
Kisah Empat Perempuan “Mahiwal” Belanda di Indonesia
Mengesankan. Itulah kata pertama yang melintas di kepala saya manakala membaca lembar-lembar halaman awal “Tanah Air Baru, Indonesia” karya jurnalis sekaligus ahli antropologi berkebangsaan Belanda, Hilde Jannsen.
Novel dengan judul asli “Enkele Reis Indonesië” ini berkisah tentang empat perempuan Belanda yang mengambil putusan berani—sekaligus mahiwal—untuk datang ke Indonesia pada akhir tahun 1946. Saat itu, alih-alih tinggal di Indonesia, nyaris semua Londo yang ada di Indonesia justu malah pulang kembali ke negeri asalnya. Situasi zaman tidak berpihak pada mereka untuk terus memaksakan diri menghirup udara tropis Hindia Belanda.
Pasca pembacaan teks proklamasi—yang dalam versi kaum kolonial dinilai dilakukan secara sepihak oleh pejuang Republik—ribuan orang Belanda melakukan emigrasi ke negerinya. Demikian juga sebaliknya. Para irlander di Negeri Kincir Angin, yang sebagian besar adalah pelajar dan mahasiswa, aktivis, juga buruh kasar dan bekas serdadu Perang Dunia, kembali ke Indonesia. Tampak mereka semua punya keyakinan yang sama bahwa di negeri asal mana pun, entah itu Belanda atau Indonesia, kehidupan akan memberi mereka lebih banyak hal yang menjanjikan.
Demikian pula yang tersirat dalam pikiran Dolly Zegerius dan tiga anak perempuan keluarga Kobus. Bersama suami masing-masing, keempat perempuan muda Belanda itu berpikir bahwa hidup di negeri yang “baru bisa mengucap aku” akan memberi mereka jaminan lebih ketimbang melanjutkan hidup di negeri Belanda yang saat itu belum sepenuhnya lepas dari bayang-bayang kekejaman Jerman.
Menumpang kapal Weltevreden pada Jumat siang 6 Desember 1946, Dolly, juga kakak-adik keluarga Kobus—Betsy, Annie, dan Miny—dan ibu mereka yang sosialis, Ma Hekkelman, akhirnya berlayar ke Indonesia.
Teman-teman seperjalanan di Weltevreden terdiri atas dua ratus lebih mantan mahasiswa dan awak kapal, yang hampir seperempat di antaranya didampingi suami atau istri Belanda dan kadang juga anak-anak. “Apakah Anda juga termasuk dalam kelompok Indonesia?” tanya seorang wartawan yang tiba-tiba muncul di sebelahnya. “Bagaimana perjalanan Anda? Apa kesan pertama Anda?” Dalam sekejap saja sudah lima pemuda yang memegang notes berdiri di sekelilingnya, mengajukan rentetan pertanyaan dalam bahasa Belanda dan Inggris. (Halaman 18).
Secara umum, buku ini bercerita tentang pengalaman-pengalaman keempat perempuan itu selama 65 tahun tinggal di Indonesia. Sebagai pendatang—dengan kulit putih terang dan tubuh tinggi menjulang—kehidupan awal Dolly, Betsy, Annie, dan Miny di Indonesia justru jauh dari kata menyenangkan. Lebih-lebih bagi Annie, perempuan yang kakinya lumpuh akibat terkena polio itu mesti menerima kenyataan pahit lantaran tak lama sejak menginjak tanah Jawa, Djabir, suaminya asal Madura, mohon diri menjenguk orangtuanya di Pulau Garam lalu pergi dan tak kembali tanpa pemberitahuan apa pun.
Selain Dolly, ketiga perempuan Kobus memang bersuamikan lelaki dari kalangan wong cilik. Suami Betsy, Djoemiran, adalah pemuda asal Kebumen yang lantaran ingin melihat dunia, meninggalkan tanah asalnya sejak usia 15 tahun. Djoemiran adalah pelaut dan mantan buruh pelabuhan yang pernah terlibat sejumlah perang di Eropa. Demikian juga Amarie, suami anak bungsu keluarga Kobus, Miny. Pemuda asal Jawa Tengah ini pernah diberi tugas sebagai penjaga meriam tentara Inggris dalam perang melawan Jerman di pesisir Eropa Barat dan Afrika Utara. Aneh memang, semua anak gadis Kobus jatuh cinta pada ketiga laki-laki Jawa yang sebetulnya tidak punya jaminan masa depan menjanjikan di Indonesia.
Lantas siapakah suami Dolly? Soetarjo Soerjosoemarno. Kelak, cucu Sultan Mangkunegoro V yang sekaligus keponakan Sri Sultan Hamengkubowono IX ini tercatat menduduki jabatan tertinggi sebagai Kepala Topografi Angkatan Darat dengan pangkat Mayor Jenderal. Dari pasangan Dolly-Tardjo ini pula kemudian lahir nama-nama tenar seperti Japto Soerjosoemarno (tokoh penting Pemuda Pancasila) serta Marini Soerjosoemarno (penyanyi dan aktris kenamaan Indonesia). Tidak bisa tidak, kisah-kisah selintas lalu mengenai kedua sosok tersebut turut jadi penyedap bagi novel setebal 336 halaman ini.
Meski bicara mengenai kehidupan pribadi tokoh-tokoh Belandanya, sebagai narator, Hilde juga menyoal sejumlah peristiwa penting di Indonesia dalam kurun waktu kurang lebih 65 tahun pasca 1945. Peristiwa-peristiwa historis seperti Agresi Militer Belanda, Perundingan Linggarjati, Pembebasan Irian Barat, runtuhnya Orde Lama, G 30 S, Penembakan Misterius (Petrus), Timor-Timur, hingga, tentu, Peristiwa Mei 1998, tak luput disampaikan Hilde lewat pengalaman dan pengamatan tokoh-tokohnya.
Agresi Militer Belanda mendapat porsi lumayan besar di awal buku ini. Bagaimanapun, hal itu berkaitan langsung dengan kondisi keempat tokoh utama dalam masa-masa awal kedatangannya di Indonesia. Dengan cermat, dalam “Rekan-rekan Setanah Air yang Bermusuhan” (hal. 69-120), Hilde berhasil melukiskan sisi dilematis yang dialami keempat perempuan Belanda manakala “rekan senegara” mereka, yakni pasukan perang yang dibantu KNIL dan Sekutu, bergantian dengan pasukan Republik—yang juga adalah rekan setanah air mereka yang baru—menduduki dan menguasasi kota-kota penting di Jawa.
Dikisahkan Hilde, para perempuan Belanda yang tak jarang mendapat cemoohan dari sebagian kaum Republik, ternyata mendapat cemoohan juga dari para serdadu Belanda. Namun demikian, fisik bule mereka nyatanya membawa keuntungan juga dalam beberapa peristiwa. Dolly misalnya. Saat suaminya berlindung di keraton Yogya, rumah barunya di kawasan Solo digeledah oleh sejumlah prajurit Belanda. Hanya, alih-alih berbuat aniaya—padahal awalnya bersikap ketus dan kasar—para prajurit itu justru malah bersikap ramah dan berbalik melindungi Dolly meski tahu dia adalah Londo pro-Republik.
Kedua prajurit itu memastikan Dolly tak pernah lagi ditangkap dan secara teratur mendapat makanan kalengan. Makanan itu selalu cepat habis. “Kaukemanakan makanan itu sebenarnya?” tanya para pemuda dari bagian ransum heran. “Aku mengirimnya ke para pemuda Republik di garis depan,” jawab Dolly tenang. Para prajurit Belanda itu tertawa. Tapi itu bukan gurauan. (Hal 115-116).
Puncak Konflik
Setelah Agresi Militer, bagian sejarah yang mendapat perhatian Hilde adalah peristiwa pasca 65. Bagian “Kudeta 1965” (hal. 173-259) tampaknya sengaja dijadikan puncak konflik novel ini.
Mengenai tragedi penculikan dan pembunuhan misterius yang dialami sejumlah jenderal TNI, Hilde menjelaskannya mula-mula lewat pengalaman Dolly yang saat itu tinggal di kawasan Menteng, bertetangga dengan Jenderal Nasution.
Dan baru saja, adik ipar perempuan Jenderal Nasution mampir untuk menceritakan bahwa di rumah sang jenderal juga terjadi penembakan semalam, dan putri ciliknya menderita luka berat terkena tembakan. Nasution, kepala staf Angkatan Darat, berhasil meloloskan diri di saat-saat terakhir melalui tembok taman. Pagi ini ia diketemukan dalam keadaan selamat di kebun tetangga tempatnya bersembunyi. Ia marah luar biasa karena ia dan para rekannya yang ditangkap dituduh hendak melakukan perebutan kekuasaan. “Kami bukan pelaku, malah justru korban,” Nasution menekankan pada iparnya. Menurut sang jenderal, justru para pengawal Presiden yang hendak merebut kekuasaan dan menculik rekan-rekannya. (Hal. 175).
Setelah itu, mengalirlah cerita-cerita mengenai situasi Jakarta yang mencekam, kematian para jenderal di Lubang Buaya, juga berita bahwa TNI telah berhasil mengendalikan situasi. Lalu Soeharto—yang saat itu mengambil alih posisi pimpinan operasi pengamanan karena Nasution tengah menunggui anaknya di rumah sakit—menerangkan bahwa perebutan kekuasaan yang gagal merupakan hasil kerja Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pernyataan itulah yang selanjutnya membuat publik dan tentara silih dukung menekan Soekarno yang dinilai punya keberpihakan pada PKI. Lewat keterangan demi keterangan semacam itu pula kemudian Soeharto menggelar karpet merah bagi dirinya sendiri agar melenggang ke Istana sekaligus melancarkan aksinya menumpas orang-orang yang dicap sebagai PKI. Khusus poin terakhir, buku ini telah menambah keterangan yang sebelumnya sudah terlampau berderet dan berjejal mengenai fakta bahwa The Smiling General tak pernah mengindahkan bukti apakah pihak-pihak yang dia zolimi terlibat atau tidak dengan peristiwa misterius kudeta 1965.
Ia terkejut mendengar berita bahwa gerombolan massa yang marah memukuli dua mahasiswa komunis hingga tewas. Namun Soeharto sepertinya tidak berencana menghentikan aksi pembersihan itu. Sementara para petinggi PKI mulai ditangkapi di ibu kota, ia mengirim pasukan komando ke Jawa Tengah untuk menumpas orang-orang komunis dan kelompok militer yang memberontak. Itu merupakan permulaan dari perburuan berskala besar dan penuh kekerasan. Dalam beberapa hari, sungai-sungai di desa-desa dan kota-kota di Jawa Tengah merah dengan darah. (Hal. 180).
Peristiwa yang lebih getir diceritakan Hilde lewat tokoh Miny. Setelah resmi bercerai dengan Amarie, Miny menikah dengan Nanang, putra sulung bupati Malang di awal tahun 1950-an. Nanang adalah eks tentara Republik di zaman Revolusi Fisik yang turut berperan membuat Belanda minggat. Nanang juga punya prestasi cemerlang di pabrik gula Sragen tempatnya bekerja. Atas reputasinya itu pada 1960 Menteri Agraria mengangkat Nanang sebagai kepala industri gula se-Jawa Tengah. Empat tahun kemudian, Nanang diminta datang ke Jakarta untuk duduk sebagai direktur umum pada perusahaan gula nasional milik pemerintah.
Naas bagi Nanang. Tak lama setelah peristiwa 1965, dirinya turut jadi sasaran amuk massa lantaran pabrik-pabrik gula yang ia kelola dianggap sebagai salah satu basis PKI. Namun penderitaan Nanang justru benar-benar dimulai 4 tahun kemudian. Saat dirinya sudah berhenti dari aktivitas industri gula dan membangun usaha sendiri merintis pabrik karton. Awal Mei 1969, Nanang ditangkap sebagai tahanan politik tipe C.
Sejak tahun lalu, tahanan-tahanan politik dibagi menjadi tiga kategori: A, B, dan C. Hanya para tahanan dari kategori A yang mendapat proses resmi, karena konon ada bukti-bukti keterlibatan langsung mereka dalam perebutan kekuasaan. Yang lain ditahan atas dasar dugaan keanggotaan partai atau serikat pekerja yang sekarang sudah dilarang, atau organisasi afiliasi. Miny sudah cukup mendengar cerita orang-orang yang ditangkap karena mereka anggota drumband, klub sepak bola atau perkumpulan senam, paduan suara atau kelompok sandiriwara “kiri”. Ia menduga ada orang yang mengincar pabrik karton suaminya dan menggunakan hubungan politik keluarga mertuanya dengan bekas partai Partindo yang sekarang sudah terlarang, untuk memenjarakan Nanang. Namun para militer itu tidak memberikan penjelasan lebih lanjut.(Hal. 202-203).
Itulah sedikit keterangan getir dalam lembar-lembar halaman tengah “Tanah Air Baru, Indonesia”. Seiring dikuaknya bentuk-bentuk genosida yang dirancang Orde Baru, yang dengan demikian “mengakibatkan jutaan orang divonis menjalani kehidupan yang marginal hanya melalui georesan pena”, Hilde juga memaparkan bagaimana licinnya Soeharto dalam memanfaatkan militer dan etnis China untuk kemudian mengembangkan sektor ekonomi Indonesia—sekaligus mengamankan kekuasaannya.
Terkait hal di atas, “Tanah Air Baru, Indonesia” jadi menarik lantaran tidak hanya menyuguhi pembaca dengan pengalaman-pengalaman biografis keempat perempuan Belanda yang penuh emosi, namun juga turut menyuguhi pembaca dengan pengalaman kolektif bangsa Indonesia yang sejatinya bikin geram. Novel ini berhasil memperkaya “perspektif pinggiran” akan sejarah lewat kacamata sipil perempuan-perempuan Belanda. Bagaimanapun, sejarah resmi yang sampai pada kita hari ini adalah sejarah versi TNI—versi pemenang—yang mau tidak mau harus menampilkan sisi-sisi nan gemilang.
Tak lepas dari kisah hidup masing-masing tokoh yang dalam banyak hal sungguh mengenaskan, jatuh-bangunnya kehidupan pribadi maupun kehidupan rumah tangga para tokoh sedikit banyak memang segendang-sepenarian dengan gejolak sosial-politik-ekonomi bangsa ini. Fakta bahwa dari sejak masa Agresi Militer Belanda hingga Masa Reformasi para tokoh kerap mengalami ketimpangan—dan bersamaan dengan itu bangsa Indonesia secara umum melulu dirundung berbagai persoalan—menunjukkan bahwa siapa pun pemimpinnya, negeri ini belum bisa menjamin hak-hak konstitusional warganya dengan baik.
Hal itu pernah membuat pikiran beberapa tokoh untuk kembali ke Belanda. Di sana, bahkan seorang janda jompo dapat menghidupi diri dan anak-anaknya lewat bantuan dana sosial serta jaminan pendidikan. Belanda, negara yang dalam benak Yus, anak Miny, pada mulanya dianggap sebagai negara miskin, nyatanya adalah negara yang punya tanggung jawab penuh terhadap kebutuhan warganya. (Kaum buruh dan aktivis sosialis memiliki peran mewujudkan hal itu). Hanya, semenarik apa pun kehidupan di Belanda, cinta para tokoh terhadap Indonesia nyatanya terlanjur lebih besar ketimbang segalanya.
Atas hal itulah setidaknya bagi saya pribadi, “Tanah Air Baru, Indonesia” bukan hanya memberi perspektif lain mengenai sejarah dan dinamika politik, namun sekaligus menjadi pupuk yang baik untuk menumbuhkan nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme—hal yang belum tentu mampu dicapai lewat program Bela Negara. Sebagai pembaca, saya merasa lebih mencintai dan peduli pada negeri ini justru lewat hal-hal yang dikisahkan Hilde lewat buku keduanya—alih-alih lewat sikap dan pernyataan sok para politikus yang, sialnya, mau tidak mau harus terus saya temui belakangan ini.[]
Data buku:
Judul Buku: Tanah Air Indonesia
Penulis: Hilde Janssen
Penerjemah: Meggy Soedjatmiko
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: 2016
ISBN: 978-602-03-3541-4