Fb. In. Tw.

Popularisasi Bumi Manusia dan Sekadar Saran untuk Dedi Sahara

Memprotes ada atau tidak adanya suatu adegan dalam karya alih wahana adalah suatu kenaifan belaka. Hal itulah yang tunjukkan oleh Dedi Sahara dalam tulisannya yang berjudul “Seandainya Pram Menyaksikan Film Bumi Manusia.

Dalam tulisannya, Dedi Sahara mengharapkan kemurnian teks novel di dalam film sehingga penambahan dan penyimpangan yang terjadi dalam film dianggap bidah. Sebagai seorang “salafi”, Dedi Sahara enggan berkompromi bahwa masing-masing karya, baik novel dan film, memiliki konvensinya sendiri sehingga perbedaan itu sangat mungkin terjadi.

Baca juga:
– Alih Wahana Bunga Penutup Abad

– Hilmar Farid dan Perkenalan Pertamanya dengan Karya-karya Pramoedya

Beberapa kali saya melakukan kajian terkait dengan alih wahana dan intertekstualitas. Akhirnya, saya berkesimpulan bahwa alih wahana bukan disiplin yang sekadar mengecek ada atau tidak adanya adegan. Alih wahana dan intertekstualitas juga melihat efek yang dihasilkan dari ekspansi, konversi, dan seleksi teks. Dalam pada itu, saya melihat bahwa Hanung Bramantyo melakukan upaya yang positif terhadap teks filmnya.

Saya melihat bahwa Hanung Bramantyo berupaya bernegosiasi terhadap kelompok “salafi” dan kelompok anak muda yang tidak terliterasi. Oleh sebab itu, ia lebih menonjolkan kisah cinta Minke dan Annelies Mellema, tetapi menjaga alur agar tetap sejalan dengan novel. Apakah hal dengan menonjolkan cerita percintaan itu adalah salah? Tentu saja, tidak.

Sebagai contoh, novel Studen Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo adalah karya subversif pada masa kolonial sehingga digolongkan ke dalam bacaan liar. Novel tersebut menceritakan percintaan anak remaja. Tentu saja, percintaan anak remaja tempo dulu berbeda dengan sekarang. Percintaan remaja yang diceritakan Mas Marco Kartodikromo dibumbui dengan gerakan nasionalisme dan kesadaran antikolonialisme.

Novel ini adalah novel (sastra) populer sehingga percintaan tampak lebih menonjol; nilai-nilai antikolonialisme melaju bersama kisah cinta dalam novel itu. Spirit itu pulalah yang dibawa oleh Hanung Bramantyo dalam filmnya. Ia ingin semua kelompok, baik “salafi” dan anak muda yang tidak terliterasi, dapat menontonnya.

Mengubah karya yang ideologis menjadi populer bukanlah sebuah dosa. Namun, cara itu akan menimbulkan efek. Kita akan melihat tokoh-tokoh yang sedikit berubah. Misalnya, di dalam novel, tokoh Jean Marais tidak hanya menjadi teman curhat Minke untuk soal cinta, melainkan untuk soal pemikiran, tetapi, di dalam film, tokoh ini agak berubah. Hasilnya, intensi ideologis dari novel Bumi Manusia jadi lebih halus. Meski lebih halus, intensi itu tetap tercapai karena ruh perlawanan telah meresap dalam teks novel sehingga mau diubah bagaimana pun ruh itu akan tetap ada dengan sendirinya.

Pemilihan Iqbaal Ramadhan sebagai Minke dinilai sebagai usaha memopulerkan novel ini dan ini sangat berisiko. Namun, Iqbaal Ramadhan menunjukkan usahanya untuk lepas dari karakter Dilan dengan cara menggunakan gestur-gestur khas. Namun, tetap saja ada bagian-bagian saat Iqbal Ramadhan menggunakan tubuh Dilan; atau mungkin sosok Iqbaal Ramadhan tidak bisa lepas dari Dilan?

“Jangan-jangan Minke adalah kakek buyutnya Dilan,” kata saya kepada Istri saya.

Selanjutnya, mengenai adegan yang membuat Dedi Sahara gemez, yakni protes kelompok Islam terhadap pengadilan Belanda. Pendapat Fasha Rouf dalam tulisannya yang berjudul “Boleh ke Toilet Saat Nonton Film Bumi Manusia masuk akal. Namun, saya lebih melihat itu sebagai upaya Hanung Bramantyo untuk menunjukkan bahwa kelompok Islam juga turut melawan kolonial, termasuk kelompok primordial yang diwakili Darsam, dkk.

Narasi yang ditonjolkan dalam peristiwa itu juga bukan narasi cinta, melainkan narasi antikolonial. Wacana agama pada masa itu adalah bahwa penjajah adalah kafir yang harus diperangi oleh sebab itu, adalah narasi Islam vs kafir.

Bagi saya, politik identitas yang ditampilkan oleh film tetap sejalan dengan novelnya. Politik identitas dalam kedua teks tampak masih kompleks; tidak hitam dan putih; tidak menilai bahwa Eropa itu jahat dan Timur sebaliknya. Politik identitas di kedua teks menunjukkan bahwa manusia pada dasarnya setara. Sistem kolonial-lah yang membuat perbedaan antara Barat dan Timur.

Seperti Fasha Rouf, saya agak terganjal dengan lagu “Ibu Pertiwi” di akhir adegan. Nggak pas gitu. Aneh. Mungkin maksudnya, untuk menguatkan pesan kekalahan atas sistem kolonial. Tapi aneh aja gitu.

Namun, bagaimana pun, menurut saya, film ini masih berhasil mengakomodasi intensi novel sekaligus memberi hiburan kepada penonton. Di Instastory sitnurmala, film ini berhasil membuat sekelompok remaja sesegukan. Artinya, mereka tersentuh atau larut dalam film ini yang belum tentu mereka dapatkan saat membaca novelnya.

Baca juga:
– Melawan Kepasifan dalam Novel “Sekali Peristiwa di Banten Selatan”

– Ingat Pram: Rindu Sastra Realisme Sosialis

Sekadar saran untuk Dedi Sahara, jika menonton film atau membaca buku, nikmati saja dulu film atau bukunya. Jangan skeptis dulu. Kalau kamu begitu terus hidup kamu gak akan tenang.

Saat menonton film ini, saya sendiri memosisikan diri untuk menjadi penikmat. Dan, itu berhasil. Saya mampu menikmati film ini. Saat membaca bukunya, saya selalu membayangkan suasana dalam novel itu: Bagaimana suasana Surabaya pada masa itu? Bagaimana suasana jalan ke Wonokromo pada masa itu? Bagaimana bentuk rumah Nyai Ontosoroh, gerbangnya, perkebunan luas di belakang rumah, dan kandang sapi?  Bagaimana sosok Annelies yang manja dan rapuh? Bagaimana Minke mencium Annelies?

Pertanyaan-pertanyaan di atas seolah terjawab oleh film Bumi Manusia. Setidaknya, kecuali tokoh Minke, gambaran di film hampir sama dengan imajinasi saya saat membaca novelnya. Bagi saya sih itu “Wow!”[]

KOMENTAR
You don't have permission to register