Fb. In. Tw.

Ben Go Tun: Otoritas Kebenaran dari Pseudo yang Berkelindan

Berita bohong, fitnah, dan informasi palsu sedang menggema dan membiak belakangan ini dalam konteks nation yang tumbuh dari ruang-ruang nurture dan kedangkalan berpikir. Bergulirnya bola liar syak wasangka bak manifestasi rendahnya tingkat literasi masyarakat. Keterampilan membaca secara kritis seolah lenyap dalam hitungan detik kala sebuah gawai mendapatkan pesan tentang keharusan penggunanya untuk membagikan berita palsu yang dianyam dengan akhiran: share dan like = amin, surga kian lapang.

Ketika semua orang berteriak dan ingin selalu didengarkan serta mendapatkan secara instan apa yang diinginkan, maka hasilnya adalah chaos. Ketika semua orang merasa benar dan semua orang pun harus tahu kebenaran tersebut, maka hasilnya adalah ilusi. Beberapa orang kerap memaksakan kehendaknya akan impian. Namun, hal tersebut terbentur dengan realita. Maka, jalan pintasnya adalah mewartakan informasi yang invalid dan pseudo demi melanggengkan harapan tersebut.

Pernyataan-pernyataan itu hadir dalam lakon Ben Go Tun karya Saini KM. Minggu (29/1/2017), Teater Zat dari Univeritas Negeri Jakarta mementaskan Ben Go Tun di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, dengan arahan sutradara Ipih Sopani. Lakon yang menjadi pemenang sayembara lakon Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1977 ini mengangkat tema sosial dan potret masyarakat kelas menengah bawah pada kurun orde baru. Saini KM meracik lakon ini dengan balutan dan kerangka realis.

Secara premis, Ben Go Tun melaju dalam tataran pencarian dan upaya mendapatkan apa yang hilang dan apa-apa yang tidak dimiliki. Sebuah konstruksi naratif yang mewujud dalam beberapa tahap dan sinkronis. Secara kronologis, jahitan adegan sambung menyambung membentuk pelbagai permasalahan. Dari pakaian yang hilang, munculnya Ben Go Tun, konflik kepentingan, dan resolusi yang berleret: terkuaknya para penipu, berita palsu dari veteran palsu, sampai pada jenderal palsu.

Banalitas Medioker dan Anti Hero
Adegan bermula ketika Banen, pembantu dari veteran perang bernama Johan Budiman menyapu teras rumah. Kemudian Amat, membuka warung kelontongnya. Setelah itu, terjadi asbak percakapan basa-basi di pagi hari. Sekonyong-konyong, muncul tukang jahit mencari pakaian jenderal yang hilang. Dari situ peristiwa mulai bergulir. Beberapa tokoh hadir secara kronologis dan tematis.

Si Buntut Kuda, seniman partikelir oportunis dan pragmatis. 3 pemusik yang merepresentasikan kinerja teks ben go tun itu sendiri. Si Pakaian Batik, wartawan bodrex yang memeras Johan Budiman. Si Pemuda, mahasiswa tukang protes sok tahu yang keminggris namun nirsubstansi. Dukun palsu yang juga ingin menceruk keuntungan dari Johan Budiman. Si Pakaian Militer bersama hansip yang meruntuhkan hegemoni pseudo. Hingga perawat hadir di akhir adegan seperti Deus Ex Machina: pembuka tabir sesungguhnya bahwa Si Pakaian Militer adalah pasien rumah sakit jiwa.  Mereka saling berpilin pada satu sentral pengisahan: Pria. Seorang yang mengaku sebagai veteran perang bernama Johan Budiman.

Memainkan teks realis adalah persoalan environment-based serta kerja keaktoran yang bermain harus sesuai porsi, hierarki dan proporsi yang pas. Logika konvesional bertautan dengan pengindraan yang objektif dan real. Bagi saya tokoh-tokoh yang beredar di Ben Go Tun adalah representasi manusia kelas kedua yang hidup dan menghidupi kehidupannya dengan berbagai cara.

Lihat, Amat. Ia menjadi jembatan di antara semua tokoh yang lalu lalang dalam lintasan warung kelontongnya. Ia menjadi saksi dari munculnya Si Buntut Kuda dan Si Pakaian Batik dalam usahanya memeras Johan Budiman. Pun juga dengan dukun dan pemuda yang memiliki motif serupa. Amat menjadi semacam anti-hero. Ia tak sengaja menjadi the choosen one karena beberapa peristiwa yang hadir di depannya. Hingga di penghujung kisah ia membuka semua kedok tersebut dengan lugu dan tanpa pretensi mendapatkan sesuatu. Amat adalah jukstaposisi. Ia menjadi subjek sekaligus objek dalam tataran oposisi biner.

Dilihat dari dramaturgi, Ben Go Tun adalah lakon well-made-play. Sebab-akibat dan terstruktur rapi. Kerja penyutradaraan pun lebih bertumpu pada rancang bangun aktor dan laku dramatik setiap adegan. Konstruksi artistik dan musik berjalan pada rel yang semestinya. Warung kelontong dan rumah yang bersebelahan, terbangun selaras dari tone-nya. Musik tradisi dan dangdut pun memberikan aksentuasi khusus di akhir tahun 70-an.

Meski begitu, ada sedikit lubang dari detil keaktoran terkait logika konvensional. Ketika tokoh Pemuda meminta ganja di warung Amat. Si Pemuda mengeluarkan daya ucap begitu vokal dan penuh repetisi, sementara hal ihwal yang dibicarakan adalah barang terlarang.

Selain itu, adegan Amat dengan Banen ketika Amat ingin mencari penanda, bahwa Banen akan menjadi gila. Amat yang polos dan lugu mendapatkan ide untuk mengetahui ciri-ciri orang gila dengan melihat dalaman rok Banen. Sama seperti ketika ia menonton pertikaian antara Si Buntut Kuda dengan salah satu personel Ben Go Tun. Menyoal tipikal waria yang menggunakan payudara palsu dan produksi vokal yang naik-turun sesuai emosi dan motivasi. Dialog yang luber dan verbal.  Sementara bila dipotong sedikit pun dialog-dialog tersebut tidak mengurangi esensinya. Tapi saya mafhum, hal tersebut tetap dipertahankan karena berusaha memancing munculnya feedback effect dengan penonton melalui kelucuan-komikal-karikatural.

Pakaian sebagai Identitas
Johan mengaku sebagai veteran yang terlibat di sejumlah peperangan, mulai dari peristiwa Kawarang-Bekasi, Bandung Lautan Api hingga perang di Surabaya. Bahkan dia mengatakan Chairil Anwar membuat puisi Antara Karawang Bekasi karena terinspirasi pengalamannya. Secara tidak langsung, Johan Budiman adalah wujud tokoh-tokoh politik kita saat ini, yang gila hormat, pangkat, dan tamak.

Johan Budiman mendambakan menjadi tokoh sentral dalam konstruksi sejarah perjuangan Indonesia dan dibicarakan banyak orang untuk menjadi media darling. Ia adalah tesis akan kulit dan bungkus. Tentang citraan yang mewabah. Sementara, siapa yang menyangka ternyata di balik pakaian militer seorang jendral adalah pasien rumah sakit jiwa? Pakaian secara harfiah dijadikan sebagai simbol topeng jati diri, meski realita dan isinya berbenturan dengan kulit dan bungkus tersebut. Sebuah simbol realis tentang identitas. Saini KM menulis lakon ini seperti ia mengalami sebuah distorsi yang merujuk pada rezim otoriter, meski tanpa pretensi mengarah ke sana. Ekses-ekses ironi muncul secara tidak langsung.

Mempertanyakan Kebenaran
Beberapa cara ditempuh orang-orang untuk memperoleh kebenaran, antara lain dengan menggunakan rasio dan melalui pengalaman atau empiris. Saling silang antar tokoh yang meyakini kebenarannya dengan berpura-pura tergambar secara deskriptif dalam laku dramatik. Tokoh-tokoh di dalam Ben Go Tun beberapa di antaranya memiliki kecenderungan pragmatis dan oportunis.

Johan Budiman yang mengaku sebagai veteran perang yang berjasa dalam masa penjajahan. Buntut Kuda seniman medioker dan partikelir yang menolak berbagai intervensi dari pemerintah. Sok intelektual tapi tuna gagasan. Si Pakaian Batik, wartawan bodrex dan penulis stensilan. Dukun dan pemuda, memamah keuntungan dari kondisi serupa. Mereka tipikal round-character yang bergerak seriring laku pengisahan. Mereka masing-masing meyakini apa yang mereka lakukan adalah benar. Dan meyakini serta menghalalkan segala cara dengan menipu adalah tafsir kebenaran menurut tindak empiris yang materialistis. Sementara tokoh seperti Amat, Banen, Tukang Jahit, Pemain Musik, Hansip dan Perawat memiliki biografi tokoh yang taat sesuai nature-nya.

Ketika penonton dihadapi dengan berbagai benturan antara penipu dan yang ditipu, maka otentitas pertunjukan semakin menemukan bentuk konkretnya seperti apa yang dikatakan Jean Baudrillard: hiperealitas menciptakan satu kondisi yang di dalamnya kepalsuan berbaur dengan keaslian. Masa lalu berbaur masa kini. Fakta bersimpang siur dengan rekayasa. Tanda melebur dengan realitas, dan dusta bersenyawa dengan kebenaran. Apakah kebenaran itu? Bagaimanakah wujud kebenaran bila dilihat dari berbagai perspektif yang menolak grand narrative?

Pseudo dan berita palsu kini banyak lahir di tengah-tengah masyarakat. Dengan gamblang dan verbal. Hal tersebut membawa ingatan jauh kepada kasus Idrus dan Markonah. Pada pemerintahan orde lama, ketika Soekarno menjabat, Idrus dan Markonah mengaku sebagai Raja dan Ratu Kubu, Suku Anak Dalam, Sumatera, pada 1950-an. Mereka melakukan perjalanan ke daerah dalam rangka pembebasan Irian Barat yang saat itu masih di tangan Belanda. Namun kedok keduanya terbongkar saat mereka jalan-jalan di sebuah pasar di Jakarta. Seorang tukang becak mengenali keduanya karena Idrus merupakan rekan satu profesinya. Sedangkan Markonah seorang pelacur. Ketika profesi menjadi titik pijakan. Ketika sandang sebagai pilar manusia dalam hidup. Ketika itu pula keduanya dapat membentuk ilusi identitas.

Kecermatan Saini dalam membuat karakter dan peristiwa dalam Ben Go Tun sebagai teks, dapat berpotensi untuk diafirmasi, dinegasi, dan diproduksi menjadi gagasan baru. Bahwa penipu, berita palsu dan pelbagai kibul untuk mencari keuntungan, napasnya mungkin masih akan panjang. Penyakit masyarakat dan spektakel yang kontekstual bila kita menilik manusia sebagai entitas yang terus berkembang.[]

KOMENTAR
Post tags:

Penikmat seni pertunjukan, film, dan sepakbola. Buku puisinya "Skenario Menyusun Antena" (IBC, 2015). Blog pribadinya: www.senandungmendung.com

You don't have permission to register