“Mamapas Lewu”, Memapas Belenggu
“Mamapas Lewu adalah gotong royong bersih-bersih kampung.” Begitu ujar Pak Okeng, Warga asli Desa Bangkal mencoba menjelaskan dengan sederhana. Kegiatan ini biasanya dilakukan beriringan dengan ritual menyembelih hewan persembahan semisal babi atau kerbau.
Pada siang itu (6/12/2014) kegiatan Mamapas Lewu di Desa Bangkal berlangsung istimewa karena Bupati Seruyan Soedarsono dan Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang berkesempatan hadir dan membuka kegiatan. Hal menariknya adalah Sudarsono merupakan bupati dari jalur independen ketika memenangkan pemilu dua tahun yang lalu, meski lawannya sangat berat kala itu; putra bupati incumbent yang didukung belasan parpol (Blok KIH & blok KMP) yang motor utama parpolnya adalah parpol yang menaungi Pak Teras Narang.
Bersilaturahmi ke tempat ini adalah mengunjungi tempat bersejarah bagi Teras Narang. Karena sebelum mencalonkan diri menjadi Gubernur dan terpilih selama dua periode, ia sempat sowan dan menanam pohon kelapa sebagai penanda kunjungannya (sawang untung) pada tahun 2004.
Kegiatan dibuka dengan menikmati buah kelapa yang ditanam oleh Teras Narang kemudian dilanjutkan dengan memanjatkan doa kepada dengan tata cara peribadatan Hindu Kaharingan. “Ya.. Ranying Hatalla Langit Lindung… Ya.. Ranying Hatalla Langit….” –Agama Hindu dengan Kaharingan sebenarnya berbeda. Siswa di sekolah yang beragama Kaharingan pernah saya sediakan buku Hindu, namun siswa dan orang tuanya menyatakan kebingungan ketika membaca buku tersebut. “Berbeda Pak,” terangnya dengan tenang. Masyarakat pengiman Kaharingan (Pohon Kehidupan) memilih melebur dengan agama Hindu karena usia agama yang relatif lebih karib dibanding agama lainnya di Indonesia. Segenap masyarakat yang datang dari pelbagai agama, berbahasa tubuh yang sama dengan menundukkan kepala sebagai tanda cinta pada Tuhan.
Setelah selesai berdoa, tokoh masyarakat yang dituakan mengelilingi binatang kurban dengan tarian perlahan dan teriakan spontan lengkap dengan iringan tabuhan gamelan. Formasi gamelan yang digunakan mirip dengan yang formasi gamelan standar di Pulau Jawa. Tak lama setelah itu binatang kurban mulai disembelih dari babi hingga kerbau, terus terang saya tak sempat melihat prosesi penyembelihan kerbau karena tidak kuat.
Proses penyembelihan kerbau dilakukan dengan cara menombak terlebih dahulu badan kerbau hingga terlihat kepayahan sebelum dimatikan. Darah dari tombak yang menancap disapukan di empat tempat sang penombak kerbau; di dada, di dagu, di hidung, dan di kepala. Filosofinya secara berurutan adalah agar tubuh senantiasa bugar, agar diberikan kecapakan dalam bercengkrama, agar diberikan nafas yang sehat, dan agar diberikan kecerdasan berpikir.
Saya kembali ke sekolah dari Desa Bangkal yang pernah menjalin kerja sama pariwisata dengan Australia tahun 1997 beberapa menit setelah Gubernur berpamitan. Sembari mengendarai motor dalam cuaca panas menyengat itu, pikiran saya dipenuhi pesan kebijaksanaan masyarakat Dayak terhadap kemajemukan yang mengepungnya.
Tetapi tiba-tiba berkelebat pertanyaan, “Kapan saya benar-benar benar dalam menyelenggarakan pembelajaran agama Kaharingan untuk dua murid saya?” Ok, saatnya memapas belenggu kesulitan.[]
Sumber foto: Panji Irfan

