
Gelak dan Kenangan Silampukau
Sediakan saja indera pendengaran yang sudi dirasuki nada-nada dendang dua pengelana yang terkatung-katung di antara masa silamnya yang tak terlalu elok dan masa depan yang entah mau diapakan. Antara gelak dan kenangan yang berpilin-pilin, Silampukau turut menyesaki daftar putar yang kapanpun juga enak didengar.
Melalui album berjudul Dosa, Kota, dan Kenangan, duo Kharis Junandharu dan Eki Tresnowening menghadirkan kota sebagai tema utama dalam lirik-liriknya. Melalui lirik-liriknya yang nyaris datar dan tanpa pretensi nada-nada berirama tinggi, nuansa folk terasa sahaja mengalun dari satu lagu ke lagu lainnya.
Cobalah resapi lagu “Doa 1”. Pada lagu ini, Silampukau berhasil merayakan kehidupan yang terasa nisbi dengan lirik serupa dialog dengan Gusti (transenden). Lagu ini menurut saya terasa sebagai curhat blakblakan musisi medioker mengenai perjalanan hidupnya yang biasa-biasa saja. Melalui tutur yang ringan, semua didaraskan tanpa mempedulikan dengan siapa mereka bicara. Lumrahnya manusia, mereka kadang pula diliputi kegelisahan tentang masa depan, hari-hari yang entah akan seperti apa.
Berlanjut di “Lagu Rantau (Sambat Omah)”, Silampukau mengutuki waktu dan kota. Saya langsung saja membayangkan kehidupan orang-orang di kota-kota besar di Indonesia yang bekerja di tempat apa saja dengan gaji yang tak seberapa. Kehidupan yang disibukkan untuk melunasi hutang, cicilan motor yang tak kelar-kelar hingga bertahun-tahun lamanya, dan perasaan rindu akan rumah yang sering digadang-gadang sebagai tempat persembunyian terbaik dari kehidupan dunia yang jahanam.
Toh begitu muaknya mereka terhadap kehidupan, tetap saja mereka tak bisa mengelak dari perputaran hari yang berulang. Dan, kota dengan segala harap yang bertumbukan, begitu terasa menggiurkan bagi siapapun juga yang berkeinginan untuk menjadi seorang kaya. Jika pada akhirnya gagal, manusia hanya melempar dadu. Maka, mainkan saja.
Lagu-lagu berikutnya tak kalah menyita perhatian saya. Kembali dengan lirik-lirik yang ringan, Silampukau tak hentinya membawa saya bertualang di jalan-jalan hidup yang pernah dilaluinya, lanskap kota, kehidupan orang-orang yang mengadu nasib di kota Surabaya, dan kenangan-kenangan kecil yang terasa begitu berharga.
Menurut Felixdass di felixdass.com, Silampukau dalam lagu-lagunya sedang berusaha merekonstruksi sejarah dan masa kini untuk melihat persoalan dari kacamata yang lebih general. Dan, saya sepakat dengan hal ini. Meskipun tema yang diangkat dalam album ini berkutat dalam persoalan kota dan manusia yang hidup di dalamnya —tema-tema yang umum diangkat oleh band-band yang lahir di kota-kota besar seperti Bandung, Jakarta, atau Yogyakarta— kehadiran Silampukau yang cukup memukau mengemas kegelisahannya, berhasil memperkaya dokumentasi sebuah kota yang telah lama berpuasa melahirkan musisi bagus.
Berasal dari lema bahasa Melayu, Silampukau memiliki arti burung Kepodang, yaitu burung berwarna kuning yang memiliki suara merdu. Album Dosa, Kota, dan Kenangan sendiri berisi sepuluh buah lagu yang keseluruhan liriknya ditulis oleh kedua personilnya. Album yang dirampungkan dalam waktu enam tahun ini menjadi sebuah pertaruhan yang sangat penting bagi Silampukau. Melangkah lebih jauh dari panggung ke panggung, atau mati dalam pengembaraan pada umurnya yang masih muda.
Namun, jauh sebelumnya, pada tahun 2009 Silampukau telah melahirkan mini album (E.P) dengan judul Sementara Ini yang berisi empat buah lagu. Seperti banyaknya band-band folk, aroma romantisme terasa sekali mendominasi keseluruhan lirik-lirik Silampukau pada album ini.
Saya merasa sangat telat menulis ulasan ini, padahal albumnya sudah dirilis pada April 2015. Tapi apa boleh buat, kenangan—seperti yang berulang-ulang didendangkan Silampukau pada lagu-lagunya— tak pernah lekang untuk disusuri kembali.
Dan, album Dosa, Kota, dan Kenangan dapat saya daulat menjadi salah satu album terbaik yang lahir pada tahun 2015. Tanpa pikir panjang, ambillah sejenak waktu untuk memutar lagu-lagu Silampukau dan biarkan kenangan di dalamnya bercerita. Tak usah sungkan bergelak sebab kehidupan tak selamanya jahanam.[]