
Polbek Dong!: Pameran Transmedia Sastra dan Seni Rupa
Siaran Pers
Tanpa kehadiran negara suatu bangsa tetap ada. Hal ini menunjukan bahwa negara hadir atas suatu dasar kebutuhan, semisal berdaulat dan sejahtera. Kebutuhan tersebut termanifestasi dalam berbagai aturan, sistem, untuk dianut dan diikuti oleh setiap warga negaranya. Hal ihwal kesejahteraan, negara menyelenggarakan pendidikan.
Tahun 2003, muncul undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Regulasi yang dibuat untuk mengelola Pendidikan di Indonesia. Negara sadar pentingnya mencerdaskan kehidupan bangsa, membangun kesadaran moral, intelektual, mental, dan ketahanan fisik masyarakat dalam suatu kerangka pendidikan nasional. Terlepas dari segala kontroversinya, undang-undang itu berlaku hingga sekarang ini dan tentu saja menimbulkan satu dampak signifikan pada kondisi pendidikan dan kehidupan bangsa Indonesia.
Undang-undang Sisdiknas mengatur upaya pemerataan pendidikan, peningkatan mutu yang efisien dan relevan. Hal tersebut guna mencapai dan mempertahankan kebutuhan hidup masyarakat dalam segala tantangan perubahan lokal, nasional, dan global. Disusun secara terencana, terarah dan berkesinambungan. Meski kemudian tentu saja pada praktiknya pemerintah belum sepenuhnya memandang Indonesia dalam versi yang lebih luas, sehingga pelaksanaan di daerah masih terbata-bata, bahkan tidak sesuai dengan apa yang direncanakan.
Namun kita tidak bisa mengelak, bahwa sistem yang wajib diselenggarakan suatu negara itu telah dianut masyarakat dari generasi ke generasi hingga saat ini. Masyarakat merasa percaya sistem itu mampu menyelamatkan mereka dari kebodohan dan kemiskinan. Tradisi itu akhirnya menciptakan suatu tipe masyarakat, suatu keadaan bangsa yang amat berpegang pada pendidikan yang diselenggarakan negara.
Pertanyaan kemudian, apakah sistem itu mampu mengarahkan masyarakat pada kedaulatan dan kesejahteraan? Apakah sistem itu telah berhasil diterapkan? Melihat angka kemiskinan, pengangguran, kematian, korupsi, pelanggaran hukum, intoleransi, dan instabilitas negara yang semakin meningkat, kita mesti kembali memeriksa, mengoreksi, bahkan mungkin menuntut sistem tersebut.
Polbek
Polbek diambil dari gejala kultural masyarakat hari ini dampak dari siklus kerja media sosial. Polbek secara harfiah merupakan bahasa slang, kependekan dari follow back, berarti meminta diikuti oleh orang yang baru saja diikutinya/di-follow-nya. Biasanya terjadi di media sosial dengan sistem pertemanan yang saling mengikuti semisal Facebook, Twitter, dan Instagram. Kultur ini menciptakan suatu gejala pamrih, menuntut, timbal balik, sebagai konsekuensi dari telah tersalurnya satu kepentingan.
Gejala kultural itu tentu menciptakan suatu gejala psikologis tertentu pada masyarakat hari ini, semisal hasrat pengakuan/eksisnya yang meningkat dan menuntut dipenuhi. Dan tentu saja kita bisa merasakan dan mengalaminya sendiri bahwa betapa masifnya fenomena polbek di media sosial. Maka tidak gegabah jika menarik gejala ini dalam suatu konversi yang lebih besar semisal praktik sistem pendidikan nasional di Indonesia.
Telah lama setiap warga negara mengikuti (follow) sistem pendidikan yang diatur negara. Warga negara mengikuti sistem itu dengan beragam kepentingan. Pemerintah menciptakan daya tempuh berupa sistem pendidikan yang berbelit-belit, berbiaya mahal, yang jika ditinjau dari segi hak dan kewajiban amatlah merugikan masyarakat. Namun apakah pemerintah telah memenuhi kepentingan masyarakat tersebut? Telah melakukan follow back, ditengah kondisi tuntutan pemerintah yang berat? Jika belum, lantas kenapa juga akhirnya masyarakat tidak meminta polbek, sebagai bentuk sikap yang secara kultural telah mereka lakukan di media sosial? Gelagat paradoksal ini menjadi satu kerangka riset dan jelajah berkarya seniman di dalam Pameran Transmedia Sastra dan Seni Rupa bertajuk Polbek Dong! prakarsa ASAS UPI dan Studio 229 UPI.
Pameran ini akan dilaksanakan pada 18 s.d. 23 September 2017, di Griya Seni Popo Iskandar, Jl. Dr. Setiabudhi 234B, Isola, Sukasari, Bandung, Jawa Barat.