Fb. In. Tw.

“Manusa Jero Botol”: Gusjur, Mesti Keluar!

Tulisan ini adalah bentuk apresiasi dari pementasan bermutu yang akhir-akhir ini begitu langka hadir di kota Bandung. Pementasan tersebut disutradarai oleh Gusjur Mahesa berjudul Manusa Jero Botol naskah karya Yusef Muldiana saduran Rosyid E. Abby. Pentas di Gd. Rumentang Siang Bandung pada hari Senin (18/4/2016) dalam rangkaian Festival Drama Basa Sunda (FDBS) 2016.

Saya meminta dengan hormat kepada Mas Gusjur untuk berhenti mengikuti festival ini dan kepada pupuhu Teater Sunda Kiwari, Kang Dadi P. Danusubrata untuk menjadikan Gusjur Mahesa sebagai juri di festival berikutnya. Sebab anda mesti jujur pada saya dan audiens setia festival ini, apakah Mas Gusjur kurang pantas dan belum waktunya berada di maqom itu?

Saya sadar, kesuksesan sebuah pertunjukan tidak hanya ditentukan oleh sutradara yang handal. Aktor dan perangkat lain di dalam pertunjukan menentukan keberhasilan sebab teater adalah kerja kolektif. Namun pada taraf kerja sutradara, Gusjur Mahesa telah memiliki formulasi khusus dan khas. Ketika aktor, naskah, dan tim teaternya sesuai dengan formulasi tersebut, maka pertunjukan dapat berubah menjadi makhluk kejam yang mengoyak pikiran penonton, dari awal hingga akhir pertunjukan.

Sutradara bertanggungjawab untuk menjadi garda awal dan akhir sebuah pertunjukan dibentuk. Pilihan naskah, gagasan, pilihan aktor dan pemeranan, struktur dan dimensi dramatiknya, mixing dan finishing-nya menjadi tanggungjawab berat seorang sutradara. Manajemen estetika semacam ini akan memunculkan selera dan kekhasan setiap sutradara, dan Gusjur telah sangat menguasainya.

Pertunjukan Manusa Jero Botol memperlihatkan keseriusan itu, totalitas seorang sutradara. Sutradara yang serius tidak memaksakan domba dapat bicara, tapi sederhananya sutradara yang baik adalah yang menyembelih domba, memasaknya, untuk dimakan orang-orang agar lebih semangat berbicara. Gusjur sadar benar filsafat itu dan begitu tampak di dalam pertunjukannya kali ini. Mari kita lihat siasat cerdas sutradara yang muncul di dalam pertunjukan dengan terlebih dahulu mengesampingkan bahasan karakter Gusjur yang cenderung kolosal dan bernada teater rakyat. Bagian ini akan dibahas kemudian.

Tokoh Dora, seorang anak yang tertekan. Bahkan teks mengumpamakannya sebagai “manusia yang berada di dalam botol”, seorang “narapidana yang dijaga sipir adikuasa”, yakni ibunya. Melihat itu Gusjur pasti dihadapkan pada beban aktor yang mesti kuat pendalaman psikologisnya. Hasrat seksual yang menggebu dari tokoh Dora di masa pubernya (umurnya di bawah 25 tahun) terpenjara di dalam kamar hingga melampiaskannya pada botol-botol sebagai penghibur hati dan teman ngobrolnya. Seorang remaja yang ketika pergi ke luar rumah pun mesti dalam kuasa ibu, tidak boleh pergi sendiri dan merasa bebas. Ada pergulatan hasrat semacam itu yang mesti didalami aktor untuk sampai pada pemeranan yang maksimal.

Gusjur mungkin melihat kerja psikologis yang berat ini dan melakukan siasat pemeranan yang menurut saya cerdas. Psikologis Dora dimunculkan dalam pemeranannya yang ganda. Tokoh Dora jadi dua orang. Sebuah teori sederhana dari penyutradaraan yang diaplikasikan dengan baik oleh Gusjur, yakni proyeksi. Gusjur tidak memaksakan anak didiknya (Teater KSSI STKIP Siliwangi) untuk menanggung beban keaktoran semacam itu. Ia melakukan kerja ruang interpretasi untuk penonton. Ketika tokoh menjadi dua orang dengan satu pemeranan dan kostum seragam, namun menampakkan dualisme sifat di dalam manusia yang berbeda seperti menampilkan sisi keberanian dan ketakutannya, maka penonton akan dihadapkan pada kompleksitas psikologis Dora. Meski bentuknya menjadi verbal, lumrah, dan sederhana, namun pembagian dialog dan kontras sifat ini akhirnya menawarkan ruang bagi penonton untuk masuk mengilhami dan mendalami tokoh Dora.

Penonton jadi curiga dan menebak-nebak, tidak digurui oleh satu karakter saja, benturan-benturan karakter dari dua tokoh yang sebenarnya satu ini menciptakan ruang bagi penonton untuk merasakan dan memasuki kompleksitas batin Dora. Kerja sutradara yang menurut saya berhasil sebab hal ini bukan menghindari kerja pendalaman aktor tapi merekayasa pendalaman itu dalam bentuknya yang lain, yang tetap menghadirkan hakekat karakter yang komplek itu.

Siasat sederhana yang cerdas ini juga nampak pada jelmaan botol di dalam pertunjukan. Naskah ini menghadirkan botol sebagai benda dan botol sebagai simbol. Sebagai benda, botol-botol itu adalah koleksi Dora untuk menemani kebosanan dan kesepiannya di dalam kamar. Dihidupkan oleh Dora dengan diberi nama, diberi karakter, diajak ngobrol dan curhat layaknya manusia. Botol sebagai simbol adalah cangkang/wadah yang memenjara isi/cairan botol, kamar yang memenjara Dora, atau aturan-aturan ibu yang membatasi kebebasan anaknya. Dua makna botol itu dihadirkan Gusjur dalam satu visualisasi saja. Botol secara sederhana dihilangkan sebagai benda, tapi langsung ditegaskan saja imajinasi Dora itu dalam visualisasinya yang verbal. Botol-botol itu divisualkan sebagai orang-orang dengan karakternya yang beragam.

Manusa-Jero-Botol-Asep-Supriatna

Kerja penegasan ini menghasilkan efektivitas dan kreativitas bebas yang menghidupkan pertunjukan. Botol yang menjadi gagasan naskah ini akan dikejar lapisan maknanya oleh sutradara manapun hingga lapisan makna yang paling dalam. Membangunnya dalam berbagai tanda-tanda dan peristiwa-peristiwa dalam jumlah tertentu. Gusjur mengejarnya dengan hanya memegang satu tanda andalan, yang menurutnya paling kuat, satu interpretasi, namun konsisten dihadirkan pada seluruh unsur pertunjukan dan bijak dimanfaatkan.

Botol yang dihidupkan menjadi manusia dalam beragam interpretasi itu bukan hanya menjadi tokoh yang secara naskah pun memang menjadi teman berbincang dan teman imajinasi Dora, tapi juga menjadi artistik fungsional semisal pintu dan lain-lain, menjadi musik dan tarian yang menghidupkan gejolak hati Dora dan gejolak peristiwa yang terjadi di dalam kamar. Betapa sederhana bukan? Ya, tapi dengan kualitas Gusjur yang terbiasa mengelola grouping/koor, kekompakan dan ketepatan gerak yang presisi dan berpadu dengan musik menjadikan pertunjukan ini tampil memukau.

Dari dua hal siasat penyutradaraan sederhana yakni proyeksi dan pemanfaatan satu interpretasi (botol yang dijadikan koor) saja, Gusjur telah mampu melarutkan penonton dalam irama pertunjukannya. Kunci yang saya baca dari kerja penyutradaraan Gusjur adalah konsistensi. Setiap aktor memainkan dua siasat itu dari satu adegan ke adegan lainnya. Konsistensi ini menciptakan logika baru di dalam pertunjukan. Seperti misalnya tokoh Mardi yang dilipatgandakan menjadi empat orang adalah konsistensi dari tokoh Dora yang digandakan. Peristiwa imajiner semacam itu pun hadir dalam bentuk lain, semisal tangga putar yang diimajinasikan dengan peristiwa tokoh yang berputar-putar mengelilingi tiang dan pohon yang diwujudkan menjadi orang.

Ciri khas Gusjur muncul di dalam pertunjukan ini yang juga berhasil adalah konsep Brechtian-nya. Selain permainan koor/grouping yang kerap ia gunakan ketika aktor-aktornya akan kerepotan dengan pendalaman karakter, konsep komunikasi kepada penonton atau pelibatan ala kesenian rakyat pun Gusjur gunakan. Penonton tidak penuh mendelegasikan kuasanya pada aktor dan pertunjukan ala Aristotelian. Pertunjukan Gusjur memberikan ruang pada penonton untuk kritis terhadap pertunjukan dengan terlebih dahulu mengiyakan alam pikir penonton bahwa pertunjukan ini hanyalah seni peran atau imajinasi saja.

Kehadiran penonton melalui kesadaran itu berdampak dua hal; pertama, karena penonton terlibat, dan berhak berinterpretasi lain dari apa yang disajikan, maka kerja proyeksi dan penghidupan benda-benda nampak sejalan dengan arus sadar penonton tersebut. Kedua, penonton yang sadar pertunjukan ini hanya tiruan/seni peran, membuat logika-logika yang kurang rapi di dalam pertunjukan menjadi tertutupi oleh apologi Brechtian ini. Akhirnya pertunjukan nampak memiliki logikanya sendiri dalam bentuknya yang terkonsep dan rapi.

Tidak sempurna jika sebuah pertunjukan tidak ada kekurangannya, kecuali kalau pertunjukan ini adalah akhir dari kekaryaan Gusjur Mahesa. Keberhasilan Gusjur adalah interpretasi naskah dan pemanfaatan siasat sederhana penyutradaraan. Kekurangannya kemudian adalah masih dihadirkannya botol dalam maknanya sebagai benda. Botol-botol digantung di sebuah panjat pinang seperti hadiah, di tempatkan di bagian belakang panggung, dan terkesan hanya sebagai dekorasi saja. Jika melihat naskah, kehadirannya mungkin diindikasi oleh adanya dialog tentang botol-botol yang menggantung. Namun kenapa kemudian harus berbentuk panjat pinang?

Panjat pinang itu cukup menyita perhatian saya sebagai penonton. Jika kita mengejar maknanya, tentu panjat pinang adalah perlombaan, pencapaian menuju hadiah atau bisa juga disebut kebebasan. Mencapai itu, para peserta panjat pinang perlu bahu membahu dan bekerjasama mencapai puncak. Secara empiris saya pernah berada di puncak pinang dan memenangkan perlombaan. Saat itu saya seperti mendapatkan kebebasan, kemerdekaan, juga kebahagiaan. Apakah Gusjur hendak mencapai makna yang itu? Pertanyaannya, sedikit sekali respon terhadap panjat pinang tersebut. Panjat pinang itu jadi teralienasi dengan konstruksi kamar. Saya benar-benar mempertanyakan apa relasi perempuan kaya dan manja, dengan panjat pinang? Apologia Brechtian-nya pun saya rasa tidak cukup menyembunyikan ketaklogisan panjat pinang ini.

Ada potensi makna yang beririsan sebenarnya, ketika Sepasang Dora berhasil membunuh ibu dan pembantunya, adegan Dora yang merasa merdeka dan bebas itu ditempatkan di bagian belakang panggung, adegan yang tak biasa, sebab biasanya kebebasan dan keagungan selalu ditempatkan berada di bagian depan panggung. Yang lucu adalah keduanya ditempatkan di dekat panjat pinang ini lalu botol-botol mempertanyakan kelakuannya sepasang Dora yang membunuh itu seperti sebuah sindiran dan penghakiman.

Jika memang panjat pinang itu ingin menyampaikan makna kebebasan/kemerdekaan, maka Gusjur lupa akan tanda visual botol sebagai benda yang menggantung di panjat pinang itu. Gusjur lupa struktur dramatik sebuah permainan panjat pinang. Dalam panjat pinang ada kerja sama anggota dan nampak dibangun melalui peristiwa intrik dan kerjasama botol, Mardi, dan Dora di dalam kamar. Tapi pada adegan kebebasan Dora, hal ini tidak terlihat menghadirkan kerjasama/peristiwa botol-botol membantunya mencapai puncak panjat pinang. Gusjur pun melupakan makna hadiah dari panjat pinang. Kenapa yang digantung di panjat pinang itu adalah botol-botol ketika botol adalah simbol belenggu, ketika botol adalah anggota permainan/teman yang membantu Dora untuk mencapai kebebasan? Benturan botol yang sebagai benda, orang dan gagasan tidak masuk dalam arus makna yang sejalan.

Kasus artistik panjat pinang itu menjadi yang paling kontras kurang direspon, dibangun, dan dimanfaatkan Gusjur. Sebab selebihnya di dalam pertunjukan ini saya melihat konsistensi dan keapikan adegan yang penuh pertimbangan. Kerja sutradara yang langka terjadi akhir-akhir ini. Penggalian makna, pembangunan tanda di dalam pemeranan, artistik, musik, dan struktur drama/peristiwa, entah kenapa kurang menjadi garapan serius para sutradara kekinian di Bandung. Mungkin karena arus zaman sekarang yang terus menyeret manusia pada hal-hal instan. Proses semacam ini jadi terseret-seret oleh kecepatan hingga detail di dalam pertunjukan terlupakan dan bahkan tidak terpikirkan. Gusjur adalah teaterawan Bandung generasi lama, yang telah berproses jauh sebelum arus zaman komunikasi dan kecepatan ada. Hingga pertunjukannya masih apik dan kini muncul dengan ciamik.

Kepada Kang Dadi, atas dasar dan penjelasan yang saya sebut di atas, saya meminta untuk mempertimbangkan permintaan saya tadi. Selamat kepada Mas Gusjur dan teruslah ajari generasi muda semacam saya untuk paham proses dan detail dalam pertunjukan anda yang lain, yang bukan festival perlombaan, sebab anda telah melampaui fase ini. Anda berhak mendapatkan apresiasi di maqom yang lebih besar. Salah satunya adalah kerja regenerasi untuk membentuk sutradara muda Bandung yang melampaui anda. Cag![]

KOMENTAR

Zulfa Nasrulloh, pegiat dan pemerhati sastra dan seni pertunjukan. Mendirikan media alternatif Majalaya ID. Masih lajang.

You don't have permission to register