
Puisi-Puisi Rizki Amir
Bakal Campuhan
di ujung tombakmu langit jadi jebakan, kota-kota berlalu jadi biru. seperti sang junjungan, kususun lagi hitam tanah blumbangan. tapi ternyata bebiji matamu adalah gelap sempurna. bakal campuhan tak berkesudahan. jembatan dalam demam. meski telah kudatangkan serimbun bara, tetap saja aku terbata-bata
membaca lekuknya. di palagan, hanya di palagan, resam sedekat mati. dan lumbung menggirangkan jampi tertinggi. sebab dirimu angka pertama dari alengka. dan kembang terlampau panjang. orang-orang berjalan dalam kata lambat. tapi tak pernah benar-benar lambat dalam pikiranmu.
benteng istana menghadang luka di antara remang cuaca. upaya menghindari tikaman, persaudaraan. titah hanyalah sebatas kepala, katamu.
tapi dari kayu itu wajahku
jadi bangka yang makin menjauh.
topengmu, topeng dahagamu kian merona merah. tiap kali para perempuan mengganti besi dengan kendi, membersihkan duli-duli api di malam hari.
Kitab Angin
huruf miring adalah wangi melati. di lembar yang tak utuh pukulan-pukulan kujajal-jejalkan. sunyi. segumpal kepercayaan digurat sengaja. genderang perang dari arah tenggara saling-silang. o, parak pagi. pengetahuan-pengetahuan terus berjatuhan. membentuk tanda pada menara. di bawah kakimu sebuah kesalahan dari segala gema tercipta.
surai-surai matahari dan ujung belati. aku biarkan kalimat-kalimat majemuk bertingkat memainkan kelokan yang tak terduga. lalu di setiap halaman, benteng-benteng dan takhta, tentu saja, meloncat ke dalam ketidak-pastian. selingan. di bagian ini, bayangmu seperti tak menghendakinya. tapi kita terlanjur meletakkan keyakinan yang runcing
di sorak-sorai pemujaan.
dalam jeda, kuminta segenggam widuri hanya. di langit, orang-orang berjalan, membiarkan lengan-lengan dipenuhi kepedihan. garba. dengan semua sabda kutukan dipatahkan. kita sama-sama tahu,
kitab itu meninggalkan telur berwarna ungu.
Kota Kematian
/1/
di suatu malam yang lengah, dalam tiap adegan, beribu-ribu nyawa putus. alengka penuh darah. menyisakan gema panjang di dada. dan si putra mahkota, tak pernah merasa bersalah. membawa sepotong matahari di batas selatan kota.
rambutnya kian lama kian panjang bergelombang. sebab sebelum pembantaian itu, telah ia lepaskan warna putih-ungu, yang selalu kita pertengkarkan namanya, yang mula-mula tampak ganjil.
/2/
setelah perang selesai, setelah seorang perempuan menari, atau terpaksa menari, dalam kobaran api. alengka tak sempat jadi sesuatu yang berbeda.
dan kita justru lari ke kota itu,
untuk kemudian mati.
Sapi Benggala
/1/
dengan segenap peluk, aku menjelma dua tanduk. sebuah parit melambat. hingga belati tak beranjak pergi, masih tercium olehku harum pertemuan. di kelam malam perempuanmu datang dan berkata, terbanglah kembali, sebab kita adalah akhir. tapi dendamku membesar, dan terus membesar.
/2/
dan mengeras aku di batas hitam kakimu. gerhana mengekalkan permainan. seketika aku tahu kamu tak cukup suci untuk dinanti. kulupakan kutukan dan perumpamaan. sebab tebing, katamu, adalah bunyi tidak yang dikemas.
Walmiki
hikayat itu tidak pernah tamat. tidak akan pernah. sebab pertempuran dibentuk oleh seseorang yang tak lagi bisa disebut namanya.
ia, karena merasa menciptakan dosa terberat,
tak lagi mau merawat hikayat. sebab ruhnya telah menjadi batas-jarak saat ia merapal sisa mantra di dada.
Tombak
kamu tiupkan napas ke kedua telapak. napas yang serta-merta mengantarkan namamu pada duka di jendela. seikat mantra menjelma kutukan. disapu-ratakan. di antara nasib dan keputusasaan. mala tidak pernah diberi nama. magrib
menghantam dadamu.
pekarangan berangsur-angsur gelap. sejarah telah mengubah pikiran. lalu sebuah tombak terlempar ke utara. dan tulang rusukmu gemetar.
pada gradasi berikutnya, perbatasan mengaburkan kalimat-kalimat tanya setelah babak ketiga.