seperti menulis karya sastra. Orwell meramu elemen penting dalam karya sastra: plot, karakter, konflik, dialog, deskripsi, hingga bermain-main dengan simbol. “Esai ‘Hukuman Gantung’, ‘Menembak Seekor Gajah’, dan ‘Marakesh’ hingga saat ini masih dijadikan contoh menulis esai yang baik di sekolah-sekolah Inggris,” kata Zen.
Zen, juga mengatakan bahwa esai-esai Orwell memang tak semuanya berlandaskan kepada fakta. Tetapi, Orwell memiliki kesanggupan mengatakan apa yang ingin dikatakannya.
Kemudian Zen mencontohkan, ada satu adegan dalam esai “Hukuman Gantung” di mana sang pidana menghindari genangan air di jalan ketika menuju tiang gantungan. “Dalam sebuah biografi A Life Bernard Crick, satu-satunya biografi yang diautorisasi oleh Shonia Orwell (istri George Orwell) pada faktanya hal itu tidak ada,” Zen menjelaskan.
Namun, di situ pulalah letak keunggulan Orwell yang tetap menumbuhkan simpati atas kehidupan. Seseorang yang sebentar lagi menemui ajal digambarkan Orwell masih berpikir untuk menghindar dari genangan air yang mungkin membasahi dirinya.
Orwell tumbuh ketika isme-isme juga tumbuh di Eropa, terutama sosialisme. Sehingga sangat mungkin memengaruhi sikap politik Orwell. Meski, kata Zen, sulit menempelkan label politik tertentu pada Orwell.
Orwell mengkritik gagasan utopis dan totalitarianisme, seperti dapat dibaca pada novelnya 1984. Namun, Orwell juga mendukung sekaligus mengkritik Partai Buruh di Inggris. Ketika terjadi friksi di Spanyol akibat intervensi Sovyet, Orwell malah anti dogmatisme partai.
“Satu rasanya yang tidak berubah: kepercayaan dan keyakinannya kepada sosialisme sebagai—mula-mula dan yang terutama—hasrat kepada keadilan dan kebebasan,” Zen dalam bagian akhir esainya.
Jika tak diingatkan oleh panita, mungkin diskusi akan berjalan lebih panjang. Sebab Zen menyajikan kertas kerjanya begitu bernas sehingga menyedot perhatian besar pengunjung. Pukul sembilan malam lebih beberapa menit, Bajang akhirnya menutup sesi diskusi. Acara kemudian diakhiri oleh penampilan musik dari Sisir Tanah.[]