Fb. In. Tw.

Rumah Umat Muslim Digusur, Siapa yang Membela?

Indonesia digegerkan dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau biasa disebut Ahok. Dugaan yang diawali dari posting-an Buni Yani di media sosial tersebut lantas tersebar di media cetak hingga online, kemudian membuat opini publik semakin memanas soal isu ini. Sontak membuat beberapa ormas Islam, kecuali Nahdlatul Ulama (NU),  naik pitam dan menuntut Ahok diproses secara hukum karena telah menistakan agama Islam. Puncaknya terjadilah aksi fenomenal umat muslim pada 4 November yang dilanjutkan dengan aksi 2 Desember, yang tren dengan tagar #AksiDamai212, di Jakarta.

Ketika seseorang atau lembaga menghina atau menistakan agama Islam di Indonesia, mereka harus siap berhadapan dengan 85% (Aji Dedi Mulawarman, dalam diskusi “Refleksi Perjalanan Kaum Muslim di Indonesia”) penduduk dan puluhan ormas-ormas Islam di Indonesia. Mari kita ambil contoh ormas Islam yang cukup besar di negeri ini, ada Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dll. Sudah barang tentu ormas Islam dengan tegas membela agama Islam.

Rencana aksi 4 November juga #AksiDamai212 tersebut hingga menggerakkan Jokowi-JK untuk melakukan pertemuan dengan beberapa negarawan dan ulama guna meredam gejolak di masyarakat. Namun timbul pertanyaan di mana organisasi-organisasi Islam ketika umat muslim di Jakarta banyak yang digusur rumahnya? Ketika petani muslim menuntut reforma agraria? Ketika buruh muslim aksi tolak PP Pengupahan?

Ormas-ormas Islam di Indonesia memang sangat menjaga dan membela perkara akidah. Mereka bisa menurunkan ribuan massa untuk satu isu penistaan agama. Namun kenapa tidak mau menurunkan ribuan massanya untuk isu penggusuran, agraria, atau bahkan perburuhan.

Jadi ada apa dengan ormas Islam di Indonesia? Meminjam perkataan Muhammad Al-Fayyadl alumnus program Master Filsafat Kontemporer di Université de Paris VIII di situs Islambergerak.com, bahwa problem keberislaman kita klasik: Islam kita belum sungguh-sungguh hadir sebagai malaikat penyelamat bagi mereka yang tertindas. Sebagai kritik dan otokritik: keberislaman kita adalah keberislaman yang borjuistik, yaitu keberislaman yang melanggengkan egoisme dan hasrat pribadi, menipiskan solidaritas, memupuk kebanggaan atas kemewahan materiil di atas ketimpangan sosial. Namun, ini pertama-tama bukan persoalan moral. Ini pertama-tama merupakan persoalan material. Keberislaman kita menjadi begini, karena hegemoni suatu ideologi berupa konsepsi ekopol (ekonomi-politik) yang secara fatal menggeser perhatian Islam dari soal-soal material kepada soal-soal ideasional, dari perhatian pada kondisi-kondisi konkret-material kepada pertarungan gagasan-gagasan teologis dan klaim kebenaran. Hegemoni ideologi ini ditopang oleh dua hal: ekopol liberalisme Islam yang bersanding mesra dengan ekopol neo-klasik kapitalisme.

Berdasarkan perkataan Muhammad Al-Fayyadl tersebut ada benarnya, keberislaman kita tidak mampu menyelesaikan permasalahan umat muslim yang ada di sekitar kita seperti penggusuran, agraria, hingga perburuhan.

Jika kita paparkan permasalahan apa saja yang ada di Indonesia, pasti akan sulit dan membuat kepala kita pusing karena terlalu banyak persoalan yang berkembang biak. Misalnya eksploitasi negara asing terhadap sumber daya alam Indonesia. Menurut Merdeka.com, ada lima negara yang meraup keuntungan yang besar dari sumber daya alam Indonesia, berita ini juga dipublikasi ulang oleh salah satu organisasi Islam di Indonesia yaitu Hizbut-tahrir.or.id.

Pertama, ada Amerika Serikat lewat Freeport McMoran, Newmont, Chevron, Conoco Philips, ExxonMobil, dll. Kedua, yaitu negara Cina lewat PT Heng Fung Mining Indonesia, PetroChina, dll. Ketiga, ada Inggris lewat British Petroleum (BP), dll. Kemudian yang keempat, ada Perancis lewat Total E&P Indonesia, Inpex Corp, Eramet, dll. terakhir adalah Kanada lewat Sheritt Internasional, Vale, Calgary, dll. Dari banyaknya perusahaan multinasional tersebut yang sudah jelas-jelas mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia, jarang sekali terdengar organisasi-organisasi Islam itu fokus mengadvokasi isu tersebut.

Ditambah lagi yang terbaru penggusuran di DKI Jakarta yang gubernurnya didemo 4 November lalu oleh organisasi-organisasi Islam. Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok selain dianggap menistakan agama juga menjadi orang yang paling bertanggungjawab atas penggusuran-penggusuran yang terjadi di DKI Jakarta.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta hingga Desember 2015, LBH Jakarta menemukan terdapat 113 kasus penggusuran paksa yang terjadi di DKI Jakarta dengan 8.145 KK dan 6.283 unit usaha yang terdampak. Dari 113 kasus penggusuran 84% penggusuran dilakukan tanpa melalui prosedur musyawarah, dilakukan dengan kekerasan berlebihan yang melibatkan polisi (67 kasus) dan TNI (65 kasus). Bahkan 64% (72 kasus) penggusuran paksa di Jakarta dibiarkan tanpa solusi, 28% (32 kasus) dilakukan relokasi, 8% (9 kasus) dilakukan ganti rugi.  Dari 32 kasus yang diberikan solusi relokasi, hanya 18 kasus yang memenuhi kriteria layak, 5 tidak layak, dan 9 kasus hanya merelokasi sebagian warga korban penggusuran. Dari 9 kasus yang mendapatkan ganti rugi, hanya 5 kasus yang memenuhi hak warga untuk mendapatkan ganti rugi yang layak.

Sedangkan tahun 2016 berdasarkan penelitian LBH Jakarta pada analisis APBD dan Rencana Detail Tata Ruang DKI Jakarta tahun 2016 menemukan 325 lokasi penggusuran PKL, rumah, normalisasi, dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang terletak di Jakarta Pusat (57 lokasi), Jakarta Timur (82 lokasi), Jakarta Selatan (77 Lokasi), Jakarta Utara (54 lokasi), Jakarta barat (55 lokasi). Rencana penggusuran tahun 2016 meningkat 3 kali lipat dari penggusuran 2015.

Relokasi atas penggusuran tidak hanya sekadar memindahkan tempat tinggal saja. Pemerintah juga harus memikirkan bagaimana mata pencaharian korban penggusuran, bagaimana psikologis anak-anak korban penggusuran, bagaimana akses pendidikan anak-anak korban penggusuran, dan masih banyak lagi. Lebih parah lagi dalam film dokumenter “Jakarta Unfair” garapan Watchdoc tahun 2016. Dalam film tersebut, korban penggusuran dipindahkan ke rumah susun berbayar, sedangkan kondisi mata pencaharian tulang punggung keluarga tersebut lenyap karena penggusuran. Penghuni rumah susun yang menunggak uang sewa rumah susun selama berbulan-bulan terpaksa angkat kaki. Secara tidak langsung penggusuran yang dilakukan pemerintah DKI Jakarta memang “membunuh” warganya secara perlahan.

Menurut data statistik Jakarta.go.id tahun 2014 DKI Jakarta memiliki warga yang memeluk agama Islam mencapai 8,34 juta jiwa atau 83% dari total populasi, yaitu 10 juta jiwa. Sementara warga Jakarta yang beragama Kristen mencapai 862,9 ribu jiwa, Katolik 404,2 ribu jiwa, Buddha 384,6 ribu jiwa, Hindu 19,5 ribu jiwa, dan Konghucu hanya 875 jiwa. Sekalipun tahun 2016 warga DKI Jakarta yang memeluk agama Islam menurun, setidaknya masih ada jutaan jiwa pemeluk agama Islam. Tidak mungkin pula warga yang berjumlah 8.145 KK korban penggusuran yang dikemukakan oleh LBH Jakarta semuanya adalah warga nonmuslim. Setidaknya jika organisasi-organisasi Islam tersebut hanya membela yang agama Islam saja, kenyataannya tidak ada. Organisasi-organisasi Islam tersebut tidak menjadi garda terdepan mengadvokasi isu penggusuran di Jakarta. Lalu ke mana mereka?

Mengapa mereka tidak demo dan teriak “penjarakan Ahok atas penggusuran paksa” yang dilakukannya, padahal menurut Resolusi Komisi HAM PBB No. 2004/28: penggusuran adalah bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia khususnya hak atas perumahan dan tempat tinggal. Menurut Komentar Umum PBB No. 7/1997: penggusuran merupakan cara terakhir apabila tidak ada alternatif lain dalam suatu musyawarah yang tulus. Apabila penggusuran tetap dilakukan tanpa didahului adanya suatu musyawarah yang tulus, maka jelas penggusuran tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Mengapa organisasi-organisasi yang mengatasnamakan organisasi Islam itu tidak turut serta membela umat muslim atau nonmuslim yang digusur rumahnya?

Aksi 4 November maupun #AksiDamai212 tidak salah, itu adalah hak warga negara yang dijamin oleh UUD 1945 dalam negara dengan sistem demokrasi ini. Hal yang menjadi titik tekannya adalah soal tuntutannya “penjarakan Ahok karena menistakan agama”. Dengan tuntutan tersebut saja, ribuan massa tergabung dalam aksi ini. Bayangkan saja jika tuntutannya ditambah “penjarakan Ahok karena melakukan penggusuran paksa dan pemerintah DKI Jakarta tidak melindungi maupun menghormati hak atas perumahan dari warganya” sudah tentu massa aksinya makin banyak dan makin kuat tekanan terhadap pemerintahnya.

Saya berharap ormas Islam juga ke depannya tak hanya mengadvokasi permasalahan yang terkait langsung dengan akidah, namun juga perkara yang melibatkan rakyat dengan penguasa/pemodal. Dengan begitu ormas-ormas pembela Islam tidak akan melulu dicibir sebagai tukang rusuh, suka membubarkan acara lain, ataupun massa nasi bungkus. Ketika ormas-ormas Islam di Indonesia juga keras meneriakkan ketidakadilan penguasa/pemodal terhadap rakyat, dan menjadi garda terdepan pembela rakyat (umat muslim maupun nonmuslim), tentunya cibiran-cibiran terhadap ormas Islam kelamaan akan hilang dan citra positif pun akan muncul.[]

Post tags:

Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia, kini menjadi Koordinator Bidang Penalaran di Forum Komunikasi UKM UPI. Juga begiat di Front Mahasiswa Nasional (FMN).

KOMENTAR
You don't have permission to register