
Dua Surat untuk Anda yang Andai Saja Menghadiri Parade Sastra di Toko Buku Kita
Andai Anda seorang pelajar, dan berkuliah di kota kita,[1] hendaknya motor segera diengkol, atau buru-burulah memanggil ojol. Bergegaslah, pergi menuju toko buku kita.[2] Sebab di sana—kecuali Anda cukup percaya dengan kurikulum pendidikan negara—akan Anda temui apa yang layaknya ditemui seorang mahasiswa. Begitulah. Bagaimana, tak ada rotan, akar pun jadi!
1
KOTA kita punya banyak nama. Tersebab banyaknya universitas, kota kita gagah berdiri dengan predikat pendidikan, dengan pendatang dari kota-kota kecil yang tak berpendidikan, seperti halnya Anda. Setiap hari, kota kita kedatangan bus-bus yang mengantar orang-orang asing ke sana. Mencicip gudeg, mencoba sensasi angkringan, silakan. Asal jangan malam-malam ke ring road Selatan kalau tak mau orang-orang rumah kehilangan. Dengan begitu, kota kita juga disebut kota gudeg, kota angkringan, kota klithih, dan lainnyalah.
Ah, kota kita memang punya banyak nama. Konon, sekarang ini sekelompok pengambil kebijakan kota berencana terbang ke Eropa, atau Amerika—terserah—untuk mengumumkan bahwa kota kita adalah ibu kota buku dunia.[3] Fungsinya, tentu saja bukan pariwisata. Hanya, sejauh ini, belum terlihat saja hilalnya. Tak apa, toh kita cuma bisa menanti dan menerima! Sudah itu, kembali, baiknya Anda main-main saja ke toko buku kita. Di Keloran, ah, di Keloran …
Bertolaklah dari sana sampai Anda menemukan Masjid At-Taqwa. Tanpa perlu celingak-celinguk lama, orang-orang di sana akan bertanya, “Mau rapat?” Ditanya begitu, Anda mengangguklah. Seketika jempol mereka akan menunjuk satu arah, dan itulah kompas yang membawa Anda ke jalan lurus. Melangkahlah, sambil mendengarkan seorang bapak mengudang manuknya, atau seorang nenek mengerik daun-daun kering yang menghalang. Akan Anda jumpai satu bangunan kos, tetapi abaikanlah, melengoslah ke kanan, ke peraduan yang dijanji-janjikan! Dari sana, sudahlah tercium aroma yang mengingatkan pada masa kecil, atau hujan-hujan desa, atau senyum simbah, banyaklah. Tetapi jangan tergoda, terus saja. Setelah sepuluh-sebelas langkah, dapatilah padi-padi berbaris, merunduk, menunggu kedatangan pada barang siapa menggenggam cinta. Tak perlu memeriksa tangan. Tenang saja, bukannya cinta perkara mudah? Di tengah biru angkasa dan hijau sawah, berdirilah rumah panggung itu. Temboknya kayu, dengan kaca jendela yang ragam warna, di sanalah! Tangga menjulur di bawah daun pintu, itulah karpet merah bagi Anda. Kemudian di sebelah pintu, sebuah pigura memamerkan gambar kover buku Pleidoi Malin Kundang[4]. Ah, kalau jarak mengajarkan rindu … Bacalah, ya, bacalah dengan nama Tuhanmu, sebuah tulisan di papan: Jual Buku Sastra. Ya, Jual-Buku-Sastra. Sederhana saja. Dan, mudah diingat, bukan?
Kapan saja datang, selagi masih paham soal waktu dan etika bertamu, pintu toko buku kita senantiasa terbuka. Kalau cukup beruntung, percayalah, tak lama berselang Anda bakal dengar tuan rumah menawarkan: “Kopi dulu, ya?” Percayalah, janganlah menolak rezeki. “Atau mau teh?” Dan jangan pula jadi sungkan, berniat membayar buku yang tak ingin dibeli. Terima saja, seruput dan mulai mengobrollah. Ceritakan pada orang-orang di sana perihal apa yang dicari. Tak selalu tentang buku. Meski, kalau tentang buku, tahulah Anda berada di tempat yang tepat!
Terakhir, saran saya, Anda datanglah pada tanggal 19 dan 20 besok!
2
AH, andai saja Anda jadi datang kemarin. Ya, tanggal 19 dan 20 September kemarin. Anda tahu, saya bertugas memasang lampu kala itu: toko buku kita mengadakan acara parade sastra! Semalam sebelum hari h, saya datang ke sana membawa dua lampu general dan satu lampu PAR. Di halaman belakang toko buku kita lampu-lampu saya pasang. Lihat, betapa hangat oranye tampak serasi dengan kehijauan rumput. Bekerja sama mereka melawan malam.
Saat itu, selesai dengan lampu, saya pun duduk sebelah Bayu, kawan yang nantinya menjadi MC hari pertama. Pada saya, ia mengenalkan seseorang bernama Willy. Kabarnya, beliau itu wakil dari tim kerja program Penguatan Komunitas Sastra, Kemenkebud.
“Kenalin, ya,” ucap orang pusat itu menjabat tangan saya. Lepas bertukar nama dan senyum seulas, ia bertanya, “Semester berapa?”
“Tiga,” jawab saya.
“Nah, begini dong. Masih muda ya main-main ke komunitas sastra!”
Ah, jadi toko buku kita ini juga komunitas sastra.
Agaknya Mas Bayu membaca raut muka saya. Entah, ia lantas berkata, “Komunitas itu ibarat jembatan antara karya dan pembaca. Semacam ujung tombak untuk menyebarluaskan, mendiskusikan, mengalihwahanakan, dan lain-lainnyalah. Benar, ‘kan, Mas Willy?”
Mas Willy terkekeh, “Betul! Seperti omongan Pak Ahmad Mahendra[5] yang baru kusampaikan ke kamu ya …”
Mas Bayu pun turut tertawa.
Meski tak tahu dan pura-pura tertawa saja, saya rasa Mas Willy itu menyenangkan juga orangnya. Itu terbukti besoknya. Entah mengapa, tiba-tiba saja ia membelikan saya rokok. Dua bungkus! Bagi sama kawan-kawanmu, pesannya. Sebentar, bagaimana ia tahu kalau Anda akan menyusul saya? Ya, walau ia tak tahu benar kalau Anda tak jadi ke mari. Tetapi begitulah. Mas Willy orangnya menyenangkan, tak seperti umumnya orang hidup yang hidup.[6]
Kembali pada malam itu, sebelum berpamitan pulang, saya melihat Mas Bayu ada mencatat sesuatu. Mas Willy sudah pulang saat itu. Tersebab penasaran, saya mendekat dan bertanyalah. Ini yang harus kuhafal untuk besok menjadi MC, jawabnya. Apakah boleh saya membaca, tentu saja. Bahkan, atas nama solidaritas, saya ikut-ikutan menghafalnya. Anda pun, saran saya, seyogyanya juga hafal.
Dalam kertas itu tertulis demikian: “Parade Sastra JBS didukung penuh oleh Program Penguatan Komunitas Sastra yang digagas Kementerian Kebudayaan melalui Direktorat Jenderal Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan Kebudayaan.”
Mas Bayu akhirnya benar-benar pulang. Sisa saya dan keheningan malam. Sambil itu, dalam hati saya menduga-duga: dua hari esok bagaimanakah jalannya. Duh, nyawa, tinggallah sejenak lebih lama![7]
Bagaimana, ibarat konser musik, lihatlah line-up-nya! Dua hari ke depan, Anda akan berkawan dengan nama-nama kawakan. Saya sebut saja, satu-satu kalau perlu! Baiklah. Faruk, Ramayda Akmal, dan Ni Made Purnamarisari akan mengajak berangan-angan, “Kalau dalam film, Naratologi ialah kamera.” Eh, bagaimana? Kamera? Naratologi? Itulah dia! Belum lagi Raudal Tanjung Banua, Asef Saeful Anwar, Mahfud Ikhwan, dan Selvi Agnesia. Bayangkan saja, akan seperti apa obrolan-obrolan dengan mereka nantinya? Tak sampai di situ, sebagai penutup hari, masih ada Kedung Darma Romansha yang bakal membacakan puisi-puisinya! Tahulah, bagaimana pertunjukan di tangannya!
Besoknya, masih ada! A Muttaqin, Pranita Dewi, Mutia Sukma, dan Latief S Nugraha! Penyair-penyair dan satu tulang punggung kebudayaan kota kita di satu waktu. Benarlah, sekali mendayung, jangankan dua, seribu pulau terlampaui! Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan puisi bersama Mira MM Astra dan Komang Ira Puspitaningsih. Barulah, sekalian menutup keseluruhan agenda: orasi sastra! Bersama, the one dan satu-satunya, Saut Situmorang!
Selain itu, parade sastra di toko buku kita ini ada juga daringnya. Dalam bentuk siniar, obrolan Indrian Koto bersama bintang tamunya bisa Anda simak segera. Baik itu bersama Berto Tukan, Pranita Dewi, A Muttaqin, atau juga Bobi Tuankotta, dan Gladhys Elliona. Segera, mereka akan mengunggah videonya.
Tetapi tetap saja. Entahlah, saya merasa sayang sekali Anda melewatkan semuanya. Sayang sekali Anda tak datang ke toko buku kita. Lihatlah, saya bahkan kesulitan menggambarkan apa yang terjadi di sana!
Beruntung, saya masih ada dua orang kawan. Namanya Mario Agusta dan Fathurrahman. Dengan asyik dan menarik, mereka mendokumentasikan dua hari itu dalam tulisannya. Saran saya, Anda bacalah. Inilah tautannya: hari pertama dan hari kedua.
BEGITULAH, andai Anda seorang pelajar, dan berkuliah di kota kita, hendaknya motor segera diengkol, atau buru-burulah memanggil ojol …
(2025)
[1] Iwan Simatupang mengenalkan Tokoh Kita yang, seperti menurut Raudal Tanjung Banua dalam cerpennya Keluarga Ampuntuan, bernilai representatif (Shira Media, 2024).
[2] Ibid.
[3] Dalam menutup agenda Jogja Book Fair 2025, Wawan Arif selaku Ketua IKAPI DIY menyampaikan, “IKAPI DIY bersama banyak pihak lain bakal mengajukan Yogya sebagai ibu kota buku dunia ke UNESCO.” (Sukusastra.com, 19 September 2025). Beberapa bulan sebelumnya, Taman Budaya Yogyakarta juga menggelar Sarasehan Sastra bertajuk: Yogyakarta Ibu Kota Buku Sastra. (Taman Budaya Yogyakarta, 17 Februari 2025).
[4] Judul buku kumpulan puisi Indrian Koto (JBS, 2024)
[5] Ahmad Mahendra adalah Direktur Jenderal Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan Kebudayaan.
[6] Willy Fahmy Agiska menulis kumpulan puisi yang berjudul seperti orang mati yang hidup (Velodrom, 2025).
[7] Judul buku kumpulan puisi Pranita Dewi (JBS, 2024)