
Ahda Imran: “Membaca Kembali Pemikiran Tan Malaka”
Wawancara Tentang Monolog Tan Malaka “Saya Rusa Berbulu Merah”
Pada 23-24 Maret mendatang, Mainteater akan mementaskan Monolog Tan Malaka “Saya Rusa Berbulu Merah” di Auditorium Institut Français d’Indonésie (IFI) Bandung, Jalan Purnawarman, Bandung. Naskah monolog yang disutradarai Wawan Sofwan dan dimainkan oleh aktor Joind Banyuwinda ini ditulis oleh Ahda Imran.
Ahda Imran, lahir di Payakumbuh, 10 Agustus 1966. Namun, besar di Cimahi. Penyair dan esais Indonesia. Dua kumpulan puisinya yang telah terbit adalah Penunggang Kuda Negeri Malam (2008) dan Rusa Berbulu Merah (2014). Di samping menulis puisi dan esai, ia juga menulis naskah drama, di antaranya “Monolog 3 Perempuan” (ditulis bersama Gunawan Maryanto dan Djenar Maesa Ayu), dan “Monolog Inggit Garnasih”.
Monolog Tan Malaka “Saya Rusa Berbulu Merah” karya terbarunya seakan “menghidupkan” kembali Tan Malaka, tokoh revolusioner Indonesia yang bukan hanya jasadnya tapi pemikirannya juga turut “dikubur” dalam sejarah negeri ini.
Apakah monolog ini memang sebuah upaya “menghidupkan” kembali Tan Malaka? Mari ikuti wawancara saya dengan Ahda Imran, penulis naskah Monolog Tan Malaka “Saya Rusa Berbulu Merah” yang dilakukan melalui email:
Sebagai penulis naskah, apa yang ingin Kang Ahda sampaikan dari naskah Monolog Tan Malaka “Saya Rusa Berbulu Merah”? Apakah sebuah upaya membangkitkan kembali biografi Tan Malaka atau menyampaikan pemikiran-pemikiran Tan Malaka?
Secara subjektif, sama halnya ketika saya menulis Monolog Inggit Garnasih, Monolog Tan Malaka ditulis karena ingatan pada ungkapan orang Minangkabau “mengangkat batang terendam”; menghadirkan kembali apa yang selama ini begitu lama terlupakan. Biografi Tan Malaka tak bisa dipisahkan dari narasi gelapnya revolusi (1945-1949); persaingan ideologi perjuangan di antara para founding father yang sangat berpengaruh pada strategi perjuangan Republik, arah jalannya revolusi, serta bentuk negara atau pemerintahan yang dibayangkan. Tentang sikap pandangan Tan Malaka dan posisi yang dipilihnya dalam revolusi, sudah begitu banyak buku yang mengisahkannya, lengkap dengan kematiannya yang tragis.
Namun lebih dari sekadar itu, dan ini yang kerap dilupakan, adalah membaca kembali pemikiran Tan Malaka yang dahsyat itu dalam realitas kekinian. Secara umum lewat monolog ini, saya ingin kita berkaca pada teladan orang-orang besar di masa silam, setelah ternyata kita tak juga mendapatkan teladan itu dari orang-orang “besar” hari ini. Salah satu teladan yang tak juga kita dapatkan hari ini adalah satunya kata dan laku, satunya ucapan dengan perbuatan. Dan teladan seperti itu hanya kita temukan pada tokoh-tokoh silam, seperti Tan Malaka. Apa yang diucapkannya, apa yang ditulisnya, itulah yang dilakukan dan diperjuangkannya.
Di antara sekian banyak pemikiran Tan Malaka, menurut Kang Ahda yang manakah yang paling aktual hari ini?
Di antara para Founding-fathers, Tan Malaka adalah tokoh yang paling banyak meninggalkan tulisan. Mulai dari brosur-brosurnya selama periode pelarian di berbagai negara. Naar de Republik Indonesia (“Menuju Republik Indonesia”) dan “Massa Actie”, atau yang ditulisnya pada masa gerilya “Gerpolek” (Gerilya Politik dan Ekonomi), hanyalah sedikit dari jejak pemikiran Tan Malaka, jangan sebut lagi Magnum Opusnya “Madilog”. Jika kita membacanya dengan seksama, begitu banyak pemikiran Tan Malaka yang bisa kita tarik ke dalam konteks kekinian, ketika kita kini terperangkap dalam rejim fundamentalisme modal; rantai kapitalisme global yang meniadakan batas-batas kemerdekaan dan kedaulatan sebuah negara. Inilah yang silam dilawan Tan Malaka dengan apa yang selalu disuarakannya, yakni, Kemerdekaan 100%.
Dalam konteks hari ini suara itu menyaran pada kemerdekaan atas kedaulatan ekonomi. Dalam pemikiran Tan Malaka, kedaulatan politik tanpa kedaulatan ekonomi niscaya akan menghancurkan harga diri sebuah bangsa. Dan inilah yang kita lihat sekarang, manakala praktik-praktik politik kekuasaan digerakkan dalam kotak gelap demokrasi yang penuh transaksi.
Aktualitas lain dari pemikiran Tan Malaka hari ini adalah sikap pandangannya terhadap ideologi. Meski ia seorang marxis, namun Tan Malaka menolak untuk menjadi marxisme ludah. Seseorang atau kaum yang sekadar mengunyah-ngunyah apa yang disabdakan Marx, Lenin, atau yang menjadi garis partai. Bukankah ini yang sedang kita lihat sekarang; ketika demokrasi, toleransi, dan penghormatan HAM itu harus kayak masyarakat Amerika; ketika Islam dipenuhi oleh fatwa-fatwa yang skriptualistik dan harus kayak Arab; ketika ideologi ‘kiri’ itu harus melulu kayak PKI versi Stalin, Muso, Mao, dan Aidit?
Jika orang mengidentifikasinya sebagai komunis, maka bagi saya, Tan Malaka adalah seorang komunis yang sudah mencapai tingkat makrifat. Bagi Tan Malaka, keyakinan pada suatu ideologi, agama, atau paham kepercayaan akan terlalu kecil untuk dikurung oleh institusi apapun, apalagi itu bernama partai. Kemerdekaan Tan Malaka dalam bersikap, kesetiaan serta keberanian membela keyakinannya di hadapan apa dan siapa pun, inilah yang saya kira menemukan aktualitasnya dalam kekinian.
Apakah Kang Ahda menemukan hambatan ketika menulis naskah Monolog Tan Malaka “Saya Rusa Berbulu Merah”? Kalau ada apa itu?
Secara teknis penulisan relatif tidak karena bahan-bahan yang begitu berlimpah. Jika pun ada itu karena justru bahan-bahan yang begitu banyak itu sendiri, terutama dalam menentukan fokus.
Jadi, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menuntaskan naskah Monolog Tan Malaka “Saya Rusa Berbulu Merah” ini?
Saya memulai penulisannya sejak 2013 yang diawali dengan mempelajari seluruh tulisan-tulisan Tan Malaka, juga tulisan para sejarawan yang intens menulis Tan Malaka, terutama Harry Poeze. Belum lagi beberapa revisi, yang dalam proses produksi juga kemudian kembali saya diskusikan dengan sutradara Wawan Sofwan. Sebab bagaimana pun saya menyadari, apa yang saya tulis lebih sering menjadi naskah pembaca ketimbang sebagai naskah sutradara.
Eh, Tan Malaka kan punya banyak nama samaran. Dari sekian banyak, adakah nama samarannya yang paling Kang Ahda favoritkan? Kenapa?
Ellias Fuentes, itu nama yang dipakainya di Manila. Nama yang secara unsur bunyi sangat puitis, meski kadang-kadang terganggu oleh ingatan pada nama petinju Indonesia, mantan juara dunia kelas Bantam Junior yang sangat terkenal di tahun 1986—yang konon kini jadi petugas keamanan karaoke di Jakarta—; Ellias Pical.
Oh iya, kalau tak salah, persiapan monolog Tan Malaka ini sudah dimulai cukup lama juga ya. Saya pernah lihat di media sosial teaser poster awalnya, kalau tak salah pertengahan tahun lalu, judulnya hanya “Monolog Tan Malaka”. Apakah perubahan judul monolog ini ada hubungannya dengan kumpulan puisi Kang Ahda yang kebetulan berjudul Rusa Berbulu Merah?
Tentang penambahan judul memang semula hanya “Monolog Tan Malaka”. Lalu Wawan Sofwan mengusulkan penambahan seperti itu, dan saya tak keberatan. Memang, dalam salah satu teks monolog itu ada ucapan Tan Malaka, “Saya adalah rusa berbulu merah” yang saya kutip dari puisi saya.
Apa harapan Kang Ahda dengan dipentaskannya Monolog Tan Malaka “Saya Rusa Berbulu Merah” di IFI Bandung pada 23-24 Maret nanti?
Saya berharap monolog ini bisa menjadi upaya lebih “mengangkat batang yang terendam”. Sehingga kita bisa menyerap teladan dari orang-orang silam yang oleh negeri ini sudah lama dilupakan. Banyak orang telah mengenal kisah Tan Malaka, tapi seberapa besar yang mengenal pemikirannya. Terutama lagi berharap monolog ini bisa menambah kekayaan pengetahuan orang ihwal komunisme yang menjadi niscaya dalam sejarah bangsa kita sejak 1920. Dan tidak melulu melihatnya sebagaimana Orde Baru menarasikannya lewat peristiwa 1948 dan 1965.[]