Menulis Lebih Baik Daripada Tahajud
Jika kepada engkau aku ajukan pertanyaan: manakah yang lebih utama kedudukannya, menulis ataukah shalat tahajud? Barangkali, engkau akan menjawab bahwa tahajudlah yang lebih utama. Karena tahajud adalah amalan utama para nabi, bahkan kepada umat Nabi Muhammad Saw, tahajud hampir akan diwajibkan. Sementara menulis, ah, dia kerap dipandang sebagai aktivitas yang jauh dari radar jangkau keakhiratan. Padahal, perlu engkau ketahui bahwa menulis sungguh memiliki dimensi Hari Kemudian. Dia bahkan melebihi tahajud dalam timbangan kemuliaan.
Mari, kuantarkan engkau pada pemahaman itu.
Izinkan aku untuk membawa engkau ke sebuah malam di masa lampau. Ketika seorang muda nan salih, mendatangi ayahandanya, yang bernama Ahmad ibnu Hanbal atau yang kini kita kenal sebagai Imam Hanbali.
Abdillah, nama anak muda itu, bertanya kepada ayahandanya, “Wahai ayahandaku, malam ini, aku harus tahajud ataukah menulis?”
Imam Hanbali menjawab: “Tulislah ilmu!”
Secuplik kisah di masa silam itu tentu menjadi sebuah kabar yang benderang, bahwa menurut fikih Hanbali, menulis lebih utama kedudukannya tibatan shalat tahajud. Seraya tetap berpegang teguh bahwa tulisan ini bukan hendak mengelas-duakan tahajud, mari kuantarkan engkau lebih ke dalam mengenai pendapat Imam Hanbali tersebut.
Ehm, begini. Tentu saja orang yang melaksanakan shalat tahajud akan mendapatkan pahala. Namun, bila di keesokan malam dia tidak melaksanakannya, tiada pahala baginya. Lain halnya dengan orang yang menulis ilmu atau kebaikan. Dari tulisan yang dibuatnya, selanjutnya dibaca oleh orang lain dan dia mendapatkan manfaat darinya, akan mendatangkan pahala meskipun penulisnya sedang tidur, sedang makan, bahkan ketika sudah mati sekalipun.
Untuk mencegah rasa khawatirmu, mungkin engkau menyangka aku hendak menjerumuskanmu ke dalam jurang bid’ah, mari kuajak engkau ke sebuah hadits yang sudah demikian populer. Hadits no. 1893 yang diriwayatkan oleh Imam Muslim itu berbunyi: “Barangsiapa yang menunjukkan pada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” Inilah yang disebut sebagai investasi kebaikan, pasive pahala.
Ah, aku ingin menyajikan satu lagi hadits yang menerangkan betapa mulianya menulis (ilmu dan kebaikan). Hadits yang diriwayatkan Imam Muslim itu adalah: Dari Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah Saw bersabda, “Jika anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga perkara. Ketiganya yaitu sedekah jariyah, ilmu yang berguna, dan anak shalih yang mendoakan.” Suka atau tidak suka, percayalah kepadaku, bahwa ketiga amal yang pahalanya akan terus mengalir sampai mati itu hanya bisa didapatkan lewat jalan menulis. Bukan tahajud!
Saat engkau menulis ilmu dan petunjuk kebaikan, pada hakikatnya engkau sedang memberikan sedekah jariyah. Sedekah itu akan terus ada sepanjang masih dibaca dan disebar-luaskan. Jika tulisan itu mengandung ilmu pengetahuan, keterampilan dan petunjuk pada kebaikan, sesungguhnya engkau telah menginvestasikan ilmu yang bermanfaat. Percayalah, kedua amal yang mengandung potensi pahala yang hebat ini—sedekah jariyah dan ilmu bermanfaat—tidak bisa dicapai dengan tahajud. Dengan menulislah kedua hal tersebut bisa engkau raih.
Lalu bagaimana dengan doa anak yang shalih?
Aku ingin, engkau merenungkan pengalamanmu ketika masuk ke toko buku, perpustakaan atau pusat-pusat baca lainnya. Carilah nama kakek buyutmu di antara deretan buku-buku itu. Kalau ada, aku bergembira sekali. Alhamdulillah. Kalau tidak ada, ah, barangkali engkau mengalami nasib yang tak jauh berbeda denganku. Jangankan menemukan nama kakek buyut sebagai penulis kitab/buku tertentu, namanya saja aku tidak tahu. Sampai tulisan ini kubuat, belum sekalipun aku mendoakan kakek buyut lengkap dengan menyebutkan namanya.
Mengapa hal ini bisa terjadi?
Karena kakek buyutku tidak meninggalkan sedekah jariyah berupa tulisan. Aku kerapkali berandai-andai, alangkah bangganya jika saja aku ini keturunan Hamka, Imam Nawawi, dan sederet ulama-penulis lainnya. Nama mereka demikian harum. Anak cucunya pasti berbesar dada kala nama kakek buyut mereka disebut dan didoakan oleh banyak orang. Sementara kakek buyutku, tidak ada satu pun yang mengenal namanya dan mendoakan arwahnya. Bahkan diriku saja tidak bisa.
Lalu aku membayangkan kalau nasib nahas kakek buyut menimpa diriku. Jika aku sudah mati, beratus tahun lamanya, betapa sedihnya aku kala anak-cucuku tidak pernah mendoakanku. Jangankan berdoa, mengetahui namaku saja sebagai kakek buyutnya mereka mungkin kesulitan. Maka benarlah, hanya lewat jalan menulislah aku—dan engkau—akan mendapatkan doa anak yang shalih ketika sudah berkalang tanah.
Mengakhiri tulisan ini, sekali lagi, ini bukan provokasi untuk mengelas-duakan tahajud. Sebagai orang yang beriman, tentu saja aku mengimbau kepada engkau, hendaknya tidak membentrokkan dua kebaikan. Upayakanlah untuk tahajud dulu sebelum engkau menulis.
Semoga tulisan ini menjadi sedekah jariyah buatku. Sebarkanlah jika bermanfaat, insya Allah, engkau pun telah berinvestasi dalam kebaikan. Ad daallu ‘alal khoiri kafaa’ilihi (memberi petunjuk kebaikan—menyebarkannya—sama dengan melakukan kebaikan). Wallahua’lam.[]
Sorry, the comment form is closed at this time.


sany
Menulis lebih baik daripada tahajud, saya pikir tak harus diperbandingkan mana yang lebih baik dan mana yang lebih utama. keduanya sama-sama baik dan keduanya memiliki nilai religiusitas. kenapa harus dibanding-banding??
Fatih Zam
Terima kasih sudah membaca tulisan sy yang penuh dgn keterburu-buruan. Saya berterima kasih atas masukannya Mas.
Ehm, kalau boleh menyarankan, ada bagusnya tulisan tsb dibaca lagi. Ditelisik secara mendalam dan temukan, di mana letak memperbandingkannya. Toh sangat gamblang ditulis bhw tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengelas-satukan yg satu dan mengelasduakan yg lain.
Tapi kembali, maafkan sy yg tidak pandai membahagiakan semua kalangan. Tabik.