Fb. In. Tw.

“Barabah”: Poligami Insaf

Sejak pukul sembilan pagi seratusan mahasiswa memenuhi ruang depan Aula A gedung FPSD di Kampus UPI Bandung. Pintu baru dibuka tiga puluh menit kemudian. Telat setangah jam dari jadwal yang tertulis pada selebaran. Di kampus yang terletak di Bandung Utara itu pementasan lakon Barabah oleh CD Teater, Rabu (22/4) dimulai. Di ruangan dengan kapasitas sekira 250 orang itu, penonton menikmati sajian komedi segar yang ditulis Motinggo Busye tahun 1961.

Panggung itu menggambarkan ruang tamu sebuah rumah. Tiga kursi dengan meja bertaplak warna putih di tengah panggung. Sebuah jambangan berukir bunga di pojok kanan dan meja kecil di pojok kiri. Sebuah kursi tanpa sandaran menemani meja. Di atas kursi tergeletak kain warna merah muda terikat pada cetakan. Di dinding tergantung foto keluarga, sebuah jam, dan dua buah lukisan. Foto sendiri-sendiri dan foto bersama. Banio dan Barabah.

Dua orang pembawa acara membacakan petunjuk agar penonton tak menggunakan lampu kilat saat menggunakan kamera. Juga perhatian agar suara semua alat komunikasi di posisi diam. Tak lupa mengajak agar penonton berlaku tertib saat permentasan berlangsung. Dua orang yang manis.

Barabah menyambut Banio yang datang memikul cangkul. Datang dari pintu di kanan. Di dekat pintu sebuah jendela berkain biru berada. Banio menyerahkan cangkul. Barabah menerima cangkul. Cangkul yang bersih. Tak ada bekas tanah menempel di sana. Banio mungkin petani yang rajin. Selesai membersihkan ilalang cangkul dibesihkannya. Tapi mengapa bukan parang? Cangkul untuk mebolak-balik tanah. Ilalang dibersihkan dengan cangkul.

Banio pulang dari ladang. Barabah menemani Banio menikmati teh dan panganan. Dua buah toples berisi kue kering dan sebuah mug kaleng besar sedari awal mengisi meja. Banio seorang lelaki tua berusia 70 tahun. Banio bertubuh bongkok tetapi kekar. Suaranya lantang. Banio seorang penganut poligami garis keras. Ia memiliki dua belas istri. Banio pernah menikah dua belas kali. Namun kedua belas istrinya tidaklah utuh. Kini tinggal satu. Ya, hanya istri kedua belaslah yang masih menemaninya: Barabah. Barabah biasa dipanggil Ibah. Barabah perempuan setia. Berusia muda. 28 tahun. Cantik, menarik, dan mencintai Banio seutuhnya.

Barabah merupakan kisah tentang Banio, lelaki dengan istri dua belas. Meski sudah 70 tahun ia tetap kuat. Barabah tidak ingin Banio kawin lagi. Barabah terus-menerus mengingatkan bahwa ia tidak ingin kehilangan suaminya. Barabah tidak ingin dicerai. Barabah berhasil membuat Banio yang patriarki insaf. Meski demikian Banio sempat pula membuat Barabah tak enak hati. Barabah diminta untuk mengingat nama-nama istri Banio terdahulu. Juga mengingat apa saja yang terjadi hingga Banio menalak mereka.

Barabah yang muda, cantik, dan menarik mengikat Banio. Banio sempat bertanya apakah Barabah akan menangis jika kelak ia meninggal? Banio juga memiliki rasa cemburu jika kelak ia meninggal akan banyak lelaki yang mendekati Barabah. Barabah selalu setia pada Banio meski suaminya itu selalu saja mengungkit istri-istrinya terdahulu.

Barabah-2

Suatu ketika Barabah kedatangan tamu. Seorang perempuan muda yang “montok”. Perempuan itu Zaitun namanya. Zaitun tiga tahun lebih muda dari Barabah. Barabah cemburu sebab Zaitun bertanya terus tentang Banio. Banio saat itu tak sedang di rumah. Banio sedang membersihkan ladang dari ilalang. Barabah tentu saja cemburu sebab masa lalu Banio yang beristri sebelas sebelum ia yang kedua belas. Apa lagi Zaitun muda, cantik, dan montok. Pikiran Barabah tak mampu jernih menangkap maksud kedatangan tamu perempuan muda itu. Apalagi Zaitun menyebut-nyebut tentang dua ekor cicak yang saling bekejaran di tembok depan rumah Barabah. Zaitun menyebut-nyebut soal firasat bahwa apa yang dilihatnya tanda perjodohan.

Barabah akhirnya mengusir Zaitun. Sementara Zaitun tak sempat menjelaskan maksud kedatangannya. Kedatangan Zaitun mengusik pikiran Barabah. Barabah yang sedang mengandung tak seharusnya berpikiran jelek dan susah. Barabah tidak ingin melepas suaminya seperti yang dilakukan sebelas istri Banio sebelumnya. Barabah terus mengulang kekesalannya hingga tak dilihatnya Banio sudah di rumah.

Barabah bercerita tentang kedatangan Zaitun. Banio menyusul ke stasiun kereta. Saat Banio ke stasiun kereta datang juga tamu lain ke rumah Barabah. Tamu itu seorang lelaki muda bernama Adibul. Zaitun tidak ditemukan di stasiun oleh Banio. Sekembali ke rumah, Banio mendapati Adibul sedang berdua dengan Barabah. Banio cemburu.

Tidak disangka ketika percakapan tak jelas sedang berlangsung antara Banio, Barabah, dan Adibul, Zaitun muncul. Kesalahpahaman mulai menemukan titik terangnya. Zaitun adalah anak dari istri Banio yang keenam, Rabiah. Kedatangan Zaitun untuk memohon restu. Restu sebab Zaitun akan menikah dengan Adibul. Adegan minta restu ini mengharukan.

Pertunjukan yang mengambil latar awal tahun 1960an ini bermuatan kritik atas kebiasaan laki-laki yang beristri banyak. Juga soal perempuan dan seksualitas.  Pertama, pandangan patriarki ditampilkan oleh tokoh Banio. Lelucon tentang perempuan-perempuan dilontarkan oleh Banio ketika melakukan obrolan santai dengan istrinya, Barabah, di ruang tamu.

Perempuan dalam titik ini, dirugikan dengan pandangan yang berbau patriarki tersebut. Keberadaan perempuan yang semestinya dihargai dan dirangkul dalam budaya yang patriarki menjadi sesuatu yang tabu dan olok-olok. Dalam pertunjukan Barabah, yang menjadi pihak dirugikan adalah Barabah. Pada tingkat ekstrem, olok-olok pada kewibawaan perempuan ini berujung pada perilaku salah seperti dalam Barabah diwakili oleh Banio yang cemburu pada Barabah ketika Adibul di rumah.

Perilaku Banio ini menemukan kenyataannya akhir-akhir ini. Di Mojokerto lahir sebuah grup yang menamakan dirinya ‘Pologami Sakinah Group (PSG) atau Jamaah Ta’adud Sakinah’. Mereka mulai mewacanakan perlunya merevisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Salah satu yang dipersoalkan adalah syarat suami yang ingin berpoligami. Di dalamnya tidak hanya diisi oleh lelaki-lelaki yang doyan poligami juga ada perempuan yang entah mengapa dan dengan alasan apa juga menuntut dipologami. Sebuah kenyataan yang hadir akhir-akhir ini.

Barabah adalah salah satu otokritik terhadap masyarakat Indonesia. Dengan latar menjelang transisi politik nasional dari Orde Lama ke Orde Baru, pertunjukan ini mengingatkan lahirnya tantangan sosial baru dalam masyarakat. Setelah intervensi militer berangsur-angsur berkurang, bukan berarti kekerasan dan ancaman terhadap demokrasi segera lekang. Petaka baru yang mengintai rumah. Petaka yang memakai agama sebagai legitimasi. Petaka yang lebih berbahaya dan merusak sendi rumah tangga. Dalam situasi ini Barabah berhasil, tetapi bukan berarti ia menang.

Barabah berhasil meyakinkan Banio bahwa ia tidak akan kawin lagi. “Barabah. Kau Baik. Namamu juga bagus: Barabah! Burung pemakan pisang. Tapi kau bukan burung pemakan pisang, kau burung yang membenihkan pisang. Kalau kawin, carilah perempuan yang sebaik Barabah,” ujar Banio di penghujung pementasan.

Pementasan Barabah oleh CD Teater bukan berarti tidak ada yang perlu dikoreksi. Tata cahaya, artistik, musik kurang mampu mendukung peran Mustafa sebagai Banio, Rizki sebagai Barabah, Ferani sebagai Zaitun, dan Lutfi sebagai Adibul yang berperan baik dan menjanjikan. Barabah dipentaskan dua hari, Rabu dan Kamis, 22-23 April 2015.

Barabah
CD Teater—Universitas Pendidikan Indonesia
Naskah: Motinggo Busye
Sutradara: Muhammad Hendrawan
Aktor: Rizki Charisma Putri, Mustafa Reza Raihan Sind, Ferani Nurbaiti, dan Lutfi Dimar Rifai
Produksi: 2015

Foto: Ubai Muchtar

KOMENTAR
Post tags:

Kontributor tetap buruan.co. Guru SMPN Satap 3 Sobang dan Pemandu Reading Group "Max Havelaar" di Taman Baca Multatuli, Lebak, Banten.

You don't have permission to register