Fb. In. Tw.

Puisi-Puisi Nanda Alifya Rahmah

Melempar Batu Gramatika ke Tepi Jagatraya

gatra

mendengar panggilanmu darahku jadi bercabang bagai sungai bimasakti mencari lautan yang layak dicemari, maka aku tinggalkan puisi ini ke dalam kata, suaka penampungan limbah kemanusiaanku, cinta yang terus mencari muara gema, dinding terakhir di kedalaman antariksa

zarah

kita pun menjelma kuantum keadaan membagi-bagikan makna ke dalam tanda koma klausa mahapanjang demi merasakan waktu yang lengket di dinding hitam kamar penghukuman ini aku bergelung mendalamimu menjadi inti keintianmu lama sekali kita sampai ke puncak sana menamai seluruh dunia dengan sebuah lalu turun kepada manusia sebagai wahyu, meruntuhkannya

anakronik

kukirim padamu sehelai rambutku yang tak bisa lagi tumbuh menyerap semua kata yang kini jadi bah bergerak pelan dari ujung dunia apakah kau bisa menyihirnya menjadi seperti cinta seperti pohon mangga yang bisa tumbuh kembali asal tidak disiram bensin sebab kepalaku kini cuma pot kayu yang terlalu sering dijemur dibasuh dijemur dibasuh di bawah matahari bukan tempatnya mewadahi akar napas yang gemuk yang semestinya dibiakkan di rawa bebas seperti benih bebas

diakronik  

biarkan aku kelaparan sampai semua kegelapan yang menjajah puisi ini selesai kutanak barangkali seekor rusa risalah akan lewat dan rela dipanah dengan rusuk bunyi yang sudah habis patinya ini lalu cuaca berubah mesra meminjamkan payung merah jambu di atas bumi menitik huruf dan kembang lagi kau tampil padaku berdandan manis seperti anak kecil yang suci kembali kita berdua berkitar seperti sepasang kunang-kunang yang tak merisaukan kaukah jantan akukah betina sebab tak akan ada cukup cahaya untuk mendebat manakah tanda apakah makna

nur

dari mana kau datang kok huruf-huruf ini berdarah seperti makhluk mentah yang dipanen paksa padahal aku bukan tengkulak yang harus kejar setoran apalagi jin masa depan yang ngotot tak mau pulang sebab keberatan kalau di akhir cerita seorang putri cantik harus jadi batu aku kan bebas menulis sebanyak sesedikit apapun kumau aku kan bebas merawatmu bahkan menyembunyikan keberadaanmu meski seisi dunia menggugatku sebagai ibu yang kurang bertanggung jawab pada kodrat kelahiran membiarkanmu menua seperti jenderal sherman tanpa ikut menyumbang pokok kayu dalam proyek pembangunan kemanusiaan justru merekalah yang pandir asal mematok menolok memutustentukan takdirmu sebagai nur yang hanya boleh merambat lurus sejauh apapun tempat datangnya dari luar semesta padahal tidak satu kali pun pernah memikirkan apakah semesta

teritorium

di luar kepala ini aku meledak jutaan kali mengirim gambar manusia padamu, kau terjemah cintaku, pesta pesawat ulang-alik lepas landas tanpa garis tanpa titik tanpa ruang kosong benteng partisi kau-aku sepasang kata wantariksa bukan awak bukan isi melanggar tafsir

2022

Ameba

ke dalam matamu aku mengintip kata membelah diri bersama pintu kunci gelas kaca di sebuah dunia, aku makhluk tingkat rendah menandai benda-benda, lalu langit ulur memanjang, bintang dan bulan mendatar, angin menggaris merangkai seribu ular, dan kau pun terjadi

meski di atas pasir tafsir puisiku ditulis dihapus dibiaskan, tak bisa bangun membangunkan makna dan kewaktuan, maka ucapkan ujarkan cintaku dengan bibirmu ciuman, dimensi ketiga bebunyian membawa jagat biotik ini ke tangga terakhir evolusi, utang piutang abadi penyair agung yang selalu sendiri

2022

Kata Pertama di Atas Bumi 

jangan kau buka pintu penjara ini agar aku tidak tergoda untuk lari ke luar bumi mencari rumah baru untuk kawin dan berbiak memerah habis laut dan langit demi gurun kegelapanku tolong biarkan bintang tetap anonim dan goa-goa terkubur belantara agar kedalamanmu tetap rahasia sebagai jagat yang belum disentuh mimpi manusia

sementara kudengar jantungmu berdenyut di telapak tanganku membuat garis hidupku susut kembang susut kembang sebanyak angin bercabang mengembara dari ujung lingkaran ke ujung lingkaran

2022

Tambang Mentah

seperti bumi, puisiku balon bocor meracuni dada sendiri, duh orang yang menanam kata di situ, di mana bahasa memayungi paru-paruku, diam penggali berkarat, dengan pikiran mengeruk tambang-tambang baru, aku masuk-keluar darimu, hujan tersuling dari minyak hitam pandanganku, memanggil sri rahayu ke tambak ladang, duh orang tengadah menadahnya, mendapatkan timah makna, minum haus dan makan kelaparannya, memenuhi diri dengan kekosongan keberintiannya

2022

Lahir di Surabaya. Menulis puisi, esai, cerpen dan naskah drama. Menyelesaikan studi Sastra Indonesia di Universitas Airlangga, berkesenian di Teater Gapus Surabaya, No-Exit Theatre, dan FS3LP.

KOMENTAR
You don't have permission to register