
Cut Off: Menolak Mantan
Membaca tulisan yang ditulis Taufik Darwis sebagai dramatug dari pertunjukan Cut Off saya ingin tahu, bagaimana pertunjukan yang pentas pada 4-5 Juni 2016 di Selasar Sunaryo Art Space ini melihat dan memosisikan konsep tubuh. Taufik menulis, pertunjukan ini memproduksi subjek yang kehilangan rumah. Disebut kehilangan rumah, sebab tubuh terus berjalan di dalam ruang dan waktu yang silih berganti, menciptakan entitas tubuh yang terus bermutasi dan beradaptasi. Dikatakan pula, tubuh semacam ini adalah pra-kondisi penting untuk menghadapi ide-ide yang datang kemudian, yang disebut sebagai kembali ke masa depan dalam pertunjukan ini.
Pertanyaan kemudian di benak saya, bagaimana itu cara kembali ke masa depan? Paradoks yang gegabah jika misalnya alasan dari pemilihan konsep ini berdasar pada mustahil kita move on jika terus mengenang mantan. Mantan di sana adalah sejarah yang melulu membuat kita tertekan dan mandeg tak pernah berubah, sementara move on adalah perubahan. Perubahan semacam apa yang ingin dicapai? Bagi saya, kehadiran sejarah tetap menjadi penting sebagai titik pijak dan titik tolak sebuah perubahan. Untuk move on kita bukan sekedar membutuhkan hal baru dan semangat untuk melakukannya, tetapi juga mantan yang menjadi alasan kerja move on itu berlangsung.
Disutradarai Riyadhus Shalihin, dan diperankan oleh aktor yakni: John Heryanto, Ganda Swarna, Hilmie Sein, dan Tazkia Hariny. Pertunjukan ini saya lihat masih menghadirkan sejarah, menghadirkan mantan yang katanya susah membuat kita move on atau berubah itu. Apakah itu yang dinamakan kembali? Tetapi kenapa ke masa depan? Lalu kerja pertunjukan yang bermaksud menghadirkan subjek tak berumah itu akan hadir dalam bentuk seperti apa? Menelanjangi tubuh hingga pengalamannya yang paling sublim semisal mengembalikan bahasa pada bunyi?
Masih ada Sejarah
Sejarah itu tampak pada adegan pertama, dimana seorang Belanda melakukan pembukaan dalam ruang pameran seni rupa. Lalu membawa penonton pada suasana terhormat, dimana seni pada masa kolonial memang hanya milik kaum elit saja. Penonton berada pada ruang pemaknaan seperti itu. Penonton adalah elit atau borju dalam konstalasi seni Indonesia hari ini atau Hindia Belanda waktu itu. Lalu seorang pribumi dengan dagangan di pundak, berlari-lari rusuh mengacaukan ruang pameran yang elit dan khidmat itu. Ia mengakhiri perannya dengan memainkan mainannya sendiri berupa mainan ayam-ayaman yang ia namai sebagai seni have fun. Bahwa seni bukan persoalan bisnis, tetapi kesenangan pribadi.
Ada oposisi biner yang tegas di sana. Tentang penjajah, pribumi, dan seni di antara mereka. Sebagai awalan, peristiwa di sana telah menempatkan penonton sebagai bagian dari kolonialisme. Hal tersebut disambut dengan adegan selanjutnya, dimana tokoh-tokoh melakukan jual beli pakaian pada penonton. Ini sangat menarik. Tiga orang aktor telanjang, membawa pakaian dalam koper, ransel, dan kantong. Ketiganya mengeluarkan baju-baju bekas untuk dijual seperti halnya penjual pakaian di pasar loak. Salah satu contoh, John menjual bra berwarna merah kepada penonton dengan ujaran berikut, “BH Megawati, Ayo, Ayo Cuma goceng (Rp.5000,-) Megawati Cuma goceng, ayo, Megawati gocengan. Ada yang mau?” Karena tidak ada yang membeli, maka John memakainya.
John yang telanjang, menjual pakaian bekas. Pakaian dibebani sejarah dan peristiwa, sehingga memiliki makna sejarah dan peristiwa. Lalu dijual dan ketika tak ada yang membelinya, sejarah dikenakan oleh dirinya sendiri sebagai bagian yang menutupi ketelanjangan tubuh John. Bukan hanya Megawati yang dijual murah oleh John. Tetapi juga kolonialisme, surga, popularitas, melalui benda-benda semisal daster, kerudung, dan sebuah baju mewah. Begitupun aktor lain, semisal Ganda yang menjual ketokohan seperti Rendra, Asrul Sani, nama-nama Pejabat, kepada penonton. Atau Hilmie yang dengan bahasa Sunda kasarnya, menjual berbagai tipu daya barang dagangan yang multifungsi kepada penonton. Hilmie seolah menjual norma manusia. Adegan ini semuanya dilakukan dengan pola yang sama, yakni sejarah, norma, dan peristiwa dijual, tidak ada yang membeli, lalu mereka memakainya sendiri. Hingga bertumpuk pakaian di tubuh mereka.
Tubuh yang telanjang menjadi penuh dengan sejarah, peritiwa, dan norma. Lalu mereka menari. Dilepasnya satu-satu pakaian oleh tarian mereka para lelaki penuh norma ini. Pakaian yang terlepas itu dipungut oleh Tazkiyah mewakili entitas lain yang saya lihat sebagai perempuan. Kenapa perempuan? Tazkiya membawa tubuhnya yang perempuan ke atas panggung, dan menari. Tarian itu memungut pakaian (sejarah, norma, dan peristiwa) satu persatu hingga tubuh Tazkiya penuh dengan seluruh pakaian. Lalu ketiga aktor laki-laki telanjang lagi dan pergi. Perempuan itu merasa berat dengan tubuhnya dan berkata, “Ada yang mau beli?”
Oposisi biner telah ditegaskan oleh Riyadh dalam bentuk tubuh yang paling radikal, yakni perempuan dan laki-laki. Entah ini disadari atau tidak. Ada kontras lelaki yang membebani sejarah, norma, dan peristiwa kepada tubuh perempuan dan perempuan dengan bangga mengenakannya. Bahkan menjual dirinya sendiri yang bertumpuk norma itu. Pengadeganan ini bagi saya cerdas dan menarik. Sejarah, peristiwa, dan norma yang dikritik pertunjukan ini hadir dalam kemasan yang tidak didaktik, tetapi melalui persuasif yang radikal.
Jika pertunjukan ini dianggap sebagai move on, perubahan, hal tersebut muncul dari ketiga aktor (lelaki) yang mengupas pakaian mereka. Ada upaya radikal mereka untuk melepas belenggu norma dengan tarian. Tarian bagi saya mewakili entitas tubuh yang alamiah. Energi dalam tarian, menempatkan tubuh sebagai tubuh yang bergerak, meski memang gerakannya tetap tidak bisa terlepas dari satu paham atau ideology tertentu. Setidaknya pilihan tari sebagai upaya melepaskan diri dari belenggu norma bagi saya tepat.
Namun menjadi persoalan kemudian adalah Riyadh tidak melihat bahaya posisi Tazkiyah sebagai perempuan. Potensi maknanya adalah bahwa perempuan hari ini yang paling terkonstruksi oleh norma-norma/superego. Mereka merupakan konsumen utama kapitalisme. Namun potensi itu pada akhirnya membatalkan upaya tiga lelaki yang heroik melepaskan norma, yang rupanya mereka menjajah perempuan dengan norma-norma yang mereka lepaskan. Penjajahan lelaki ini saya kira terlihat sekali pada adegan tersebut. Hingga Tazkiyahlah yang akhirnya menggunakan seluruh pakaian yang tadi dijual dan dikenakan laki-laki.
Keradikalan dan tipe pengadeganan semacam ini kemudian nampak lagi pada penghadiran simbol-simbol lain yang menurut saya tepat. Agama misalnya. Kritik terhadap agama dihadirkan memalui toa demo yang berbunyi takbir, himbauan agama, perintah jihad, dll. Toa itu dipasang terbalik menghadap aktor dan ketiga aktor merintih dan sakit lalu meminta toa itu dimatikan. Permintaan mematikan toa ditujukan pada Tazkiyah (perempuan) yang membawa seekor ayam jantan hidup. Di kejauhan celengan ayam tergeletak di lantai. Menjadi pertanyaan yang kurang dijelaskan di dalam pertunjukkan adalah apa hubungan ayam dan agama (toa yang menyuarakan agama)? Apakah hanya berelasi antara ayam yang bisa dibunuh sebagai makhluk hidup dan toa yang terus disuarakan orang yang hidup. Bahwa jika ayam dibunuh, maka idologi yang bersemayam di dalam toa pun akan mati. Di sini nampak bagaimana tidak hanya kritik terhadap agama saja yang dihadirkan, tetapi juga sikap terhadap persoalan tersebut. Tetapi kenapa mesti perempuan yang mematikannya?
Sejarah (fenomena ke-indonesia-an) lain yang dihadirkan yakni dangdut, kemacetan, dan suporter bola. Semua masuk dalam tubuh yang menari dan merintih-rintih. Ada pembelengguan terhadap tubuh dari peristiwa-peristiwa yang menggambarkan kondisi persoalan di atas. Semisal musik dangdut yang membuat aktor-aktor menari, kemacetan yang digambarkan oleh visual art dan aktor yang menirukan gerakan kendaraan, juga peristiwa mendukung pertandingan bola dimana aktor bernyanyi, “elo gue sama saja, sama-sama anjing, anjing itu elo!”. Bahasa di sana, telah menjadi upaya tubuh terbelenggu itu keluar dari perangkap norma dengan memaknai sosial yang mendera mereka dengan melawan lewat retorika semacam itu. Sosial itu anjing!
Ada pula visual art yang dihadirkan dalam bentuk video tentang kondisi masyarakat di jalanan. Video itu merekam kondisi pinggiran jalan, kemacetan, lalu-lalang mobil, pedagang, pertokoan, dengan latar suara Goenawan Muhamad dan beberapa tokoh menjelaskan 1965, penjelasan tentang marxisme, tentang Indonesia, tentang seni. Tidak begitu runut dan jelas gagasan verbal video itu. Seolah antara verbal dan visiual video sengaja dibentur-padankan. Jalan menjadi visual yang dominan dalam video itu. Ada apa dengan jalan? Apakah ini berhubungan dengan pembangunan Jalan Raya Pos-nya Dendles yang menjadi representasi kolonialisme dan solah menggambarkan dampaknya kini dimana masyarakat kita masih juga terjajah dalam kolonialisme dalam bentuk yang lain.
Penonton yang diposisikan sebagai bagian dari penjajah di awal itu, diposisikan dengan sangat cepat menjadi bagian dari objek yang terjajah dengan ditampilkan di dalam video art. Tim pertunjukan ini merekam pada penonton sebelum pertunjukan berlangsung. Lalu di dalam pertunjukan di tampilkan. Dengan dilatarbelakangi ceramah dilemma seni dan ke-indonesia-an. Lalu adegan diakhiri dengan ketiga aktor muncul dari arah penonton, membawa sesajen yang ke arah layar proyektor yang juga menampilkan ketiga aktor yang seperti tuan melihat dan mentertawakan mereka. Adegan diakhiri dengan tiga aktor di atas panggung, melempar diri mereka sendiri yang berada di dalam layar proyektor dengan sesajen itu. Seperti berkata, kita yang terjajah, mesti dilawan dengan melawan diri kita sendiri yang masih terjajah secara sikap.
Tafsir Terhadap Tubuh
Melihat konsep tubuh yang saya pertanyakan tadi, apakah Riyadh, Taufik Darwis dkk., ingin menghadirkan tubuh yang terlepas dari norma-norma yang membelenggunya? Seperti mengembalikan bahasa pada bunyi? Ya, bahasa sebagai sistem tanda, mulanya, embrionya, adalah sistem artikulasi alat ucap manusia yang berbentuk bunyi. Bunyi ini menghasilkan ujaran yang bermakna kemudian sebab terhadap konvensi terhadap bunyi tersebut. Lantas tubuh sebagai bentuk banal dari ketertubuhan manusia adalah struktur fisik manusia itu sendiri. Apakah itu yang dijadikan alat pemberontakan pertunjukan ini?
Secara wacana, saya melihat upaya itu dengan terlihatnya bagaimana akhirnya aktor-aktor melakukan koreografer yang melepaskan dirinya dari makna akan tubuh yang terkonstruksi. Pemberontakan pada tubuh ini bagi saya tidak memperhatikan posisi struktur tubuh yang berlainan antara lelaki dan perempuan. Ada tiga aktor laki-laki dan satu aktor perempuan yang secara peran peristiwa diberi makna sosial sebagai lelaki dan perempuan.
Maksudnya, sebagaimana disinggung di pembahasan pertama tentang kekuasaan yang mendera perempuan misalnya. Perempuan dan lelaki mau tidak mau memiliki struktur tubuh yang berbeda, yang nampak kemudian dalam bentuknya yang berbeda, ditambah dengan konstruksi norma terhadap perbedaan tubuh ini di Indonesia sangatlah kental. Adegan pakaian yang dilepas dari lelaki dan akhirnya dipungut perempuan tidak bisa dilepaskan dari pemaknaan posisi perempuan dan laki-laki dalam konstalasi kekuasaan keduanya dalam konteks sosial Indonesia. Pertunjukan ini akhirnya mendiskreditkan perempuan.
Meski Jacques Lacan telah beranjak dari Freudian yang menempatkan hasrat bukan terletak pada struktur biologis (falus dan vagina sebagai falus) tetapi falus adalah hasrat ada diantara mereka yang kehilangan. Pertunjukan ini telah memposisikan lelaki dan perempuan dalam konteks sosial Indonesia. Maka teori Lacan tidak berlaku dalam pengadeganan pertunjukan seperti itu. Ada dramatik yang dibangun dimana lelaki dan perempuan di sini memang dua hal yang punya peran sosial.
Melihat narasi pertunjukan yang mencoba kembali ke masa depan, sebagai cara kembali pertunjukan ini mampu membawa kita pada parodi problema sejarah, peristiwa ke-Indonesia-an, dan posisi seni kita hari ini dengan sangat baik. Tubuh kemudian menjadi terlihat sangat terbelenggu dan terkonstruksi oleh fenomena-fenomena itu.
Namun masa depan di sini saya kira tidak begitu nampak. Jika masa depan di sana adalah solusi, beberapa hal yang melemahkan pertunjukan ini. 1) Posisi subjek terbentur tubuh yang masih terparsialisasi dalam struktur biologis antara perempuan dan laki-laki yang hirarkis dan masih terjadi penjajahan diantara keduanya. 2) Pertunjukan ini masih dalam bentuk perlawanan secara mindset sikap mesti keluar, tidak melakukan upaya pembebasan yang muncul dalam bentuk metode keluar dari bayang-bayang sejarah yang sudah dengan baik dipaparkan pertunjukan ini.
Namun, mungkin pertunjukan ini hanya bekerja sampai poin nomer dua di atas dalam menyampaikan maknanya. Cut Off yang berarti putuskan atau matikan atau keluar dari pola pikir sejarah yang selalu menempatkan kita pada keadaan mandeg dan terjajah. Mantan memang selalu menjadi halangan kita bisa benar-benar total move on. Tapi Riyadh dkk, menurut saya yang utama hari ini untuk move on adalah pacar baru dari analisis mantan-mantan kita terdahulu. Mana pacar baru yang kalian tawarkan?[]