Fb. In. Tw.

Puisi-Puisi Galeh Pramudianto

Efek Kupu-kupu
–Ria Tri Rahayu

kepakan sayapku di tubuhmu
mengguncangkan kota dalam jantungmu
lalu merambat ke seluruh penjuru
dari heliks ganda dna hingga bulu kuduk
terus menjalar di padang luas
menerbitkan cemas
menenggelamkan getas

detak jantungmu sebelum invasi itu
seperti mitos piring terbang:
ayal dan tak berkesudahan

“pertunjukan paling canggung sedunia,”
ujarmu di selubung waktu

“kusaksikan opera buffa
kidung kesetiaan dalam remah panggung,”
tuturku tatkala diselimuti waktu

pernah
sebelum rencana dalam renjana itu mewujud
aku terlarut dalam beberapa andai
di antaranya adalah

seandainya aku tertidur selama jutaan tahun
mungkin bangunnya tak bertemu pada sebuah sahutan

seandainya kembaranku memanggil dan mengajak jalan-jalan
mungkin jiwaku kembara pada setampuk lara

seandainya kamu mendusin saat bagian ini
mungkin puisi ini tidak pernah ada

seandainya saat itu
sayapku tak mau mengepak
dan hanya melekat tanpa gerak
maka kota dalam jantungmu-jantungku
hanya penghabisan liku
tanpa lagu dan kisah-kasih
tak menentu.

Wadassari, 2018

Setelah Data

1/
suaranya menggema di sekujur tubuh
bigdata. bigdata.
kulempar sebutir atom jiwaku
ke hampa ruang matamu
lalu meledak setelah data tersisa
segala jejak domba-domba digitalnya

di suatu waktu
kau potret tubuh sintal
menjadi inti sel segala sesal
lebur di rimba maya
sidik jari menempel di layar.

2/
aku seperti ikan di sebuah hologram
diproyeksikan ke permukaan bak air
tenggelam dalam enigma kaca
dan dinding-dinding kolaps di sekelilingmu
menembus ruang dan menguliti waktu.

3/
aku lahir untuk siapa saja
tanpa tahu pangkalnya
seperti menghitung bintang di angkasa
atau domba dalam tidur panjangnya

di antara tsunami data
kutenggelam dalam riwayatmu
seperti semedi di atas dipan
dalam lengkung panjang pelayaran.

Bintaro, 2018

Multisemesta

1/
Aku mendengar suaramu jauh dari sini
pantulan gemanya memanggil-manggil namaku
membuat tirai cahaya serupa silika nan jernih
meraung seperti mercusuar di samudera yang sepi
hingga di luar horizon itu
memancar ke seluruh penjuru
di laut semua membusa abadi

aku mengembung menjadi gelembung tak terhitung
serupa air yang dididihkan dalam panci
memuai dan bertumbuh
terpisah menjadi lebih dari diriku
seperti beledu yang dirusak waktu

gema penciptaan itu terdengar
dalam gelembung-gelembung semesta
di mana kita berada
dan gelembung itu bertabrakan
menyisakan memar luka
di antara bukti keberadaan kita:
gugus galaksi berkondensasi dari riak-riak quasar
dan kuantum di bola api asal
bintang meledak memuntahkan ragam materi ke angkasa
teleskop antariksa dengan tekun memotretnya
di antara halaman-halaman fiksi
serta jurnal ilmiah peneliti
filamen semesta terus berakselerasi
dengan manuver liar maupun rapi kendali.

2/
Dalam periode inflasi ini
“Di manakah kita di alam semesta?”

aku mendengar bisingmu
tapi aku tak pernah menatapmu
barang sedetik
pun

bicaralah padaku kasih
meski kau jauh dan dikerubungi pilu
suaramu masih terdengar nyaring
betapa riang aku memahaminya sering

Apakah kita sendirian?
pertanyaanmu tertanam
di benih waktu
dan bisa kita tuai
setelah kepunahan kesekian

Jika aku dan aku serta kau dan kau
ada bersamaan di antara sebuah antara
saling memandang di miliaran atom
dan cermin retak berdampingan
dengan patahannya di lantai
apakah yang akan aku dan kau lakukan?

Pikiranmu adalah planetarium
di mana setiap memori adalah meteorid
dan setiap permintaan maaf membakar
seperti bintang yang sekarat
hatiku adalah planet
cintaku padamu seperti kehancuran dunia
akan tiba pada suatu masa
semesta membeku dan lenyap
dan kita masih bebal pada suatu harap.

3/
Hawking bersenandung
“Pelancong waktu tak akan kembali
ke taman penciptaan…”
Sementara aku bergumam
“Matamu masih supernova
alam semesta tidak berterima di teleskop mereka

juga matamu seperti asteroid yang jatuh
penuh marabahaya
dan zaman kian gempita.”

Di galaksi yang kolaps diriku-dirimu ditelan singularitas
di mana seluruh hukum fisika meluruh dan runtuh
kita melipat jarak dengan sebuah pertanyaan
di mana waktu berhenti oleh hangatnya ketidakpastian.

Jika dunia ini simulasi komputer
atau mungkin di luar lingkar ruang dan waktu
jauh dari langit ke tujuh
dan sembilan dimensi yang luruh
aku tetap memandang peta
mengeja tanda-tanda
memeluk erat kitab-kitab
meski telah lama nanar dibuatnya

dan dari dimensi serta semesta ini
seperti pendar api
yang hidup dari batang lilin.

2018

Kabar dari Dasar Laut

1/
karena aku menemukan jasadmu lebih dulu
dari kisah cinta yang tak pernah menentu
maka aku diajarkan untuk
tak selalu sedih ketika duka menyapa
dan tak harus bahagia
ketika kabar gembira memeluk kita

2/
dulu kota telah jelma jadi cerita dan legenda
thonis telah meringis
heracleion jauh dari panggang api
dan pavlopetri menjadi bijibiji
kini setelah aku bertemu amsalmu
maka aku telah merelakan itu
sebelum waktu menemukanku

3/
dari titik ke titik latensi
ialah jalan panjang menuju
lebar pita kabel-kabel menyerbu segala penjuru
menujumu di antara nujum-nujum itu
namun sebelumnya ialah gir bergerigi
aku hampir bisa menciummu melalui kaca ini
komputer analog menggema di sekeliling kita
lewat mekanisme antikythera
bagai libretto yang membacakan
notasi kematian
di antara masa depan kejayaan

4/
pesawat jatuh dan bangkai lautan
adalah hari panjang punggung samudera
di lautan yang mengakui kegelapan
bersenandung kadang menjadi karam
dan haru biru bukanlah berita baru.

2019

KOMENTAR

Penikmat seni pertunjukan, film, dan sepakbola. Buku puisinya "Skenario Menyusun Antena" (IBC, 2015). Blog pribadinya: www.senandungmendung.com

You don't have permission to register