
Ihwal Alih Wahana Puitwit Joko Pinurbo
Suatu hari saya membeli sebuah buku berjudul Pagi dan Hal-hal yang Dipungut Kembali: Sejumlah Epigram oleh Goenawan Mohamad (2011) . Sebagian besar dari isi buku itu ternyata adalah kicauan Goenawan Mohamad di akun twitter-nya @gm_gm. Saya buka halaman demi halaman. Kemudian, saya berkesimpulan bahwa ini adalah hal yang percuma. Saya simpan buku tersebut sampai lima tahun lamanya di dalam rak.
Apa menariknya sekumpulan kicauan—yang kemudian disebut dengan epigram—yang dijadikan buku? Saya pernah membaca epigram-epigram Tagore dan itu sangat menyenangkan. Namun, saya tidak paham cara membaca buku Goenawan Mohamad itu. Kicauan/epigram tersebut telah kehilangan konteks karena, pada dasarnya, kicauan-kicauan tokoh di twitter memiliki konteks sosial atau sekurang-kurangnya konteks waktu. Di dalam buku tersebut kicauan itu kehilangan konteks; tidak ada penanda waktu pada buku tersebut yang dapat membantu pembaca untuk meraba-raba pikiran dari Goenawan Mohamad.
Beberapa minggu yang lalu, saya kembali membaca buku tersebut setelah disimpan selama lima tahun. Sesuatu yang saya baca lima tahun yang lalu ternyata berbeda. Buku tersebut menghilangkan konteks kicauan @gm_gm agar pembaca mampu mengontekstualkan kicauan itu dengan pengalaman dirinya. Hal yang terjadi ialah penulis dan pembaca akan menempuh jalan yang berbeda. Ini persis seperti mekanisme menikmati puisi atau lagu.
Bagi saya, inilah hal yang penting. Saya melihat bahwa konsep alih wahana telah diterapkan dalam buku tersebut. Pembaca akan disajikan pengalaman (atau [sudah tentu] media) yang berbeda ketika membaca kicauan Goenawan Mohamad di twitter dengan buku. Padahal, buku itu atau editornya hanya menghilangkan penanda waktu pada twitter @gm_gm, tetapi terjadi perubahan yang cukup besar dalam kicauan yang kemudian menjadi epigram itu.
***
Dua tahun setelah buku Goenawam Mohamad itu terbit, Joko Pinurbo menerbitkan buku yang persis, yakni Haduh Aku Di-follow Joko Pinurbo (2013). Buku tersebut adalah kicauan (atau yang penulisnya sebut puitwit) Joko Pinurbo dari akun twitter-nya. Sebenarnya, mekanisme alih wahana pun dilakukan oleh Joko Pinurbo. Oleh sebab itu, tidak relevan apabila kita masih membicarakan keterampilan Joko Pinurbo dalam membuat puisi (puitwit) dalam 140 karakter kicauan twitter saat itu—seperti yang disinggung Zulkifli Songyanan dalam ulasannya yang berjudul “Upaya Puitwit Menaklukan Puisi” (2013).
Ketika suatu karya seni dialihwahanakan, tentu saja, banyak hal yang berubah, misalnya perubahan yang terjadi dari novel ke film. Pada alih wahana novel ke film, ada peristiwa yang dikonversi, diseleksi, dan diekspansi. Demikian pula pada alih wahana kicauan di twitter ke buku. Wahana buku memungkinkan Joko Pinurbo menulis lebih dari 140 karakter. Pertanyanya, “Apakah Joko Pinurbo memanfaatkan keluasan wahana buku untuk melakukan ekspansi atau konversi puitwitnya?” Joko Pinurbo melakukannya. Namun, sepanjang pengetahuan saya, ia tidak mengubah puitwitnya menjadi lebih panjang—kecuali ada singkatan-singkatan kata yang dikembalikan ke bentuk aslinya yang berpengaruh terhadap jumlah karakter.
Tidak seperti Goenawan Mohamad yang hanya menghilangkan penanda waktu, Joko Pinurbo memanfaatkan luasnya media buku untuk ilustrasi yang berangkat dari puitwitnya. Ilustrasi itu dibuat oleh Rio Tupai. Ilustrasi itu berbagi ruang dengan puitwit sehingga tidak ada yang dominan dari segi visual. Ilustrasi pun tidak melampaui puitwit itu sendiri dari segi makna. Ilustrasi tidak memberi interpretasi yang berlebihan; tetap berporos pada puitwit. Bahkan, lebih-lebih banyak ilustrasi yang berfungsi sebagai ornamen sehingga puitwit masih menjadi inti dari buku tersebut. Ilustrasi inilah yang digunakan Joko Pinurbo dan KPG sebagai penerbit dalam memanfaatkan keluasan media buku.
Selain bermain dengan ilustrasi, puitwit ini juga mengandalkan tipografi, jenis huruf, dan ukuran huruf. Itu semua tidak bisa digunakan dalam twitter, terutama ukuran huruf. Ukuran huruf digunakan penyair atau penata letak atau penyunting untuk memberi tekanan untuk suatu kata. Pembaca akan terimpuls dengan kata-kata yang diberi penekanan itu sehingga makna lebih tersampaikan.
Tidak seperti Goenawan Mohamad yang menghilangkan penanda waktu pada kicauan/epigramnya, Joko Pinurbo masih mempertahankan penanda waktu tersebut. Bahkan, buku ini berupaya untuk menyajikan puitwit Joko Pinurbo secara kronologis meski di beberapa bagian disusun secara acak. Pemertahanan penanda waktu ini bisa berfungsi sebagai titimangsa dan penghubung puitwit dengan konteks sosial atau peristiwa yang melatari puitwit tersebut. Selain itu, bisa jadi penanda waktu tersebut berfungsi mempertahankan identitas tulisan dalam buku ini, yaitu kicauan atau puitwit, bukan puisi.
Misalnya, pada periode Januari 2012, Joko Pinurbo banyak menulis tentang hujan. Seperti yang telah kita ketahui bahwa pada bulan Januari 2012 klub-klub Eropa sedang sibuk di bursa transfer—kecuali Liverpool, sementara itu di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, sedang musim hujan. Joko Pinurbo menulis, “Itu hujan sudah 70 tahun umurnya, berjalan terseok di lorong gelap, membuang bangkai sepi ke sungai yang luap” (halaman 16) pada 19 Januari 2012 pukul 21.25 WIB. Kemudian, pada tanggal 20 Maret 2012 pukul 11.48 WIB, Joko Pinurbo menulis puitwit yang dipersembahkan kepada Sapardi Djoko Damono sebagai ucapan selamat ulang tahun. Ia menulis, “Tuan Sapardi, bukan? Maaf, saya sedang mericik sebentar—Tuan Jokpin, bukan? Maaf, saya sedang menjemur celana sebentar.”
Selain itu, melalui penanda waktu tersebut, pembaca juga akan dapat melihat reaksi Joko Pinurbo atas peristiwa politik. Misalnya, pada bulan Maret 2012, Joko Pinurbo menulis, “Dua orang koruptor disalibkan di Jumat sunyi. Di tengahnya disalibkan pula seorang pahlawan antikorupsi.” Jika dihubungkan dengan peristiwa politik pada bulan itu, kita akan mendapatkan berita tentang Anas Urbaningrum yang menyatakan pernyataan kontroversial pada hari Jumat 9 Maret 2012, “Kalau ada satu rupiah saja Anas korupsi Hambalang, gantung Anas di Monas.” Peristiwa tersebut melengkapi makna dari puitwit Joko Pinurbo. Ketika penanda waktu itu hilang, mungkin pemaknaan akan ugal-ugalan, meski itu bukanlah hal yang salah.
Lantas, bagaimana dengan puitwit Joko Pinurbo? Bagi saya, Joko Pinurbo adalah penyair yang tidak akan berkembang lagi. Ia telah mencapai puncak estetiknya. Puisinya atau istilah lain dari puisinya (puitwit) ya begitu-begitu aja, sepanjang pembacaan saya. Rumusnya ialah ironi atau parodi atau deviasi atas realitas atau personifikasi—atau mungkin hal lainnya yang tidak saya temukan—yang dibungkus dengan bahasa sehari-hari. Ia tidak seperti Acep Zamzam Noor yang mencoba beralih tema dan gaya setelah berhasil (dengan puisi liriknya yang romantis) membuat penyair pemula menjadi epigonnya. Bahkan, Sapardi Joko Damono pun mencoba kemungkinan lain pada puisinya dan mencoba-coba membuat novel. Meski demikian, meski begitu-begitu aja, puisi atau puitwit Joko Pinurbo selalu mengejutkan; selalu ada hal baru, baik personifikasi, metafora, atau parodi atau ironi dalam puisi-puisi Joko Pinurbo.
Personifikasi sangat dominan dalam puitwit Joko Pinurbo. Di buku ini, ia banyak menghidupkan hujan dan senja. Misalnya pada halaman 13—14, ia membicarakan senja pada 11-25 Januari 2012, “Senja meninggal secara tragis saat bermain petir. Hujan menguburnya di ladang banjir.” Dari kutipan itu kita dapat melihat personifikasi dalam puitwit Joko Pinurbo dan konteks puitwitnya. Pada bulan tersebut Jakarta sedang dilanda banjir parah (siklus lima tahunan). Puitwit semacam ini bagi saya menarik. Kita dapat melihat reaksi puitik dari seorang penyair. Ini adalah ekspresi yang khas dan reaktif. Bagi saya, ini berbeda dengan puisi. Bisa saja puisi merespons peristiwa-peristiwa yang terjadi, tetapi penyair dapat menyuntingnya dalam waktu yang relatif panjang. Sementara itu, di twitter, proses produksi puisi akan relatif lebih pendek dan reaktif. Karya-karya yang reaktif ini akan memperlihatkan mumpuni atau tidaknya seorang penyair dalam memproduksi secara estetik. Selain itu, pembaca akan melihat kedalaman pemikiran penyair. Sebagian orang akan smirking ketika membaca kicauan dari Fadli Zon atau Fahri Hamzah, bukan?
Personifikasi yang diproduksi Joko Pinurbo ya lumayan bagus sih. Namun, hal yang menarik bagi saya ialah permainan bahasa. Di beberapa puitwitnya, ia memperlihatkan kejeliannya dalam melihat ambiguitas bahasa/kata. Misalnya pada puitwit ini: “Mereka berkumpul di kafe dan memesan kopi dalam partai besar. Pemilik kafe menghardik: ‘Maaf, kopi saya tak berpartai!’ (halaman 7).” Dari kutipan itu Anda pasti tahu hal yang dimaksud oleh pemesan kopi dan pemilik kafe. Selain itu, pada puisi edisi “Celana”, Joko Pinurbo menggunakan diksi paskah. Ada dua makna dari puisi itu: paskah hari raya wafat dan bangkitnya Isa Almasih dan kata pas yang diberi partikel kah yang bermakna tidak lebih tidak kurang dalam konteks bertanya (paskah? Atau pas, bukan?).
Hal lain yang menjadi kekuatan Joko Pinurbo ialah deviasi atas realitas. Sebagian orang mungkin menyebutnya parodi atau parodi atas realitas. Namun, efek dari parodi ialah jenaka. Sementara itu, efek dari deviasi bisa bermacam-macam, misalnya jenaka, ironis, puitis, fantastis, dll. Joko Pinurbo kerap membelokan (melakukan deviasi) terhadap realitas sehari-hari. Misalnya pada puitwit berikut: “Beberapa saat lagi pesawat Anda akan mendarat di halaman hati saya. Tak ada perbedaan waktu antara benci dan rindu” (halaman 2). Alusi pembaca akan tertuju pada pengumuman di dalam pesawat saat hendak mendarat, Namun, Joko Pinurbo berhasil membuat itu menjadi untaian kata yang puitis.
***
Kembali lagi ke persoalan alih wahana. Sebelum Goenawan Mohamad dan Joko Pinurbo, beberapa penulis telah mengalihwahanakan tulisannya dalam media siber ke buku, salah satunya Raditya Dika. Bagi saya, perilaku ini adalah langkah mundur: dari teknologi canggih (internet) ke teknologi sederhana (buku). Namun, pasar selalu menemukan cara untuk membuat segalanya tidak gratis. Oleh sebab itu, tulisan yang bisa diakses secara gratis di internet harus dialihwahanakan dengan tujuan untuk dibeli. Logika ini juga dilakukan saat mengalihwahanakan novel ke dalam bentuk film. Bagi saya, alih wahana sangat erat dengan ekspansi pasar atau bisnis.
Namun, bagaimanapun selalu saja ada hal yang menarik dari pengaliwahanaan karya seni. Selalu ada hal yang baru. Selalu ada kemungkinan lain.[]