Fb. In. Tw.

Makan Plastik

Catatan Selaksa Biru

 

Setelah tidur siang hampir selama empat jam, hari itu, Wida bangun dan merasakan bahwa segala sesuatunya berbeda dari biasanya, ia tiba-tiba bisa membaca pikiran orang-orang yang ada di sekitarnya. Jumlah orang di ruangan itu ada sepuluh. Ditatapnya mata mereka satu per satu. Ada pikiran yang sama yang terbaca oleh Wida dari mereka: lapar.

Wida bergegas ke dapur. Kami menyebutnya dapur. Meski sebenarnya tidak layak dikatakan dapur. Hanya ada kompor butut, katel, gelas, piring, dan beberapa sendok. Juga dua sampai tiga tempat bumbu yang semuanya kosong. Plastik bekas makanan terselip di sudut ruang dapur.

Diraihnya enam genggam beras dari kantong plastik yang teronggok di sudut. Wida akan memasak nasi. Kompor sudah dinyalakan. Beras di kastrol sudah dibersihkan. Airnya tepat satu buku jari telunjuk dari atas permukaan beras.

Wida menuju ke Edi Koben. Dibisikinya telinga Edi Koben dengan lembut. Tanpa perlu bertanya ba-bi-bu, Edi Koben mengeluarkan dua lembar uang lima ribuan. Disodorkannya uang itu ke Damanhuri yang sudah sejak Wida pergi ke dapur mengikutinya.

Daman menuju pintu belakang Gedung Pentagon lantai tiga. Pintu keluar ruangan itu berderit. Engselnya sudah goyah. Ini tanda bahwa usia pintu itu sudah tua. Mungkin juga sebab tempias air hujan dari atap gedung yang membuatnya berkarat. Daman menuruni anak tangga. Berjalan pelan. Wajahnya kegirangan.

Tujuan Daman tak lain adalah warung nasi di tepi jalan dekat Terminal Ledeng. Setelah melewati rumah dinas dosen UPI yang ditinggali Pak Badrun, rumah kosong, dan deretan pedagang di samping kosan milik Popo Iskandar, Daman tiba di jalan besar.

Di atas kali di samping kosan milik Popo Iskandar ada deretan padagang yang kukenali. Ada penjual mi ayam, lontong sayur, bakso, dan batagor. Juga di bagian ujung sebelum toko kecil yang menyediakan kebutuhan sehari-hari ada kios tukang cukur.

Daman menyeberang jalan menuju warung nasi dengan penuh kehati-hatian. Sepeda motor dan mobil tiba-tiba mendekati pantat kita. Itu bisa saja terjadi jika tidak hati-hati. Di samping Terminal Ledeng warung nasi itu terjepit antara rumah makan Ampera dan toko kelontong. Warung nasi itu dijaga seorang lelaki berumur dua puluh lima. Istrinya bertugas memasak. Di sela-sela memasak, sesekali ia menyusui anaknya yang kecil.

Daman menunjuk beberapa masakan. Tentu uang itu tak akan cukup membeli lebih dari tiga jenis masakan. Dipilihnya sayur kangkung, oreg tempe, dan usus. Uang sepuluh ribu itu kembali empat ribu. Disimpannya uang kembalian itu di saku celananya. Uang itu untuk membeli lauk untuk makan besok pagi atau nanti malam. Tentu saja hanya cukup untuk membeli bala-bala berbonus cabe yang banyak.

Wida sudah bersiap di dekat dapur di samping tembok pembatas lubang di lantai tiga. Di dekatnya ada kastrol berisi nasi mengepul.

Yopi, Encus, dan Rudi datang ke Lantai Tiga karena diberi tahu bahwa kakak tingkatnya, Lukman, pria berkacamata tinggal di sana. Asep Pram yang memberitahu. Dan mereka bertiga akan bertemu Lukman untuk membicarakan nasib puisi dan kepenyairannya.

Daman menyodorkan bungkusan berisi tiga jenis lauk untuk makan siang itu. Bungkusan yang disodorkan Daman dengan sigap diterima Wida. Dikeluarkannya lauk yang sudah dibeli. Rudi yang sedari tadi berdiri di ambang pintu menyodorkan pisau. Pisau di tangan Wida digunakan untuk membelah kantong plastik. Kantong plastik lain disorokan Yopi. Yopi menemukannya di antara piring dan sendok. Kantong plastik itu akan diguanakan alas untuk nasi. Sebagai pengganti piring.

Makan bersama. Indriawan, Idham, dan Risman yang sedang adu pikiran di ruang sebelah ikut bergabung. Kami berjongkok. Kudengar Indriyawan mengatur barisan. Menurutnya kaki kami harus masuk sebelah. Hal itu agar tangan semua orang mampu menjangkau nasi dengan mudah. Maklum nasinya hanya sedikit.

Beralas kantong plastik nasi dihidangkan. Di atasnya sayur kangkung, usus, dan oreg tempe ditaburkan. Tampak mereka makan dengan lahap. Tangan-tangan mereka cetakan menjangkau kangkung, usus, juga oreg tempe. Mereka tahu kapan mengambil nasi dan kapan harus menahan agar teman di samping mendapat giliran.

Kantong plastik sudah licin. Jari-jari mereka jilati. Enak sekali tampaknya. Peserta terakhir berkewajiban merapikan. Kantong plastiknya dibuang. Mereka mirip anak-anak orang kaya. Habis makan, piringnya dibuang.

Wida menatap mata mereka yang baru saja selesai makan. Wida mampu membaca pikiran mereka. Ada kelegaan di setiap tatapannya. Hari ini sudah makan. Setidaknya perut tak akan meminta diisi lagi hingga malam datang.

Wida tentu saja tak sendiri. Wida juga dibantu beberapa teman perempuan lainnya. Namun saya lupa siapa. Biasanya nasi akan dibagi dua oleh Daman. Sebagian akan diserahkan ke teman-teman perempuan. Sebab sebagian mereka tidak terbiasa makan bersama dengan cara jongkok. Apalagi berdesakan. Mereka akan membuat kelompok sendiri. Makan di dalam ruangan. Sambil tentu saja membicarakan lelaki yang baru saja kekenyangan.

Jadi, kapan awak redaksi buruan.co mengajak makan? Nah, loh![]
Bandung, 31 Oktober 2014

Sumber foto: Dokumentasi Kegiatan Diklat ASAS UPI/Pratiwi Sulityana

 

 

 

 

Post tags:

Media untuk Berbagi Kajian dan Apresiasi.

KOMENTAR
Comments
  • Selaksa Biru

    ENKI:
    Wah, sadis masak dibilang kolom kelaparan!

    24 November 2014
  • enki

    untung ga ada nama saya di kolom kelaparan ini, xixixi

    21 November 2014
  • Kenangan yg sangat berkesan… Terima kasih buruan.co btw itu kisah taun berapa ya???

    3 November 2014
    • Selaksa Biru

      Amran: Tahun-tahun di Pentagon. Mungkin juga tahun-tahun setelahnya. Salam.

      1 Desember 2014

Sorry, the comment form is closed at this time.

You don't have permission to register